Belajar dari Wu Da Ying - 2 (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 28 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)
Oleh: Khairunnisa Musari*
“Ahpo sering bertanya tentang rencana
karirku. Ia tahu bahwa aku tidak lama akan meninggalkan kampung halaman untuk
menempuh SMA di Surabaya karena sekolah Tionghoa lokal hanya menyediakan untuk
SMP... Ahpo tidak berkeinginan aku menjalankan bisnis keluarga. Ia berulang
kali mengatakan bahwa pendidikan adalah harta yang tidak dapat dirampas oleh
siapa pun. Ini adalah gagasan segar progresif dari seorang perempuan yang buta
huruf sepanjang hidupnya!”
Pesan Ahpo,
juga setelah melakukan perjalanan ke Hongkong, Wu Da Ying semakin memantapkan
hatinya untuk tidak berhenti hanya di pendidikan menengah. Ying melihat mereka
yang berkontribusi pada masyarakat dan membuat perbedaan di kehidupan orang
lain, semuanya memiliki pendidikan. Setelah lulus SMP, Ying melanjutkan ke Sin Hwa High School (SHHS) di Surabaya
yang menekankan pendidikan dan pembangunan karakter. SHHS menanamkan Ying
tentang etika kerja keras, hasrat akan pengetahuan baru, dan keinginan untuk
mencari kebenaran. Inilah kawah keilmuan bagi Ying untuk kian bersemangat
melanjutkan studi pendidikan tinggi.
Untuk meraih
cita-citanya, Ying memiliki dua opsi, yaitu melanjutkan studi di universitas di
Indonesia atau di luar negeri. Untuk mempersiapkan itu semua, Ying sempat
mengikut les privat bahasa Inggris pada guru pribumi Muslim yang juga menjadi
Kepala Sekolah SMA negeri di Kladura.
Namun, lama
dan alotnya negosiasi Perjanjian Kewarganegaraan Ganda tahun 1956 antara
Indonesia dan Tiongkok mengubah kehidupan sosial politik kaum
Tionghoa-Indonesia, utamanya bagi mereka yang menjalankan usaha kecil dan hidup
di pedesaan. Hingga puncaknya, Tragedi 1965 membuat perubahan besar-besaran
bagi masyarakat Tionghoa-Indonesia. Pergantian presiden menjadi titik balik
bagi kebijakan pemerintahan Indonesia atas Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan
Tionghoa-Indonesia di Indonesia.
Akhirul
kalam, menggelegaknya kekerasan Anti-Tiongkok yang sarat rasisme dan kebencian,
dibatasinya orang Tionghoa-Indonesia kuliah di universitas negeri, dan berbagai
hal lainnya yang membuat Ying tertekan, terhina, terzalimi hanya karena ia
seorang Tionghoa-Indonesia, memaksa Ying membuat keputusan yang mengubah
hidupnya. Situasi saat itu sangat berat, tidak hanya pada Ying, tetapi juga
jutaan Tionghoa-Indonesia lainnya yang sedang berjuang. Terlebih puncaknya,
peristiwa G30S dan peristiwa-peristiwa lain yang mengikutinya menyisakan trauma
dan ketakutan mendalam. Kecintaannya pada Indonesia ternyata tak berbalas. Surabaya
dan Jakarta bukan tempat kondusif untuknya memperoleh pendidikan tinggi. Ying
akhirnya memberanikan diri mengambil langkah seperti Ahgong satu abad
sebelumnya, meninggalkan tanah kelahiran dan mencari kehidupan lebih baik di
tanah asing.
Ilmuwan Biokimia, Ahli Enzim
Punya anggota keluarga yang memiliki penyakit
diabetes? Atau pernahkah anda cek gula darah? Jika ya, ingatkah dengan lembaran strip ‘One Touch’ seukuran ruas kelingking orang dewasa yang oleh petugas
laboratorium diteteskan darah dari ujung jari kita, kemudian lembaran strip
tersebut dimasukkan ke dalam alat pembaca hasil? Ya, ternyata salah satu
penemunya adalah Wu Da Ying, nama Tionghoa dari Prof. That Tjien Ngo, PhD. Penemuannya
bermanfaat sekali untuk melakukan tes kuantitatif glukosa darah yang
diaplikasikan di rumah. Saat itu, hasil uji milik Prof. That Ngo menjadi yang
pertama dan satu-satunya yang dapat digunakan dalam mengukur glukosa darah.
Sedangkan tes kuantitatif glukosa lainnya masih memerlukan serum atau plasma.
Selain menjadi dewan editorial dari sejumlah
jurnal biokimia terkemuka, Prof. That Ngo telah mempublikasi lebih dari seratus empat puluh
artikel dan tujuh buku teks berkaitan dengan biokimia. Tidak hanya itu, ia juga
beberapa kali memperoleh penghargaan, baik dari perguruan tinggi maupun
masyarakat industri kimia, atas berbagai temuannya. Setelah melalui berbagai
pengujian, temuan-temuannya mendapat pengakuan dan hak paten. Beberapa bahkan
diproduksi massal oleh perusahaan alat kesehatan.
Momen ‘Eureka’ bagi Ngo terus berlanjut.
Salah satunya adalah penggunaan
2-fluoro-1-methylpyridinium toluene-4-sulfonate (FMP) dalam bioteknologi
yang kemudian menghasilkan temuan pemurnian antibodi dan gel anifitas lainnya.
Ah, saya tidak paham semuanya. Bukan bidang saya. Intinya, temuan Prof. That
Ngo tidak hanya bermanfaat bagi pengembangan keilmuan, tetapi juga bagi orang
banyak.
Build your legacy!
Membaca
penuturan Prof. That Ngo dalam bukunya, jelas terpampang perjalanan berliku dan
terjal yang ia lalui. Kerja keras dan kemandirian yang terus ia perjuangkan
menjadi kunci keberhasilannya menapak tangga keilmuan yang ia citakan. Ngo
datang ke Kanada dengan hanya bekal keyakinan bahwa pendidikan akan menjadi
penyelamat masa depannnya. Ah, Ahpo pasti bangga kepada cucunya karena telah
berhasil memenuhi cita-cita Sang Nenek.
Tiba-tiba saya teringat ilmuwan muslim kimia di masa kejayaan ilmu
pengetahuan Islam menjadi cahaya peradaban dunia. Tersebut nama Jabir Ibn
Hayyan yang menemukan asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, asam asetat, dan
larutan aqua regia. Ia menciptakan alat untuk melakukan proses distilasi,
evaporasi, dan kristalisasi. Jabir yang dikenal Barat dengan Ibnu Geber telah mampu
mengaplikasikan proses pembuatan logam serta pencegahan karat. Termasuk juga
teknik penggunaan mangan dioksida pada pembuatan kaca. Ia yang mula menyuarakan
bahwa air dapat dimurnikan melalui penyulingan. Ia juga berhasil memanaskan wine untuk menghasilkan gas yang mudah
terbakar dan Al-Kindi menjelaskan detil proses distilasi wine sehingga menjadi jalan bagi Al-Razi untuk menemukan etanol.
Ya, penemuan-penemuan Jabir menjadi landasan untuk berkembangnya ilmu dan
teknik kimia modern saat ini. Dan Prof. That Ngo juga telah menanamkan landasan
berkembangnya ilmu dan teknik biokimia untuk masa depan. Inilah pelajaran mahal
untuk kita semua. Build your legacy! Inilah
wakaf ilmu yang menjadi amal jariah bagi si penemunya.
Untuk Prof. That Ngo, terimakasih untuk kisahnya. Ini juga your legacy. Terimakasih masih mengakui
Lumajang atau Kladura sebagai tanah kelahiran. Terimakasih atas kecintaannya
pada Indonesia meski luka masa lalu itu masih membekas. Membangun rasa ingin
tahu, kerja keras, mandiri, dan menjaga etika keilmuan adalah karakter ilmuwan
sejati. Semoga kami juga mampu meninggalkan jejak ilmu pengetahuan yang memberi
manfaat sebesar-besarnya untuk masyarakat dunia, tanpa rasisme, tanpa
kebencian, tanpa menyakiti...
Komentar
Posting Komentar