From Jember to Mecca (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 17 Agustus 2018, Hlm. 21 & 27)


Oleh: Khairunnisa Musari

“Jadi Mbaknya ini belum pernah ke luar negeri? Kalau saya sih sudah pernah ke Singapura, Hongkong, dan Malaysia. Bahkan saya sudah beberapa kali mengajak saudara dari Jember untuk kerja di Malaysia…”

Tiba-tiba saya teringat kembali percakapan dengan seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ketika bertemu di Kantor Imigrasi Jember sekitar 10-11 tahun lalu. Saat itu, untuk pertama kalinya saya membuat paspor. Wajah saya yang tampak kebingungan mungkin mengundang perhatiannya untuk menyapa. Jika ingat pertemuan itu, saya agak geli karena terkenang ekspresinya. Saya menangkap rasa ‘ibanya’ kepada saya yang belum pernah bepergian ke luar negeri.
Pada tahun-tahun tersebut, dari sebuah diskusi publik yang pernah diselenggarakan oleh Universitas Jember, Dewan Pimpinan Wilayah Serikat Buruh Migran Indonesia (DPW-SBMI) Provinsi Jawa Timur membuka fakta tingginya keinginan warga Jember bekerja di luar negeri. Rata-rata setiap tahun ada 240 orang warga Jember yang menjadi TKI dan berangkat lewat jalur legal maupun ilegal. Hasil riset SBMI juga mengungkap pemicu warga Jember bekerja ke luar negeri adalah alasan kemiskinan.
Saya jadi mengenang kembali kisah 10-11 tahun lalu itu lantaran pesan Whatsapp (WA) dari Pak Roni Subhan, dosen Bahasa Indonesia di kampus, yang menyampaikan salam dari keluarga suami di Mekkah kepada saya. Bersama rombongan jamaah haji asal Jember, Pak Roni saat ini sudah berada di Mekkah. Pak Roni mengirimkan fotonya yang diundang ke rumah oleh keluarga suami saya yang sudah puluhan tahun bekerja dan menetap di sana sebagai TKI.
Ya, saya memiliki cukup kenangan dengan TKI. Ketika bepergian ke luar negeri, baik itu ke Cambodia, Qatar, bahkan Pakistan, apalagi ketika hajian, tidak pernah tidak bertemu TKI. Ketika riset di Bahrain, yang paling banyak menolong dan mendampingi saya selama dua pekan di sana adalah para TKI. Mereka sampai membuat jadwal sesama mereka untuk mengawal saya. Padahal kami sebelumnya hanya berkenalan di dunia maya.
Ketika ke Malaysia, yang membantu membawakan barang-barang saya adalah TKI yang padahal baru saja berkenalan dengan saya di pesawat. Ketika mengikuti konferensi yang diselenggarakan Kementerian Pendidikan Tinggi Malaysia, TKI yang menjadi petugas cleaning service di tempat saya menginap sampai membelikan oleh-oleh untuk saya bawa pulang. Ketika mengunjungi sebuah kampus di Malaysia, ternyata salah satu pekerja di sana ada yang berasal dari Lumajang dan ia tampak bahagia sekali ketika mengetahui saya juga berasal dari Lumajang.

Arab Saudi

Hingga saat ini, Arab Saudi adalah salah satu negara tujuan utama TKI. Tidak ada data pasti jumlah TKI yang berada di sana. Pihak Arab Saudi juga tak memiliki data rinci terkait jumlah resmi. Sejak diberlakukannya moratorium penempatan TKI pada 1 Agustus 2011 dan penghentian penempatan TKI ke Arab Saudi pada 2015, keberadaan TKI mengalami banyak dinamika. Salah satu dampak yang paling terlihat adalah semakin sulit mendeteksi jumlah TKI di Arab Saudi karena mereka masuk ke negara tersebut dengan berbagai cara. Pengguna jasa TKI juga banyak yang menghalangi TKI kembali ke Tanah Air meski kontraknya sudah habis.
Selain itu, mengingat kebutuhan akan TKI yang besar di sana, terdapat kecenderungan TKI legal yang mengilegalkan diri agar mereka dapat menetapkan harga lebih tinggi atas jasa mereka. Agen tenaga kerja di Arab Saudi juga memiliki modus untuk membawa TKI dengan menggunakan visa ziarah sekitar 90 hari, selanjutnya, sesampai di sana, visa tersebut dikonversi menjadi izin tinggal.
Akhirul kalam, hingga hari ini, TKI yang masuk ke Arab Saudi masih cukup besar. TKI yang berada di Arab Saudi banyak terkonsentrasi di Provinsi Mekkah, terutama di kota Mekkah, Madinah, dan Jeddah. Terlebih komunitas Madura, seperti keluarga suami saya, yang jika sudah mampu menghidupi diri, biasanya akan mengajak sanak keluarga lainnya untuk turut bekerja di sana. Itulah sebabnya, tidak sulit menemukan orang Madura di tiga kota ini, apalagi di Mekkah.
Sebagaimana musim haji seperti hari-hari ini, tidak sedikit yang mengatakan bahwa jamaah haji Indonesia harus banyak berterimakasih kepada orang Madura. Pasalnya, mayoritas yang berjualan makanan khas Indonesia di Mekkah dan Madinah adalah orang-orang Madura. Itu pula yang dilakukan keluarga suami saya di sana. Ketika musim haji, mereka banyak menerima permintaan jasa katering.

Membangun Ekonomi Daerah

Tahun ini, membaca pemberitaan, jumlah TKI illegal asal Jember semakin meningkat. Hingga pertengahan 2018, terdapat 21 kasus TKI yang masuk di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Kabupaten Jember yang 20 diantaranya adalah kasus TKI ilegal. Padahal, tahun sebelumnya hanya 3 kasus. Kasus yang paling banyak ditangani terkait TKI ilegal antara lain TKI meninggal di luar negeri yang diakibatkan sakit, kecelakaan dan beberapa penyebab lain.  
Membahas topik TKI memang cukup dilematis. Di satu sisi, mereka disanjung sebagai pahlawan devisa. Di sisi lain, mereka adalah kelompok masyarakat yang termarjinalkan. Sejatinya, jumlah TKI yang besar menjadi salah satu potret ketidakberhasilan pembangunan ekonomi di daerah. Rasanya juga tidak bijaksana bila pengiriman TKI menjadi opsi solusi mengatasi kemiskinan dan pengangguran. Kita belum pernah benar-benar menghitung dampak sosial dan psikologi dari TKI dan keluarganya. Yang selama ini banyak menjadi ukuran adalah dari sisi ekonomi semata.
Dalam jangka panjang, pemerintah bersama para stakeholder di daerah memiliki kewajiban untuk memperbesar peluang dan ruang ekonomi daerah sehingga setiap warga mendapat kesempatan yang sama untuk meningkatkan kesejahteraan keluarga. Setidaknya, kita sama-sama harus mengupayakan anak turunan para TKI tidak harus mengalami kondisi yang sama di masa depan. Untuk itu, setidaknya ada tiga isu utama TKI yang harus mendapat perhatian serius. Yaitu, bagaimana meningkatkan kemandirian ekonomi keluarga TKI, meningkatkan ketahanan keluarga TKI, dan memastikan keluarga TKI, terutama anak-anaknya, terpenuhi hak-haknya. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)