PBB (Pun) Melirik Keuangan Syariah (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 5 Januari 2018, Hlm. 21 &27)
Oleh:
Khairunnisa Musari
“…
Ada kejadian memilukan seperti ini di Jember. Ke depan, mohon bantuan dan
partisipasi aktif warga agar lembaga-lembaga sosial, khususnya BAZNAS dan LAZ,
bisa berperan aktif dalam mengantisipasi hal-hal seperti ini. Mohon masukan dan
diskusikan agar bagaimana kita penggiat zakat bisa punya mekanisme sistem
grassroot yang mengantisipasi
problem-problem kemiskinan absolut seperti ini…”.
Demikian pesan untuk saya yang
masuk Whatsapp (WA) dari salah satu
Komisioner Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS) pagi itu. Sebuah link dari media daring disertakannya pula tentang pemberitaan seorang nenek di
Jember yang meninggal di semak-semak karena diduga kelaparan. Selisih dua hari,
seorang kolega dosen dari Fakultas Ekonomi Bisnis Universitas Jember
menginfokan kepada saya di grup WA asosiasi profesi bahwa berita itu tidak
benar. Camat di wilayah ditemukannya Sang Nenek adalah pamannya yang
mengklarifikasi bahwa meninggalnya Sang Nenek bukan karena kelaparan.
Pesan dari Komisioner BAZNAS
kepada saya terkait berita Sang Nenek memang sangat beralasan. Kami berdua saat
ini terlibat kerjasama dengan United
Nations Development Programme (UNDP), salah satu organ milik Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB), untuk menyusun program nasional berbasis keuangan syariah
dalam rangka mencapai Sustainable
Development Goals (SDGs). Tujuan ke-2 dari 17 Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan adalah Zero Hunger. Pantaslah
berita tersebut di-share kepada saya.
Ya, dalam rangka
melaksanakan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang menjadi pedoman bagi
banyak negara di dunia dalam menentukan arah pembangunan nasional, PBB melalui
UNDP kini melirik keuangan syariah sebagai salah satu alat untuk mencapainya.
Setahun terakhir, UNDP Indonesia melakukan penandatanganan nota kesepahaman
dengan sejumlah lembaga dan perguruan tinggi untuk berkolaborasi memberi ruang
lebih besar bagi keuangan syariah untuk berkontribusi dalam pencapaiannya.
Mengenal SDGs
Jika
diruntut ke belakang, inisiasi konsep SDGs sesungguhnya diusulkan oleh Kolombia
saat berlangsung government retreat di Solo pada Juli 2011 sebagai
persiapan konferensi Rio. Pada 19 Juli 2014, Open Working Group (OWG)
PBB meneruskan usulan SDGs kepada Majelis Umum PBB. Lalu, pada 5 Desember 2014,
Majelis Umum PBB menerima usulan OWG sebagai dasar untuk membentuk agenda pasca
MDGs. Negosiasi dengan pemerintah berbagai negara dimulai pada Januari 2015 dan
berakhir pada Agustus 2015.
Akhirnya,
pada 25-27 September 2015, para pemimpin dari 194 negara, civil society, dan
berbagai pelaku ekonomi dari seluruh penjuru dunia berkumpul di Markas
PBB di New York untuk memulai Agenda SDGs 2030. Suara-suara dari berbagai
negara yang menuntut kepemimpinan dunia
dalam mengatasi kemiskinan, kesenjangan, dan perubahan iklim menjadi aksi
nyata. Terwujudlah 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau Tujuan Global
dengan 169 target yang menjadi tuntunan kebijakan dan pendanaan bagi seluruh
negara di dunia untuk 15 tahun ke depan
Konsep SDGs sejatinya adalah seperangkat tujuan, sasaran, dan indikator
pembangunan yang berkelanjutan yang bersifat universal yang menyeimbangkan tiga
dimensi pembangunan berkelanjutan: lingkungan, sosial, dan ekonomi. SDGs
merupakan kelanjutan dan perluasan dari Millennium
Development Goals (MDGs) yang telah dilakukan oleh negara-negara di dunia
sejak 2001 hingga akhir 2015.
Dari kacamata ekonomi Islam,
17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan sesungguhnya memiliki kedekatan dengan misi
yang diemban ekonomi Islam. Seluruhnya memiliki hubungan dan membentuk mata
rantai yang saling terikat. Betapa tidak, pembangunan ekonomi tentu akan
memberi implikasi kepada hampir semua lini kehidupan, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Lihat saja Tujuan 1 (Tanpa
kemiskinan), Tujuan 2 (Tanpa kelaparan), Tujuan 3 (Kehidupan sehat dan
sejahtera), Tujuan 6 (Air bersih dan sanitasi layak), Tujuan 7 (Energi
bersih dan terjangkau), Tujuan 8 (Pekerjaan layak dan pertumbuhan ekonomi),
Tujuan 9 (Industri, inovasi dan infrastruktur), Tujuan 10 (Berkurangnya
kesenjangan), termasuk Tujuan 12 (Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab).
Keuangan Syariah untuk SDGs
Kehadiran Komite Nasional Keuangan
Syariah (KNKS) sesungguhnya menjadi sinyal perubahan paradigma keuangan syariah
di Indonesia yang semula mengandalkan bottom-up
approach, kini menjadi kolaborasi bottom-up
dan top-down approach. Sudah banyak
indikasi kuat, perlahan tapi pasti, pemerintah berkomitmen untuk menjadikan
keuangan syariah sebagai bagian dari pembangunan nasional.
Salah satu wacana yang kini sedang mendapat
perhatian banyak pihak adalah integrasi keuangan komersial Islam dengan
keuangan sosial Islam. Pada tataran inilah, instrumen-instrumen sosial Islam
seperti zakat, infaq, sedekah, dan wakaf saat ini menjadi konsen sejumlah
pihak, termasuk pemerintah, bahkan pula oleh PBB.
Saat ini, UNDP tengah menggodok
instrumen wakaf dan sukuk sebagai alat untuk mencapai Tujuan Pembangunan
Berkelanjutan. Wakaf dan sukuk dilirik tentu bukan karena tanpa alasan.
Instrumen ini dinilai strategis karena memiliki scale of economics yang besar untuk mewujudkan target SDGs.
Sebelumnya, PPB juga memberi perhatian
kepada zakat. Bahkan, dalam World
Humanitarian Summit yang diselenggarakan PBB di Istanbul, pemerintah
Indonesia melalui Bank Indonesia (BI)
meluncurkan Zakat Core Principles
(ZCP) yang merupakan kontribusi nyata Indonesia terhadap pengembangan keuangan
sosial Islam dan standar pengelolaan zakat yang lebih baik di dunia.
Secara keseluruhan, tulisan ini
sebenarnya ingin mengatakan bahwa ekonomi dan keuangan syariah kini menjadi
perhatian dunia. Jika selevel PBB saja sudah meyakini bahwa keuangan sosial dan
komersial syariah bisa menjadi salah satu alat untuk menjawab tantangan SDGs,
maka kita semua di daerah juga seharusnya dapat juga menjadikan keuangan
syariah sebagai gerakan yang lebih kongkret untuk menjawab persoalan-persoalan
sosial ekonomi di sekitar kita. Wallahua’lam
bish showab.
Komentar
Posting Komentar