Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)

 

 

Oleh: Khairunnisa Musari*

Assalamu’alaikum. Ibu di Jember? Saya sedang di Jember. Saya bawakan buku Pak That Ngo... Baik, Bu. Nanti saya titipkan ke Pak Budhy FISIP Unej... Ibu, mohon maaf. Bukunya kemarin saya titipkan Prof. Halim. Kata Prof. Halim, Ibu satu kantor dengan beliau...

Demikian pesan beruntun dari seorang dosen Hubungan Internasional (HI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) via Whatsapp (WA). Saya memanggilnya Pak Tonny. Beliau alumni HI Universitas Jember (Unej). Beliau tengah menempuh S3 di Universiti Sains Malaysia (USM). Pak Tonny ke Jember dalam rangka konsultasi karena Sang Supervisor yang kebetulan juga menjadi kenalan baik saya tengah berkunjung ke Jember.

Mengetahui saya dari Lumajang, Pak Tonny menghubungkan saya dengan Prof. That Tjien Ngo. Saya semakin tertarik berkenalan karena bidang ilmu beliau sama dengan yang digeluti suami saya. Ya, beliau adalah ahli biokimia dari Amerika Serikat (AS) yang menjadi penemu sejumlah produk kesehatan yang juga memegang 14 paten. Prof. That Tjien Ngo beberapa waktu lalu mengunjungi beberapa perguruan tinggi di Indonesia untuk melakukan bedah buku, salah satunya adalah kampus Pak Tonny. Pak Tonny mendapatkan sejumlah buku yang kemudian hendak dibaginya satu untuk saya.

Buku yang dijanjikan Pak Tonny akhirnya sampai di tangan. Prof. Halim, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember yang juga menjadi Guru Besar di IAIN Jember, mengantarkannya ke ruangan kerja saya. Subhanallah, seharusnya saya yang menemui beliau, tetapi justru beliau yang mengantarkannya sendiri ke ruangan saya. Jazakallaah ya, Prof...

Kladura, Lumajang di Masa Lalu

“Di sebuah desa dekat kaki Gunung Semeru, Jawa Timur, Wu Da Ying lahir dan dibesarkan di lingkungan keluarga pedagang Tionghoa. Desa yang menyimpan kenangan sekaligus membangun keterikatan sejarah dan emosionalnya, meski ia sekarang tak lagi berteduh di atas rumah desanya. Kehidupannya beserta keluarga besar sarat tantangan dan peluh, namun mereka mampu menikmatinya. Bisnis dan hubungan mereka dengan warga pribumi pun terajut indah. Nenek moyang Wu Da Ying ikut merintis roda perekonomian di sebagian wilayah Jawa Timur...”.

Demikian paragraf pembuka dari sinopsis buku yang mengisahkan pengembaraan seorang keturunan Hakka bernama Wu Da Ying. Mengawali membaca, saya larut dalam imajinasi ke awal tahun 1900-an. Ahgong (kakek) dan Ahpo (nenek) dari Wu Da Ying meninggalkan Tiongkok Selatan menuju Kepulauan Indonesia dan menetap di sebuah kota yang disebut Kladura.

Di pusat kota Kladura, terdapat taman rumput luas yang disebut alun-alun yang banyak berdiri beringin tua dan tinggi dengan akar menyerupai batang tebal. Di ujung bagian barat Kladura terdapat jalan sempit yang mengarah ke Tampe, Pasiran, Candopura, Tortoyudo, Jampit, kota-kota kecil dan desa lainnya yang menembus ke Malang. Ruas-ruas jalan berkelok mengelilingi lereng yang curam.

Wilayah Kladura di masa itu memproduksi pisang agung, jenis pisang dengan bobot tujuh ons dan panjang hingga dua kaki, kelapa, nangka, belimbing, rambutan, sawo, mangga, manggis, dan durian. Singkong, wortel, dan kentang juga banyak ditanam. Ratusan telaga di Kladura banyak berisi ikan air tawar. Sayuran seperti seledri, bayam, kangkung, dan genjer tumbuh subur di sungai, kolam, dan telaga. Di bukit-bukit sekitar, terdapat hutan jati yang lebat dan bambu. Perkebunan kopi, gula aren, karet, dan tembakau sudah bertebaran dan dimiliki penjajah Belanda.

Ya, tidak salah lagi, Kladura adalah Lumajang di masa lalu. Geliat perekonomiannya yang menghubungkan desa dan kota terpapar nyata dari kisah Wu Da Ying tentang bagaimana Ahgong dan Ahpo merintis toko dan memenuhi kebutuhan masyarakat Kladura dan sekitarnya. Properti Ahgong dan Ahpo salah satunya terletak di dekat stasiun kereta api, tepatnya di seberang kantor pos yang berluas 100 x 400 kaki.

Menghindari Bunga dan Minyak Babi

Wu Da Ying mengisahkan Ahgong hidup sangat hemat. Dalam berdagang, ia menyimpan setiap satu sen keuntungan untuk dapat membeli barang lebih banyak dengan harga lebih baik di Surabaya, kota pelabuhan yang berjarak 100 mil di utara Kladura. Ahgong secara perlahan mulai menjual beragam barang tahan lama seperti mie gandum kering, mie beras, biji kopi, daun teh, ekstrak daun gambir (untuk nginang), tawas (untuk menjernihkan air), tepung gandum (untuk membuat roti dan kue), perisa buah (untuk membuat sirup), pencelup makanan, dan rokok cengkeh.

Setidaknya ada dua catatan penting yang saya petik dari penuturan Wu Da Ying tentang kiprah Ahgong menjalankan roda perekonomian di Kladura. Pertama, menyediakan kredit bebas bunga. Di tahun 1920-an, semakin banyak orang Hokkian datang ke Jawa Timur. Mereka mulai membangun toko dan persaingan bisnis kian memanas. Ahgong meresponnya dengan menyediakan kredit bebas bunga selama seminggu kepada siapa pun yang berbelanja di tokonya. Ahpo menceritakan bahwa bisnis Ahgong mengalami kemajuan besar dalam volume dan laba. Banyak pedagang berkerumun di toko Ahgong. Ahgong sampai mengembangkan metode akuntansi sendiri untuk mencatat model kredit yang dirintisnya.

Kedua, Ahgong berencana membangun pabrik pengolahan minyak kelapa di belakang rumah. Banyaknya permintaan untuk minyak goreng ini dari penduduk Muslim mendorong Ahgong untuk membangunnya. Apalagi, di Kladura belum ada pabrik serupa. Sementara, masyarakat Tionghoa banyak menggunakan minyak babi.

Ya, untuk saya pribadi, catatan pertama tentang kredit bebas bunga Ahgong memberi sumbangan empirik bagi bidang keilmuan saya. Terlepas apakah Ahgong ternyata memiliki pemahaman bersumber dari agama yang melatarbelakangi keputusan bisnisnya untuk menghadapi persaingan, tetapi praktek kredit Ahgong yang ‘tidak lazim’ di masa itu membuktikan bahwa kredit bebas bunga adalah pilihan logis yang nyatanya dapat membawa keuntungan finansial jika dikelola dengan baik.

 Pada catatan kedua, terlepas penduduk Muslim merupakan pasar besar bagi Ahgong, namun setidaknya kita dapat menangkap bahwa Ahgong memiliki keinginan mulia untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Muslim yang dilarang agama mengkonsumsi babi. Ahgong yang merasa damai berdagang dan berinteraksi dengan masyarakat setempat juga mengindikasikan bahwa penduduk Muslim menghormati perbedaan keyakinan dan etnis Ahgong. Saling memahami dan menghargai perbedaan inilah kunci kedamaian masyarakat plural di Kladura saat itu. Sampai akhirnya... (Bersambung)