Literasi Keuangan, Kenapa Harus Perempuan? (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 23 Februari 2018, Hlm. 21 & 31)



Oleh: Khairunnisa Musari

“Menurut analisis saya, setelah 15 tahun berkecimpung di kredit mikro, yang membuat kesejahteraan mereka tidak menjadi lebih baik itu karena kreditnya dibelanjakan dalam satu dompet, ya untuk investasi, untuk konsumsi, untuk modal, dll. Ada debitur yang bangga mengatakan telah menjadi nasabah peminjam dari sejak 1980-an sampai sekarang, padahal nilai pinjamannya kalau dikonversikan ya hampir sama nilai uangnya saat itu dengan masa kini, paling selisih inflasi…”

Demikian Pak Riz Nurmaji, seorang kepala unit dari sebuah lembaga keuangan yang terkenal dengan kredit mikronya hingga pelosok desa, menjawab pertanyaan saya. Saya bertemu beliau ketika mengunjungi mahasiswa yang sedang melaksanakan praktek pengalaman lapangan (PPL) di lembaga yang dipimpinnya. Dari silaturahim tersebut, saya memperoleh pencerahan atas sejumlah hipotesis yang selama ini ada di benak saya.
Ya, ketika riset lapangan, saya menemukan sebagian masyarakat di daerah yang kerap kali memperoleh kredit, pembiayaan, bahkan hibah dari berbagai pihak selama bertahun-tahun, namun tingkat kesejahteraannya tampak tidak menjadi lebih baik. Hal ini makin dikuatkan oleh informan yang juga praktisi keuangan mikro yang menceritakan bahwa nilai bantuan yang pernah digelontorkan lembaganya untuk masyarakat di suatu wilayah sebuah kecamatan setara dengan total kredit dari sembilan kantor unitnya. Lalu, mengalir ke manakah segala bentuk pinjaman dan bantuan tersebut? Hipotesisnya banyak yang bisa dimunculkan. Sebagian sudah terjawab, namun tetap butuh penguatan untuk menjustifikasinya.
Buat saya, kuncinya adalah edukasi untuk meningkatkan literasi keuangan. Masyarakat mikro dapat memperbaiki diri, keluarga, dan komunitasnya jika mereka memiliki literasi keuangan. Dan, perempuan adalah ujung tombaknya. Banyak riset dari seluruh dunia yang merekomendasi agar keuangan mikro harus melibatkan perempuan. Kenapa harus perempuan?

Harus Perempuan, Perempuan Harus

Pada Mei 2017 lalu, Survey on Financial Inclusion and Access (SOFIA) hasil kerjasama antara Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang dibiayai oleh Pemerintah  Australia dan Swiss di empat provinsi di Indonesia, Nusa Tenggara Timur (NTT), Nusa Tenggara Barat (NTB), Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, menunjukkan 64% perempuan lebih aktif menabung dan laki-laki hanya 48%. Cara umum bagi perempuan menabung adalah melalui arisan atau menyimpan uang di rumah,
Meski kebanyakan perempuan tidak memiliki tanah, rumah, dan juga rekening bank, SOFIA mengidentifikasi bahwa perempuan lebih banyak peran dalam pengelolaan keuangan rumah tangga. SOFIA menemukan 61% perempuan mengambil keputusan sendiri dalam mengelola keuangan, sedangkan laki-laki 24%. Terdapat 59% laki-laki berkonsultasi dengan istri dalam mengambil keputusan, sedang istri berkonsultasi dengan suami hanya 31%. Kemudian, 11% laki-laki mengaku tidak terlibat dalam pengambilan keputusan, sedangkan perempuan hanya 1% yang mengaku tidak terlibat.
Meski hanya dilakukan di empat provinsi, temuan SOFIA ini dapat menggambarkan profil rumah tangga masyarakat Indonesia. Meski perempuan tidak memiliki banyak kepemilikan aset dalam rumah tangga, namun perempuan adalah pengambil keputusan dalam belanja rumah tangga. Pemeran terbesar dalam pengelolaan keuangan rumah tangga adalah perempuan.
Setahun sebelum kemunculan SOFIA, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga melakukan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan kepada 9.680 responden di 34 provinsi yang tersebar di 64 kota/kabupaten di Indonesia. Tingkat literasi keuangan perempuan ternyata rendah, yaitu 25,5%, sedangkan laki-laki 33%. Sementara itu, tingkat literasi keuangan pelajar dan mahasiswa hanya 23,4%. Survei ini juga menemukan 67,8% masyarakat menggunakan produk dan layanan keuangan, tetapi hanya 29,7% yang paham tentang produk dan layanan tersebut.
Selain itu, OJK juga mencatat sekitar 49,11% masyarakat memiliki tujuan keuangan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, hanya 8% yang menyiapkannya untuk dana pendidikan anak. Secara keseluruhan, ini mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat terhadap perencanaan keuangan masih sangat rendah.

Literasi Keuangan Perempuan

Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) Working Papers merilis kajian Hung, Yoong & Brown (2012) berjudul Empowering Women Through Financial Awareness and Education yang menyatakan rendahnya literasi keuangan perempuan memiliki potensi untuk mengurangi: (1) partisipasi aktif perempuan dalam ekonomi; (2) kekuatan ekonomi rumah tangga; (3) transmisi pengetahuan kepada generasi masa depan; dan (4) memperburuk kesenjangan sosial. Pada 2013, OECD bersama International Network and Financial Education (INFE) juga merilis Addressing Women’s Needs for Financial Education yang menunjukkan kebutuhan akan literasi keuangan bagi perempuan sangat akut dalam isu kesetaraan gender. Menariknya, studi ini menemukan perempuan memiliki pengetahuan keuangan yang lebih rendah daripada laki-laki di sejumlah besar negara, baik negara maju dan berkembang. Kajian ini seluruhnya selaras dengan hasil survei OJK dan SOFIA yang mengindikasikan bahwa literasi keuangan bagi perempuan menjadi keharusan karena posisi strategisnya dalam mengelola keuangan rumah tangga.
Dengan demikian, perempuan sebagai personal memiliki kepentingan untuk meningkatkan literasi keuangan. Manfaatnya tidak hanya untuk diri pribadi, tetapi juga untuk keluarga dan masyarakat hari ini dan masa depan. Lebih daripada itu, perempuan sebagai al-ummu madrasatul ‘ula memiliki tanggung jawab untuk memberikan pendidikan keuangan sejak dini guna menciptakan generasi yang memiliki penguasaan ilmu serta terampil mengelola keuangan. Ya, edukasi keuangan akan efektif jika diperkenalkan sejak dini dan diyakini menjadi jalan ampuh untuk meningkatkan kecerdasan dan mengakselerasi proses perbaikan kesejahteraan masyarakat dengan menjadikan perempuan sebagai agen perubahan. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)