Mewaspadai Promo Murah Biaya Umroh (Harian KONTAN, 11 Agustus 2017, Hlm. 27)




Oleh: Khairunnisa Musari

Menyusul pembekuan penawaran perjalanan umroh berpromo murah milik PT First Anugerah Karya Wisata atau First Travel oleh Satuan Tugas (Satgas) Waspada Investasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Kementerian Agama (Kemenag) kemudian ikut mencabut izin penyelenggaraan perjalanan umroh berpromo murah tersebut melalui Keputusan Menteri Agama Nomor 589 Tahun 2017 yang ditetapkan sejak 1 Agustus 2017. Meski kegiatan bisnis ini tidak berhubungan langsung dengan sektor keuangan, namun laporan yang masuk kepada Satgas dapat ditindaklanjuti oleh OJK yang memiliki nota kesepahaman kerjasama dengan kepolisian, kejaksaan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), dan lembaga lainnya untuk penindakan, termasuk dengan Kemenag.
Kasus penelantaran jamaah haji sebagai penyebab pemberian sanksi bagi First Travel bukanlah yang pertama terjadi pada industri penyedia jasa layanan umroh dan haji. Kasus ini muncul tenggelam. Bahkan, belakangan, hampir setiap tahun selalu terjadi kasus senada. Mayoritas memiliki kesamaan, yaitu biaya perjalanannya yang sangat murah.
Seperti halnya mewaspadai tawaran investasi bodong, maka masyarakat perlu pula memiliki kemampuan literasi keuangan terhadap tawaran umroh atau haji berbiaya murah. Calon jamaah seyogyanya tidak tergiur dengan iming-iming harga penawaran yang jauh di bawah harga pasar. Situasi yang muncul biasanya akan berujung pada kasus penelantaran jamaah atau bahkan penggelapan.  

Model Pembiayaan

Model pembiayaan berpromo murah memiliki ragam modus. Promo murah First Travel disinyalir dengan memberi subsidi calon jamaah yang mendaftar di awal dengan menggunakan dana dari calon jamaah yang baru mendaftar. Calon jamaah yang mendaftar terakhir adalah yang paling dirugikan. Beberapa kali pemunduran jadwal keberangkatan mengindikasikan mekanisme yang berjalan mengalami bottleneck.  
Model pembiayaan lainnya yang memberi iming-iming harga murah adalah dengan memberi jarak antara proses pelunasan pembayaran dengan pemberangkatan yang relatif lama. Kebanyakan sekitar satu hingga dua tahun. Hal ini juga yang ditengarai dilakukan First Travel dalam promo murah perjalanan umrohnya. Lazimnya, pemberangkatan akan dilaksanakan sebulan setelah pelunasan.
 Model pembiayaan lainnya yang dilakukan biro travel dalam memberi harga sangat murah adalah dengan sistem berjenjang atau yang lazim disebut multi level marketing (MLM). Sebelumnya, tawaran umroh dan haji berbasis MLM masih memiliki ruang perdebatan. Kritik terhadap MLM umroh dan haji semakin kuat karena model ini memfasilitasi seseorang beribadah dengan ‘berutang’ kepada down line dan terdapat potensi terjadinya tadlis. Dalam MLM umroh dan haji, penekanannya bukan lagi pada urusan jual beli dan distribusi produk sebagaimana MLM murni, melainkan tentang bagaimana cara member get member. Model ini resmi dilarang melalui surat edaran dari Kemenag Nomor Dj.VII/Hj.09/10839/2012 tanggal 26 Desember 2012.
Jika disimak, perjalanan umroh atau haji murah kerap diikuti pula dengan keterlibatan tokoh masyarakat, baik artis, ulama atau pejabat, untuk ikut memasarkan produk. Padahal, bisa jadi tokoh masyarakat tersebut tidak tahu menahu bagaimana perusahaan penyedia jasa ini mengelola keuangan sehingga dapat memberi penawaran dengan harga yang sangat murah. Lagi-lagi literasi keuangan terhadap kegiatan umroh atau haji nyatanya tidak hanya dibutuhkan oleh calon jamaah, tetapi juga bagi tokoh masyarakat.

Edukasi

Memang tidak ada harga standar untuk besaran biaya perjalanan umroh, namun pemerintah biasanya sudah memberi batasan harga. Setidaknya terdapat dua langkah sederhana yang dapat digunakan untuk mewaspadai tawaran biro perjalanan umroh, terutama yang memberi harga sangat murah. 
Pertama, pastikan status hukum dan rekam jejak perusahaan penyedia jasa perjalanan umroh dan haji. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari informasi kepada Kantor Kemenag Kabupaten/Kota. Tidak jarang perusahaan yang menawarkan umroh atau haji ternyata belum memiliki izin resmi, namun sudah melakukan operasional. Tidak sedikit perusahaan yang sudah memperoleh sanksi, bahkan masuk blacklist, namun tetap gencar menawarkan produk umroh atau hajinya.
Kedua, pelajari komposisi harga pokok penjualan (HPP) untuk menilai ada tidaknya model pembiayaan yang menyimpang. Paling tidak, biaya umroh memiliki rincian biaya tiket pesawat pulang pergi, biaya penginapan di Mekkah dan Madinah, biaya visa, biaya fiskal, biaya makan, dan biaya jasa perusahaan perjalanan. Jika calon jamaah mendapat harga perjalanan yang hanya setara dengan nilai tiket pulang pergi, tentu calon jamaah perlu mempertanyakan bagaimana biro perjalanan mendanai kebutuhan lainnya.
 Ya, bagi umat Islam, mengunjungi Baitullah adalah impian. Dalam konteks Indonesia, ekonomi umroh dan haji menjadi industri dengan ceruk pasar yang sangat besar mengingat jumlah penduduk Muslimnya yang juga terbesar di dunia. Hal ini pula yang menjadi potensi terjadinya moral hazard karena kegiatan umroh dan haji bukan lagi dipandang sebagai bentuk ibadah, melainkan sebagai komoditas. Wallahu a’lam bish showab. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)