Perda Halal, Perlukah? (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 28 April 2017, Hlm. 1 & 11)
Oleh: Khairunnisa Musari
“Matur nuwun, Bu Nisa. Malaysia sudah melangkah lebih
maju. Mereka tidak hanya konsen pada makanan
dan minuman halal. Tapi sudah masuk juga pada sumber pendapatan yang
dijadikan belanja untuk dikonsumsi. Kira-kira gimana ya kalau sumber pendapatan
kita juga disertifikasi halal?”
Demikian seloroh
kolega saya, Dr. Misbahul Munir, dosen yang baru saja pindah dari UIN Sunan
Ampel ke IAIN Jember, atas artikel berjudul ‘Muslims
care more about halal food than halal income, Deputy Minister says’ yang
saya share untuknya di grup Ikatan
Ahli Ekonomi Islam (IAEI) Jawa Timur. Ya, buat saya, Pak Munir ini identik sebagai
penggiat halal. Setiap kali ada konferensi atau artikel atau apa saja yang
membawa isu halal, saya biasanya akan men-share
informasi untuk beliau.
Isu halal
memang menjadi salah satu ‘primadona’ seiring gencarnya sejumlah negara dengan
penduduk mayoritas nonmuslim mengembangkan wisata syariah atau wisata halal. Kritik
dari Wakil Menteri Malaysia Urusan Islam di artikel tersebut di atas
sesungguhnya juga disampaikan oleh Pak Munir dalam Rapat Kerja IAEI Jawa Timur
di Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Provinsi Jawa Timur dua pekan lalu.
Ya, halal sejatinya
adalah substansi dari semua kegiatan ekonomi umat Islam. Halal bukan hanya
tentang makanan minuman semata, namun juga semua produk, baik barang dan jasa,
dari hulu hingga hilir, termasuk juga industri keuangan, bisnis, pemasaran, dan
lainnya, termasuk sumber pendapatan dan belanja rumah tangga.
Tren Halal
Lombok mungkin
menjadi daerah pertama di Indonesia yang memiliki Peraturan Daerah (Perda)
mengenai Pariwisata Halal. Melalui Perda Nomor 2 Tahun 2016, Lombok menata
sektor ini menjadi andalan. Mengulang prestasi di 2015, Lombok di akhir 2016
kembali dinobatkan sebagai World’s Best
Halal Honeymoon Destination.
Mengawali 2017,
Banyuwangi juga membuat gebrakan dengan menawarkan pantai halal pertama di
Indonesia. Pemerintah Daerah (Pemda) setempat menjadikan isu halal untuk
pengembangan pariwisata daerah. Pulau Santen, bekas kawasan lokalisasi, kini
disulap sebagai destinasi wisata halal. Konsep ini dikembangkan sebagai
diferensiasi sekaligus segmentasi pariwisata Banyuwangi yang ditandai
diantaranya dengan jaminan fasilitas halal, seperti makanan halal, tidak
menjajakan alkohol, menghentikan aktivitas ketika adzan, tempat bersuci lengkap
dengan tempat ibadah, serta konsep pemisahan antara laki-laki dan perempuan.
Di Medan, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) setempat tengah menyiapkan Rancangan Perda tentang
Pengawasan Produk Halal dan Higienis. Selama ini, makanan dan minuman yang
beredar di pusat perbelanjaan masih bercampur antara halal dan non halal.
Ditengarai juga 80 persen daging yang beredar di pasar, tidak dapat dipastikan
higienis dan kehalalannya.
Begitu juga
di Batam, Rancangan Perda tentang Pembinaan dan Pengawasan Produk Halal dan
Higenis tengah digodok. Perda yang diinisiasi juga oleh DPRD ini menjadikan
Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dan UU Nomor
33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal sebagai rujukan.
Menyimak Global Islamic Economy Report 2016, tren
halal di seluruh dunia terus meningkat. Secara berturut-turut, industri yang diprediksi
akan mengalami pertumbuhan paling pesat hingga 2021 adalah halal cosmetics, Islamic finance, halal pharmaceuticals, halal food,
halal travel, modest fashion, lalu halal
media & recreation. Namun demikian, dari seluruh pasar produk halal
global, daging dan pangan olahan mengambil pangsa terbesar diantara produk-produk
tersebut.
Perda Halal?
Ya, Perda
halal sejatinya dapat dimanifestasikan dalam beragam rupa, bergantung pada arah
kebijakan Pemda. Yang lazim adalah pangan halal. Indonesia dengan penduduk
muslim terbesar di dunia, nyatanya tidak begitu sensitif terkait jaminan pangan
halal. Empat tahun lalu, Guru
Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas
Airlangga sempat meramaikan media karena kerabatnya yang
hendak mengajukan franchise rumah
makan terkenal. Persoalan menguak ketika kontrak perjanjian
mensyaratkan penggunaan minyak babi dan angciu dalam sejumlah
masakan. Ternyata hidangan ala Oriental berpotensi menggunakan
bahan-bahan tidak halal. Pandangan kebanyakan umat Islam bahwa ‘tidak
mengandung babi’ sudah cukup menjadi acuan bahwa suatu sajian layak dikonsumsi
menjadikan sikap permisif terhadap kemungkinan lain.
Tidak hanya
itu. Sebuah bakery yang cukup
legendaris di Indonesia akhir tahun 2016 lalu juga membuat pengakuan bahwa
kandungan salah satu rotinya menggunakan rum setelah isunya bergulir di sosial
media. Setelah bertahun-tahun menjadi bagian dari masyarakat perkotaan, publik
dibuat tercengang karena baru menyadari bahwa bakery tersebut ternyata memang tidak memiliki sertifikasi halal
selama berkiprah.
Sungguh,
masalah halal bukan hanya dalam rangka melindungi umat Islam. Di Inggris, ketersediaan
produk daging halal mencapai 15 persen dari seluruh daging yang dijual untuk
penduduk muslim yang jumlahnya hanya 4 persen
dari total populasi. Faktanya, daging halal juga ikut
dikonsumsi oleh penduduk nonmuslim. Ketertarikan mereka mengkonsumsi
daging berlabel halal didorong oleh faktor kualitas daging yang dinilai kaya
rasa, lebih lembut, dan diyakini lebih aman,
dan lebih higienis.
Dengan jumlah penduduk muslim Indonesia sekitar 89,1 persen dan
jumlah
penduduk muslim Jawa Timur sekitar 97,19 persen dengan sebaran terbesar berturut-turut berasal dari
Kota Surabaya, Kabupaten Malang, Jember, dan Sidoarjo, maka.sudah
selayaknya isu halal mendapat perhatian besar. Halal dan thayyib hari ini
bukan
saja menjadi simbol agama dan acuan normatif semata, tetapi juga menjadi simbol
bagi kualitas, higienitas, dan keamanan bagi konsumen. Jadi, apakah perlu kita membuat Perda mengenai halal? Saya kira itu harusnya
bukan lagi menjadi pertanyaan, tapi keniscayaan untuk menjadi sesuatu yang
diperjuangkan. Wallahua’lam
bish showab.
Komentar
Posting Komentar