Menakar Akselerator Komite Keuangan Syariah (Harian KONTAN, Opini, 11 Juli 2017, Hlm. 23)


Oleh: Khairunnisa Musari*

Launching menjelang beroperasionalnya Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) akan diselenggarakan akhir Juli ini. Dengan mengambil momen Silaturahmi Kerja Nasional (Silaknas) Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) yang mengusung tema ‘Ekonomi Islam untuk Rakyat’, KNKS diperkirakan siap berkiprah tak lama lagi.

KNKS secara resmi ditetapkan Presiden Republik Indonesia (RI) tanggal 3 November 2016 dan telah diundangkan oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI tanggal 8 November 2016 melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 91 Tahun 2016. Sebelumnya, rencana pembentukan KNKS telah disampaikan oleh Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) kala peluncuran Masterplan Arsitektur Keuangan Syariah Indonesia (AKSI) dalam World Islamic Economic Forum (WIEF) pada 2 Agustus 2016.
Sebagai wadah koordinasi, sinkronisasi, dan sinergi arah kebijakan dan program strategis pembangunan nasional di sektor keuangan syariah, kehadiran KNKS secara kongkret diharapkan dapat mengurangi berbagai hambatan industri keuangan syariah. Selama ini, kurangnya dukungan pemerintah menjadi salah satu alasan utama kurang berkembangnya kinerja industri. Kini, dengan Presiden RI menjadi Ketua dan Wakil Presiden RI sebagai Wakil Ketua KNKS, maka kesediaan pemerintah untuk hadir diharapkan dapat menjadi pengungkit pengembangan keuangan syariah di Indonesia.

Kemenag sebagai Akselerator

Selain Ketua dan Wakil Ketua, susunan organisasi KNKS juga terdiri dari Dewan Pengarah dan Manajemen Eksekutif. Dewan Pengarah beranggotakan pimpinan otoritas, kementerian/lembaga, dan pemangku kepentingan lain. Kementerian Agama (Kemenag) adalah salah satunya. Dari seluruh unsur yang ada, Kemenag memiliki peran strategis sebagai akselerator kebijakan.
Secara ‘ideologi’, Kemenag memiliki hubungan erat dengan keuangan syariah. Pasalnya, Kemenag secara kelembagaan diberi wewenang oleh negara untuk membidangi urusan agama Islam dan pembinaan syariah. Pada tataran inilah Kemenag memiliki ‘ikatan’ karena keuangan syariah yang berkembang saat ini adalah sistem keuangan yang kegiatannya merujuk pada ketentuan hukum Islam.
Selain itu, secara struktural, Kemenag memiliki potensi ‘pasar’ yang dapat membantu percepatan pengembangan keuangan syariah. Merujuk data Statistik Pendidikan Indonesia 2015/2016, jumlah sekolah Islam yang berada di bawah Kementerian Agama sebanyak 27.999 Bustanul Athfal (BA)/Raudatul Athfal (RA), 24.560 Madrasah Ibtidaiyah (MI), 16.934 Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan 7.843 Madrasah Aliyah (MA). Untuk perguruan tinggi keagamaan Islam negeri (PTKIN), terdapat 11 Universitas Islam Negeri (UIN), 26 Institut Agama Islam Negeri (IAIN), dan 18 Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN). Hal ini menunjukkan kapabilitas Kemenag dalam menggerakkan sekolah-sekolah Islam untuk mendukung keuangan syariah.
Dalam jangka pendek, yang mungkin dilakukan Kemenag selain mempertahankan kebijakan penempatan dana haji, adalah memanfaatkan bank syariah sebagai penyalur pembayaran gaji para pegawai. Hadirnya Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 11/PMK.05/2016 tanggal 29 Januari 2016 memberi legitimasi bagi bank syariah sebagai alternatif pembayaran gaji pegawai negeri sipil (PNS) di lingkungan Kemenag. Bagi PTKIN yang membuka Fakultas Ekonomi Bisnis Islam (FEBI), kehadiran bank syariah seharusnya menjadi keniscayaan.

Ke Depan

Upaya pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat keuangan syariah dunia semakin menuju arah yang jelas. Di masa lalu, pendekatan bottom-up lebih mendominasi sebagai motor pengembangan keuangan syariah di Indonesia. Kini, kehadiran KNKS menjadi simbol pendekatan baru yang mengombinasikan bottom-up dan top-down yang diharapkan dapat mengakselerasi keuangan syariah untuk mengambil peran lebih dalam pembangunan ekonomi nasional.
 Ke depan, langkah akselerasi KNKS seyogyanya memastikan lima hal. Pertama, memastikan visi misi dan komitmen para stakeholders agar terjadi sinergi yang menuju arah sama dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan institusi. Kedua, memastikan roadmap yang detil beserta target, ukuran pencapaian, dan penanggung jawab agar terjadi sinkronisasi dan distribusi tanggung jawab sesuai dengan kapasitas dan wewenang yang dimiliki masing-masing pemangku kepentingan.
Ketiga, optimalitas kapasitas KNKS sebagai satu-satunya forum koordinasi yang powerful dalam menjembatani sektor keuangan syariah dan sektor riil. Hal ini diantaranya dengan memastikan koordinasi dengan stakeholders tidak sekedar seremoni atau narasi semata, tetapi benar-benar diwujudkan dalam program kerja kongkret yang mendukung keuangan syariah di masing-masing institusi.
Keempat, memastikan tidak terjadi overlapping program yang mengakibatkan over budget. Hal ini mengingat pendanaan utama KNKS bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tetap harus dijaga.

Kelima, memastikan keuangan syariah menjadikan industri yang inklusif bagi semua kalangan. Keuangan syariah harus dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan skala besar hingga nanofinance melalui linkage program antar stakeholders, termasuk bersinergi dengan Islamic social enterprises. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)