Fintech, Ekosistem Baru Ekonomi Nasional dan Dunia (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 11 Mei 2018, Hlm. 21 & 31)



Oleh:
Khairunnisa Musari*

“Mbaknya ngajar di IAIN Jember? Eh, kemarin saya naik Grab, ternyata si Bapak yang nganterin saya itu kerja di IAIN Jember juga lho. Katanya lumayan dapatnya nyambi di Grab. Mbaknya kenal gak, namanya Pak……….”

Demikian cerita Dokter Spesialis Jantung ketika saya menemani Ibu saya kontrol ke ruang periksanya di rumah sakit (RS). Saya kemudian menyahut bahwa banyak teman saya di sejumlah kota besar yang menyambi juga menjadi sopir transportasi online. Bahkan ada yang memutuskan berhenti kerja di bank dan beralih menjadi sopir transportasi online sembari mencoba berwirausaha. Ada lagi yang semula bekerja sebagai manajer di perusahaan ritel di Arab, kemudian hijrah ke Jakarta dan akhirnya memutuskan bergabung sebagai sopir transportasi online untuk menyambung hidup keluarga.
 Berbagai kisah seputar transportasi online ini sesekali juga saya ceritakan ketika menjadi pemateri di beberapa seminar terkait financial technology (fintech) ataupun ketika mengajar di kelas. Seperti akhir Maret lalu, saya bersama Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Jawa Timur memenuhi undangan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI) Institut Ilmu Keislaman Zainul Hasan (INZAH) Genggong untuk mengisi seminar tentang fintech. Ya, tentu saja topiknya bukan tentang fintech pada sektor transportasi, tetapi fintech pada industri jasa keuangan. Kehadiran fintech merupakan disruptive innovation yang jika tidak diantisipasi akan berdampak pada aktivitas lembaga jasa keuangan yang eksis saat ini.

Perusahaan Fintech = Rentenir Digital?

 Fintech identik sebagai inovasi yang bersifat mengacaukan karena mentransformasi kepraktisan, kemudahan akses, kenyamanan, dan biaya yang ekonomis pada suatu sistem atau pasar yang sudah ada. Di Indonesia, perusahaan fintech yang bergerak di bidang payment berada di bawah wewenang bank sentral. Akhir November 2017, Bank Indonesia meluncurkan Fintech Office untuk memfasilitasi perkembangan inovasi dalam ekosistem keuangan berbasis teknologi, mempersiapkan Indonesia untuk mengoptimalkan perkembangan teknologi dalam rangka pengembangan perekonomian, meningkatkan daya saing industri keuangan berbasis teknologi, menyerap informasi dan memberi umpan balik untuk mendukung perumusan kebijakan Bank Indonesia sebagai respon terhadap perkembangan berbasis teknologi.
Untuk perusahaan fintech yang bergerak di bidang peer to peer lending (P2P), mereka diwajibkan mendaftar kepada Otoritas Jasa Keuangan (OJK). OJK bukan otoritas bagi perusahaan fintech karena perusahaan ini bukan lembaga jasa keuangan. Di Indonesia, jumlah perusahaan P2P mencapai ratusan. Namun, merujuk data OJK per 25 Januari 2018, perusahaan fintech yang terdaftar resmi memberi layanan P2P di Indonesia sebanyak 32 perusahaan. Dalam rangka perlindungan konsumen, OJK terus memantau perkembangan industri P2P berbasis fintech dan gencar melakukan edukasi.
Awal Maret lalu, Ketua Dewan Komisioner OJK menyebut perusahaan dan penyedia platform fintech bak rentenir digital. Pasalnya, fee pinjaman untuk P2P cukup tinggi, mencapai minimum 19-21% per tahun. Untuk itu, OJK akan menerbitkan aturan baru mengenai transparansi fee pelaku fintech. Meski nilai portofolio pinjaman P2P baru berkisar Rp 3 triliun, namun bisnis ini diproyeksi akan terus tumbuh besar. Apalagi kredit bermasalah P2P mulai meningkat.  
Ya, sesungguhnya terdapat irisan antara perusahaan fintech P2P dengan rentenir konvensional. Mereka sama-sama melayani kelompok masyarakat yang belum atau tidak dijangkau oleh perbankan. Jika P2P menggunakan teknologi informasi, rentenir mengandalkan pertemuan face to face. Pengenaan bunga pinjaman yang sama-sama tinggi pada keduanya yang menjadikan OJK menyebut perusahaan fintech menyerupai rentenir digital. Padahal, kelompok masyarakat yang kebanyakan menjadi pasar mereka adalah yang rentan secara ekonomi.
Tidak bisa dipungkiri, kehadiran perusahaan fintech menimbulkan disrupsi. Di satu sisi, kehadiran fintech berpotensi meningkat inklusi keuangan dan pemerataan pembiayaan bagi masyarakat luas, termasuk dalam menjangkau wilayah yang belum terjamah layanan jasa keuangan. Melalui fintech, produk dan jasa keuangan dapat diakses cepat, tidak seperti bank yang memiliki aturan rigid. Namun, di sisi lain, kehadiran fintech dapat menggerus bisnis ritel bank.

Fintech dan Ekonomi Keuangan Islam

Dalam fit and proper test Gubernur Bank Indonesia yang akan dilantik Mei yang akan datang, disebutkan kandidat terpilih bahwa agenda pertama yang harus menjadi konsen Bank Indonesia untuk menjaga stabilitas dan mendorong pertumbuhan ekonomi adalah pengembangan ekonomi dan keuangan digital. Agenda kedua adalah pengembangan ekonomi dan keuangan syariah. Kedua agenda ini mengindikasikan bahwa isu fintech dan ekonomi keuangan syariah akan menjadi titik perhatian otoritas dalam beberapa tahun ke depan.
Secara global, kedua isu tersebut juga menjadi agenda pembangunan dunia. Hal ini tercermin dari perhatian Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui organnya United Nations Development Programme (UNDP) yang tengah menyusun sejumlah relevant business models for Islamic finance-Sustainable Development Goals (SDGs) and/or fintech initiatives. Bahkan, Islamic Development Bank (IDB) tahun lalu juga menyelenggarakan kompetisi FinTech Islamic Finance Challenge yang memberi kesempatan kepada siapa saja dari seluruh dunia yang memiliki ide proyek keuangan syariah berbasis teknologi yang memberi dampak sosial bagi masyarakat.
Ya, kehadiran fintech membentuk ekosistem baru dalam perekonomian nasional dan dunia. Agar efek disrupsinya tidak menjadi besar dan terasa, maka perlu upaya agar kebermanfaatannya terus dikembangkan, termasuk dalam bidang ekonomi dan keuangan Islam. Sepanjang 2018, Malaysia sudah dua kali menyelenggarakan International Waqf and Blockchain Forum. Mengingat inovasi dan gangguan yang berkelanjutan dari fintech, maka penggiat dan praktisi keuangan Islam di sana berupaya menyusun tata kelola dan regulasi agar wakaf tetap relevan sebagai instrumen sosial ekonomi Islam di tengah-tengah tantangan tren fintech, bahkan juga blockchain, teknologi basis data terdistribusi yang merupakan loncatan evolusioner fintech berikutnya dalam hal optimalisasi proses bisnis. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)