Ekonomi Ramadhan (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 9 Juni 2017, Hlm. 1 & 11)


Oleh: Khairunnisa Musari

“Kalau Iis, mungkin sejak kecil, beli baju baru bisa kapan saja. Di luar sana, banyak yang harus nunggu lebaran dulu supaya punya baju baru. Ya, kayak saya, baru beli baju, celana, sarung, kopiah, ya nunggu lebaran dulu.....”.

            Percakapan kami pun menjadi hening. Saya sudah tak berhasrat melanjutkan obrolan ketika kalimat-kalimat tersebut terucap dari bibir suami. Ada situasi yang baru dapat dipahami ketika diam yang bekerja. Mengkritisi, tetapi juga harus mau mengerti. Jangan menggeneralisasi. Mungkin itulah pesan tersirat yang ingin disampaikan suami beberapa tahun lalu ketika saya menanyakan mengapa ia setiap kali lebaran harus membeli pakaian baru.
            Ya, bila Ramadan, pertokoan kerap penuh sesak. Itu pula yang membuat saya enggan mendatangi toko-toko, kecuali untuk belanja kebutuhan rumah tangga yang mendesak. Bahwa lebaran identik dengan pakaian baru, itu tidak ada dalam kamus saya. Anak-anak pun pada akhirnya memahami. Tapi, suami saya punya kebiasaan berbeda.
            Ya, sekarang sudah bulan Sya’ban. Ramadan tinggal menghitung hari. Seperti tahun-tahun sebelumnya, geliat ekonomi masyarakat sudah terbaca. Di pasar ritel, berbagai promo berkelebatan di setiap sudut toko, mulai dari sirup, kue kaleng, kurma, hingga sembako. Di sosial media dan situs belanja online, juga sudah berseliweran berbagai tawaran produk kue, toples, baju, sepatu, gamis, sarung, dan jilbab yang dapat membuat para ibu rumah tangga khilaf dalam berbelanja.

Deflasi VS Inflasi

Bulan Ramadan kerap ditandai dengan aktivitas ekonomi yang dinamis seiring meningkatnya permintaan masyarakat. Inflasi menjadi fenomena yang lumrah terjadi. Namun demikian, tahun ini, bulan Ramadan sempat disambut dengan deflasi. Meski selama Januari hingga Februari terjadi inflasi, namun di bulan Maret, Jawa Timur mengalami deflasi sebesar 0,09 persen. Angka ini lebih tinggi dari deflasi nasional yang sebesar 0,02 persen. Sedangkan Jember mengalami deflasi sebesar 0,15 persen.
Adapun penyumbang deflasi tertinggi di Jawa Timur adalah kelompok bahan makanan bergejolak (volatile foods). Sedangkan deflasi terendah terjadi pada kelompok transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan. Di Jember, salah satu penyebab terjadi deflasi adalah turunnya harga beras karena panen raya di beberapa wilayah sehingga harga gabah kering panen di tingkat petani mengalami penurunan.  
Secara teoretis, meningkatnya jumlah barang di pasaran menjadi salah satu penyebab deflasi. Jika inflasi kerap diidentikkan sebagai masalah dalam perekonomian, maka deflasi bukanlah berarti sesuatu yang diidamkan dalam perekonomian. Deflasi juga merugikan sejumlah pihak. Petani atau produsen pasti akan ‘menangis’ bila hasil produksi mereka tidak diimbangi oleh permintaan masyarakat dan tidak dihargai secara layak untuk menutupi biaya produksi mereka. 
Namun demikian, inflasi tetaplah harus dijaga. Momentum Ramadan hingga lebaran umumnya mendorong tingkat konsumsi tinggi. Kenaikan harga pada volatile foods masih berpotensi besar. Apalagi beberapa bulan terakhir beberapa kali terjadi penyesuaian administered prices sebagai bentuk kebijakan reformasi subsidi energi pemerintah. Dampak kenaikan tarif listrik secara berkala diyakini masih akan terasa hingga Juni mendatang. Tekanan inflasi berkurang bulan lalu lebih karena pengaruh panen raya yang menyebabkan harga volatile foods melandai. Terbukti, April 2017, tarif listrik menjadi penyumbang terbesar inflasi di Jember sebesar 0,28 persen. Jawa Timur juga mengalami inflasi 0,29 persen jauh melampaui nasional yang sebesar 0,09 persen.

Distribusi ZISWAF

Ya, meski bulan Ramadan memberi dampak penguatan kinerja ekonomi, namun tetap saja ada imbas negatif bila keuangan rumah tangga tidak dikelola secara bijak. Bulan Mei hingga Juli tahun ini masa yang agak panjang bagi ibu rumah tangga untuk bersiasat mengelola keuangan. Setelah Ramadan diikuti lebaran, maka hampir bersamaan para ibu rumah tangga kemudian dihadapkan oleh belanja pendidikan anak di tahun ajaran baru.
Seperti yang lalu-lalu, inflasi melekat dengan Ramadan. Fakta empirik menunjukkan permintaan pada hampir seluruh rantai distribusi akan melonjak pada masa tersebut. Inilah ujian pengendalian diri yang sejati dari bulan Ramadan. Seyogyanya yang ditingkatkan pada bulan ini adalah belanja zakat infak sedekah wakaf (ZISWAF), bukan konsumsi pribadi. Yang terjadi berikutnya adalah tidak hanya penguatan ekonomi, tetapi juga distribusi kekayaan. Jika meminjam Teori Kuantitas Uang milik Irving Fisher, maka dalam rumus M x V = P x T, variabel V inilah yang akan bekerja menggerakkan perekonomian. Inilah esensi dari ekonomi Islam dimana uang akan mengikuti sektor riil.
Mengutip tembang Deen Squad yang digemari para remaja belakangan ini ‘The blessed month has come. Lets read Qur’an. Alhamdulillah it’s time for Ramadan. These 30 days, we pray, lets feed the poor. Alhamdulillah, it’s time for Ramadan...’. Ya, esensi dari Ramadan adalah meningkatkan ketakwaan dengan memperbanyak ibadah melalui pengendalian diri. Salah satu indikator keberhasilan pengendalian diri tercermin dari stabilitas konsumsi pribadi dan kerelaan membagi konsumsinya untuk mereka yang membutuhkan.
Ya, saya dan suami masih beruntung karena dapat membeli pakaian baru ketika lebaran. Tapi, di luar sana, masih banyak yang menganggap baju baru adalah hal mustahil untuk didapatkan. Pada titik inilah ekonomi Ramadan harus menjadi momentum penggerak bagi kemanusiaan dan keadilan sosial melalui distribusi ZISWAF, termasuk mungkin menyenangkan mereka-mereka yang tak berpunya dengan baju, sarung, jilbab atau mukena baru. Ya, mari mengkritisi konsumerisme Ramadan. Tetapi, mari juga mencoba mengerti apa yang terjadi. Jangan menggeneralisasi. Wallahua’lam bish showab.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)