Ekonomi Pilkada (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 8 Juli 2018. Hlm. 21 & 27)
Oleh:
Khairunnisa
Musari*
“Nda,
teman-temannya Kakak banyak yang pamer jarinya bertinta. Banyak temannya kakak
yang sudah pada nyoblos. Kakak sebentar lagi dibuatkan e-KTP ya, Nda. Supaya tahun
depan bisa ikut nyoblos. Kata teman-temannya Kakak, tahun depan ada Pemilu….”
Putri sulung saya yang baru saja naik
kelas XII mengingatkan bahwa usianya tak lama lagi akan mencapai 17 tahun dan
akan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) elektronik (e-KTP) serta hak politik. Sesuai
dengan Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2013 tentang Administrasi
Kependudukan, penduduk yang berusia 17 tahun yang diperbolehkan memiliki e-KTP.
UU Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum (Pemilu) Presiden dan Wakil
Presiden, kemudian UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
serta UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan bahwa warga
negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara telah berumur 17 tahun atau sudah/pernah
kawin mempunyai hak memilih.
Bagi mereka yang baru genap berusia 17
tahun pada 27 Juni 2018 lalu, maka Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) kemarin
menjadi momen perdana menjalankan hak pilih. Wajar saja, putri saya dan
teman-teman sebayanya yang dapat dikategorikan sebagai Generasi Z memandang dua
tahun ini yang merupakan Tahun Politik akan memberi pengalaman pertama dalam menjalankan
hak politik.
Dinamika Ekonomi
Tahun Politik selalu menarik
untuk disimak. Seperti halnya bulan puasa dan Lebaran, momen Pilkada dan Pemilu
juga memiliki pola perekonomian yang khas. Pada Kuartal II 2018 ini,
pertumbuhan ekonomi diprediksi sebesar 5,2-5,3 persen. Selain bulan puasa, Lebaran
dan panen raya yang bergeser menjadi April-Mei sebagai faktor pendorongnya,
Pilkada juga menjadi faktor lainnya.
Pilkada kemarin, sebanyak
171 daerah yang menyelenggarakan pemilihan gubernur dan wakil gubernur, wali
kota dan wakil wali kota serta bupati dan wakil bupati. Bisa dipastikan pesta
demokrasi ini mendongkrak perekonomian di daerah. Banyak usaha mikro kecil
menengah (UMKM) yang ikut menikmati keuntungan karena besarnya perputaran uang menjelang
dan saat Pilkada berlangsung. Kebanyakan atribut kampanye dibuat oleh UMKM.
Sebagaimana bulan puasa dan
Lebaran, perputaran uang selama Pilkada juga bergerak cepat. Selain uang yang
dikeluarkan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pelaksanaan Pilkada serentak, peredaran uang
juga berasal dari kelompok pasangan calon yang mengikuti Pilkada.
Namun demikian, menyimak data
inflasi pada Juni 2018 dan indikator makro ekonomi lainnya, kontribusi Pilkada tahun
ini bagi perekonomian mengalami penurunan dibanding tahun-tahun sebelumnya.
Sejumlah media juga memberitakan tentang penurunan permintaan atribut keperluan
kampanye, seperti spanduk, baliho, stiker, dan kaos. Metode kampanye sepertinya
mengalami pergeseran. Media sosial menjadi pilihan.
Inflasi Juni sebesar 0,59
persen. Angka ini lebih rendah dibanding inflasi Juni tahun lalu yang sebesar
0,69 persen Namun, dibanding dengan inflasi Mei 2018 yang sebesar 0,21 persen,
inflasi Juni melonjak cukup besar. Kelompok bahan makanan dan transportasi
menjadi penyebabnya. Inflasi di sektor transportasi naik menjadi 1,5 persen dibanding
Mei yang sebesar 0,18 persen. Inflasi kelompok bahan makanan naik menjadi 0,88
persen dibanding Mei yang sebesar 0,21 persen. Inflasi ini menyebabkan daya
beli masyarakat melemah. Apalagi ditambah dengan depresiasi Rupiah, kenaikan
suku bunga, tekanan eksternal, dan tingginya rasio impor terhadap ekspor
Indonesia untuk memenuhi kebutuhan bahan baku, semakin menekan tingkat
investasi dan perekonomian secara nasional.
Waspada Uang Palsu
Hal lain yang menarik
disimak dari dinamika ekonomi Pilkada adalah peredaran uang palsu. Banyak pihak,
utamanya bank sentral selaku otoritas moneter, mengingatkan masyarakat untuk
mewaspadai beredarnya uang palsu menjelang dan saat perhelatan Pilkada. Tidak
mustahil mereka yang ingin memenangkan kontestasi politik bertindak tidak
benar. Tidak menutup kemungkinan juga bagi mereka yang tidak terkait langsung
dengan Pilkada, hendak mengambil kesempatan untuk memperoleh keuntungan dengan menyelipkan
uang palsu. Uang palsu memang sangat rentan beredar dalam situasi Tahun
Politik.
Maret 2018 lalu, diberitakan
bahwa Kepolisian Resor Kota Besar (Polrestabes) Surabaya menemukan uang palsu
sebanyak Rp 2,6 miliar dalam bentuk 916 lembar uang pecahan Rp 100 ribu. Sebanyak
11 orang yang berasal dari Jawa Timur dan Jawa Tengah ditangkap dan ditetapkan
sebagai tersangka. Para tersangka berasal dari beberapa daerah, mulai dari
Situbondo, Jember, Lamongan, Jombang, Ngawi, Madiun, hingga Klaten. Demikian
pula di Bogor ditemukan uang palsu sebanyak Rp 6 miliar. Namun, ditengarai aksi
di dua kota ini tidak terkait dengan Pilkada.
Secara keseluruhan, rasio
peredaran uang palsu dari tahun ke tahun mengalami penurunan sejak 2015.
Sepanjang 2017, rasionya sebesar 8 lembar per 1 juta uang yang beredar. Tahun
2016, rasionya mencapai 13 lembar per 1 juta uang. Pada 2015, rasionya 21
lembar per 1 juta uang yang beredar. Selama 2015-2017, Badan Reserse Kriminal
Kepolisian Negara Republik Indonesia (Bareskrim Polri) telah menetapkan 574
tersangka dalam kasus peredaran uang palsu. Penindakan tidak hanya diberikan
kepada pengedar, tetapi juga pembuat dan pemodalnya. Sebab, kasus uang palsu
sifatnya jaringan sindikat.
Ya, pada Tahun Politik ini, selain
edukasi tentang bahaya politik uang, edukasi terkait peredaran uang palsu perlu
digencarkan. Jika politik uang berimplikasi pada terpilihnya orang yang tidak
memiliki kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan kepemimpinan dalam membangun
daerah, kemudian berpeluang mengkorupsi anggaran pendapatan dan belanja daerah
(APBD) serta menguntungkan pemodal, maka peredaran uang palsu cenderung akan mengganggu
perekonomian dan merugikan masyarakat kelas menengah bawah. Implikasinya tidak
hanya berpotensi menyebabkan terjadinya inflasi, tetapi juga mengganggu suplai
uang dan memperdalam kesenjangan sosial. Wallahua’lam
bish showab.
Komentar
Posting Komentar