Mencari Desa Mandiri Berbasis Ekonomi Syariah (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 6 Oktober 2017, Hlm. 25 & 35)
Oleh:
Khairunnisa Musari
“Bu Nisa... Selamat
malam. Salam kenal, saya Robi dari BI Surabaya. Saya dapat info dari Pak Difi
bahwa Bu Nisa........ bla bla bla. Kami sangat mengapresiasi bantuan Bu Nisa
dan akan menunggu kabar selanjutnya.”
Pesan pendek yang masuk via Whatsapp (WA) dari sekretaris panitia Indonesia Sharia Economic Festival
(ISEF) itu kemudian berujung diskusi dengan uraian yang cukup panjang. Keesokan
harinya, sepucuk surat edaran dari asosiasi profesi kami kepada seluruh
jaringan komisariat perguruan tinggi di Jawa Timur sudah disebar. Sebuah flyer juga sudah terpasang di sosial
media untuk mempercepat penyebaran informasi. Tak lama berselang, sudah ada
respon yang masuk. Sebuah desa di wilayah Tapal Kuda diusulkan oleh seorang
kolega dosen. Desa?
Ya, panitia ISEF meminta bantuan
untuk mengumpulkan desa-desa di Jawa Timur yang diusulkan masyarakat untuk
menjadi kandidat Desa Berbasis Ekonomi Syariah. Belum ada kriteria yang
ditetapkan. Dengan menggunakan pendekatan bottom-up,
panitia mengharapkan akan terhimpun kriteria versi masyarakat untuk nanti akan
dibahas dalam focus group discussion
(FGD). Masyarakat dipersilahkan mengusulkan nama desa beserta alasan-alasannya.
Masukan kriteria penilaian versi masyarakat inilah yang akan diolah untuk nantinya
menjadi konsensus bersama.
ISEF dan
Jawa Timur
Bulan Oktober ini, seluruh Kantor
Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) di Jawa Timur akan disibukkan dengan kegiatan
Road to ISEF. Puncaknya akan
berlangsung di pekan pertama bulan November. Perhelatan ini adalah kali keempat
diselenggarakan di Surabaya. Wacana yang menguak, ISEF akan dijadikan ikon Jawa
Timur.
Sebagaimana provinsi lainnya di
Indonesia, Jawa Timur memiliki keunikan dan kekhasan. Jawa Timur memiliki
karakteristik kemajemukan penduduk yang menjadi modal sosial untuk pembangunan
yang bertumpu pada kearifan dan kebijakan lokal. Islam sejatinya menjadi salah
satu ‘karakter’ Jawa Timur yang melekat jika dilihat dari dinamika sosial
budaya kemasyarakatan serta kontribusinya dalam sejarah penyebaran agama Islam
di Indonesia maupun sejarah perjuangan kemerdekaan bangsa ini.
Dalam konteks Jawa Timur, urgensitas ekonomi syariah implementatif
adalah keniscayaan. Hal ini bukan dimaksudkan sekedar membantu pemerintah
provinsi dalam menyelesaikan persoalan umat Islam. Tetapi, hakekatnya adalah
membantu menyelesaikan persoalan masyarakat Jawa Timur secara umum mengingat
jumlah penduduk muslim adalah mayoritas. Hal ini semakin
dikuatkan dengan setidaknya tiga fakta.
Pertama, jumlah
penduduk muslim Jawa Timur adalah peringkat kedua setelah Jawa Barat. Jumlah
penduduk Jawa Timur hingga akhir 2015 sebesar 38.847.561 jiwa dengan sebaran
terbesar berturut-turut berasal dari Kota Surabaya, Kabupaten Malang, Jember, dan
Sidoarjo. Merujuk data Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk muslim di Jawa
Timur sebanyak 36.113.396 jiwa atau 17,43% dari total penduduk muslim di
Indonesia atau 97,19% dari total penduduk Jawa Timur.
Kedua, Jawa
Timur adalah kantong organisasi masyarakat Islam terbesar di Indonesia. Meski
tidak ada yang bisa memastikan berapa jumlah persisnya, namun diperkirakan
jumlah warga Nadhlatul Ulama (NU) di Jawa Timur mencapai lebih dari 60 juta.
Meski jumlah warga Muhammadiyah tidak sebanyak warga NU, namun dari 33 wilayah
Muhammadiyah se-Indonesia, Muhammadiyah Jawa Timur dinilai paling militan dalam
menjalankan roda organisasi dan unggul dalam kerja-kerja pendidikan, sosial,
dan keagamaan.
Ketiga, Jawa
Timur memiliki jumlah pesantren terbanyak nomor dua di Indonesia. Menurut
Statistik Pendidikan Islam Kementerian Agama 2011-2012, populasi pondok
pesantren di Jawa Timur selama periode 2011-2012 sebanyak 6.003 atau 22,05% di
bawah Jawa Barat yang sebanyak 7.624 atau setara 28% dan di atas Jawa Tengah
yang sebanyak 4.276 atau sekitar 15,70% dari total pondok pesantren di
Indonesia.
Menuju
Desa Mandiri Berbasis Ekonomi Syariah
Ya, Jawa Timur menjadi pilot project akselerasi ekonomi dan
keuangan syariah nasional. Itu juga salah satu yang mendasari ISEF berturut-turut
selalu diselenggarakan di Jawa Timur. Tahun ini, salah satu output ISEF adalah
peluncuran Desa Berbasis Ekonomi Syariah. Penyelenggara mengharapkan akan
dihasilkan indikator kunci dalam menentukan kriteria penilaiannya. Sebagaimana
ilmu ekonomi secara umum, ilmu ekonomi syariah juga sangat luas. Perbankan
syariah yang selama ini menjadi motor ekonomi syariah, sesungguhnya adalah
bagian kecil dari ilmu ekonomi syariah itu sendiri. Dengan demikian, Desa
Berbasis Ekonomi Syariah tidak selalu diindikasikan dengan kehadiran lembaga
keuangan syariah semata.
Apakah lembaga keuangan syariah
tidak menjadi variabel dan/atau indikator? Ya, tentu saja menjadi
variabel/indikator. Tetapi bukan itu saja. Pasalnya, tujuan ekonomi syariah
sejatinya merujuk pada maqasid shari’ah.
Artinya, dalam ruang lingkup luas, ekonomi syariah dapat memiliki beragam
variabel/indikator yang membentuk mata rantai sehingga unsur maqasid shari’ah termanifestasi di
dalamnya. Salah satu tantangan bagi ekonom syariah adalah menjadikan variabel
dalam maqasid shari’ah ini menjadi
terukur.
Lalu, bagaimana memilih Desa
Berbasis Ekonomi Syariah? Ya, dari usulan-usulan desa yang masuk beserta
alasan-alasannya itu kemudian dilakukan klasifikasi variabel dan indikator
pengukurnya. Dari proses inilah kemudian disusun draf Arsitektur Desa Berbasis
Ekonomi Syariah dengan pilar-pilarnya sebagai wujud variabel. Selanjutnya
dilakukan penguatan data dengan memformasi ulang informasi desa sesuai dengan
pilar yang telah terbentuk. Dari proses inilah kemudian dilakukan skoring
terhadap desa-desa yang diusulkan untuk menemukan indeksnya. Pada screening awal, panitia ISEF
merencanakan mengambil empat desa dengan indeks tertinggi. Selanjutnya akan dilakukan
kunjungan lapangan untuk menghimpun data dan informasi lebih jauh. Dari proses
inilah kemudian nanti akan dipilih satu dari empat desa tersebut untuk diusung
sebagai pilot project Desa Mandiri
Berbasis Ekonomi Syariah.
Harus diakui, program ini sangat
strategis dalam membumikan ekonomi syariah, utamanya dalam menggerakkan
perekonomian desa berbasis sektor riil. Dengan hadirnya bank sentral sebagai
pengusung dan menjadi garda terdepan, maka ke depan diharapkan dapat
dimunculkan desa-desa binaan yang mempertemukan perguruan tinggi, lembaga
keuangan, pemerintah daerah, dan stakeholder
ekonomi syariah untuk bahu-membahu membangun desa mandiri, berdaulat, dan
humanis.
Ya, sejatinya Islam menjadi salah
satu ‘karakter’ Jawa Timur. Tidak jarang kita temukan kearifan lokal yang
sejatinya adalah cermin ajaran agama Islam. Untuk itu, sudah selayaknya ekonomi
syariah diberi ruang untuk menjadi bagian dari solusi atas berbagai persoalan
sosial ekonomi kemasyarakatan. Tidak hanya untuk Jawa Timur, tetapi juga untuk
Indonesia. Wallahua’lam bish showab.
Mantap buk K.. jika hal ini dapat berjalan dengan baik...
BalasHapus