Resiliensi Ekonomi terhadap Bencana, Sudahkah? (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 19 Oktober 2018, Hlm. 21 & 31)

Oleh: Khairunnisa Musari*


Dear Friend Khairunnisa
Hope all of you are safe with the grace of Almighty Allah. We are praying for everyone's safety and May Almighty Allah grant peace of mind to all of you.

Azhar from Sri Lanka

Sebuah pesan masuk via sosial media Linkedin usai gempa di Situbondo dari seorang brother di Asia Selatan. Selang beberapa jam, saya kemudian membalas pesan tersebut untuk mengucapkan terima kasih atas perhatiannya. Saya menduga, ia menemukan informasi bahwa Situbondo berada di Provinsi Jawa Timur sehingga ia langsung mengirimkan pesan empati tersebut untuk saya yang berdomisili di provinsi yang sama.
Ya, belakangan Indonesia mengalami gempa berturut-turut. Hal ini menjadi pemberitaan global. Sejumlah lembaga kemanusiaan internasional ikut berpartisipasi membuka donasi untuk membantu Lombok serta Palu dan Donggala. Terakhir, gempa Situbondo. Meskipun tidak berpotensi tsunami, gempa Situbondo terjadi dalam skala yang cukup besar hingga bisa dirasakan di beberapa daerah. Kabar ini pun menghiasi pemberitaan nasional.


Kerugian Ekonomi

Posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan tiga lempeng benua, yaitu lempeng Eurasia, Indo-Australia, dan Pasifik, menjadikan wilayah Indonesia termasuk dalam Pacific Ring of Fire yang rentan terjadi bencana. Bencana bukan hanya gempa bumi atau tsunami, tapi juga letusan gunung berapi, banjir lahar, amblesan, letusan lumpur, dan tanah longsor. Dengan berbagai dampak ikutannya, segala bentuk bencana akan berimplikasi bagi perekonomian.
World Bank memperkirakan dampak gempa di wilayah Palu dan Donggala menimbulkan kerusakan secara geospasial di sektor infrastruktur, properti perumahan dan non-perumahan yang terkena dampak tsunami mencapai USD 531 juta atau sekitar Rp 8,07 triliun. Angka ini belum memperhitungkan kerugian atas hilangnya nyawa, kehilangan lahan, atau gangguan terhadap ekonomi melalui pekerjaan, mata pencaharian, dan bisnis yang hilang.
Sementara itu, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat kerugian ekonomi akibat gempa Lombok lebih dari Rp 5,04 triliun. Berdasarkan data sementara yang dihimpun pada 9 Agustus 2018, kerugian tersebut berasal dari sektor permukiman, infrastruktur, ekonomi produktif, sosial budaya, serta lintas sektor. Kerusakan dan kerugian terbesar adalah sektor permukiman sebesar Rp 3,82 triliun, disusul infrastruktur Rp 7,5 miliar.
Bayangkan angka ini dengan nilai pembangunan Tol Jembatan Suramadu sepanjang 5.438 meter yang menelan anggaran Rp 4,5 triliun. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, setengah dari biaya pembangunan jembatan harus menggunakan utang. Setiap tahun, penerimaan yang masuk ke negara dari Tol Suramadu sebesar Rp 209 miliar. Dari jumlah itu, Rp 100 miliar dipakai untuk membayar cicilan utang dan Rp 9 miliar untuk biaya perawatan.
Ya, untuk Indonesia, dampak bencana sangat terasa. Oleh karena itu, bisa kita bayangkan betapa besar angka kerugian akibat tsunami di Aceh tahun 2004 yang mencapai Rp 42 triliun. Lalu, gempa bumi Yogyakarta dan Jawa Tengah tahun 2006 yang menimbulkan kerugian hingga Rp 27 triliun, dan gempa bumi Sumatra Barat tahun 2009 sebesar Rp 21,6 triliun. Untuk melakukan rehabilitasi, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) mungkin harus mengalami bleeding karena belum memiliki resiliensi ekonomi terhadap bencana.

Mengubah Paradigma

Pengalaman menghadapi bencana memberi pelajaran mahal untuk Indonesia. Menghadapi bencana, ternyata bukan hanya dibutuhkan pemulihan ekonomi semata. Lebih dari itu, dibutuhkan pula revitalisasi untuk melakukan resiliensi ekonomi terhadap bencana. Untuk itu, kebijakan APBN seyogyanya harus dibenahi agar penanggulangan bencana menjadi bagian integral dari pembangunan.
Syukurlah, hari ini, pemerintah tengah menyiapkan APBN untuk penanggulangan bencana. Dalam rangkaian IMF-World Bank Annual Meeting di Bali, pemerintah menyampaikan rencana pembentukan skema pembiayaan dan asuransi risiko sebagai upaya penanganan dampak bencana alam. Pemerintah sudah mengidentifikasi masalah yang ada, termasuk melakukan kajian terhadap risiko fiskal atas berbagai bentuk bencana yang implikasinya tentu berbeda-beda. Selanjutnya, hal ini seyogyanya perlu diikuti dengan upaya peningkatan kapasitas fiskal daerah untuk menentukan skema pendanaan mitigasi atau penanggulangan bencana.
Ya, pendekatan pasif-reaktif dengan paradigma bahwa bencana tidak bisa diperkirakan, kini terbantahkan. Studi Yasuhide Okuyama dari Graduate School of Social System Studies, University of Kitakyushu Jepang yang banyak menulis tentang dampak bencana dari sisi ekonomi, menarik disimak. Maklum, Jepang adalah negara langganan gempa. Kajian terkait bencana mendapat perhatian besar di sana. Studi Okuyama (2004, 2007, 2009, 2016) menunjukkan bahwa pola guncangan akibat bencana alam dapat dimodelkan sebagaimana guncangan ekonomi lainnya pada siklus bisnis.
Kini, musim hujan sudah di depan mata. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim hujan di Jawa Timur akan terjadi pada bulan November. BMKG bahkan telah memperingatkan 8 wilayah Indonesia yang paling rawan terjadi banjir bandang dan longsor. Meski tidak masuk dalam wilayah yang diberi peringatan, tetap saja kita harus waspada. Apalagi, terdapat titik- titik tertentu yang menjadi langganan banjir di wilayah kita. Yang jadi pertanyaan adalah, sudahkah kita memiliki pendekatan aktif-preventif untuk memiliki resiliensi ekonomi terhadap bencana? Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)