2017, Kencangkan Ikat Pinggang! (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 19 Desember 2016, Hlm. 1 & 11)
“.... karena yang hadir di
sini banyak orang Ekonomi, maka saya menambahkan satu lagi ancaman krisis yang
sekarang kita hadapi. Yaitu, krisis moneter...”
Demikian Prof. Sri-Edi Swasono dalam paparan rangkaian
kuliah umum berjudul ‘Kontemporerisme Pengembangan Kurikulum dan KeIndonesiaan’
di STIE Mandala dan kuliah umum ‘Kebangsaan, Persatuan, Stabilitas Nasional‘ di
Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Jember akhir November lalu. Saya cukup terkejut
sekaligus besyukur karena apa yang saya risaukan dalam beberapa bulan terakhir
ini ternyata diamini beliau. Gelisah ini menghangat karena belum ada media
massa atau ekonom nasional yang terang benderang menyampaikan hal tersebut.
Akhir tahun lalu, sejumlah lembaga keuangan internasional
telah menyampaikan bahwa 2016 adalah tahun pesimis bagi pertumbuhan ekonomi
global. Laju pertumbuhan perdagangan dunia yang melambat dan penurunan harga minyak mentah memberi dampak buruk bagi perekonomian negara yang mengandalkan ekspor bahan mentah tersebut.
Beberapa negara yang menjadi barometer ekonomi global juga mengalami pelambatan
dan menaikkan suku bunga.
Di dalam negeri, shortfall
penerimaan perpajakan dan penghematan anggaran berdampak negatif terhadap pertumbuhan
ekonomi di tahun 2016. Pemangkasan anggaran pada hampir semua lembaga dan
kementerian serta munculnya tax amnesty sejatinya
menjadi sinyal adanya masalah fiskal yang membelit anggaran. Kebijakan fiskal dan
moneter hanya bisa mengendalikan perekonomian dalam jangka pendek. Lalu, bagaimana
dengan 2017?
Literasi
dan Inklusi
Hampir semua
outlook ekonomi 2017 memprediksi ruang fiskal domestik masih terbatas bagi
pemerintah untuk menstimulus perekonomian. Faktor eksternal masih memberi
tekanan. Resiko terbesar diperkirakan masih berasal dari Republik Rakyat
Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS). Jelas, pelambatan ekonomi masih belum
beranjak. Apalagi, Pertamina mewacanakan kenaikan harga BBM tahun depan,
khususnya solar. Ditambah lagi pemerintah akan mencabut subsidi listrik golongan 450 VA dan 900 VA.
Hal sederhana yang
bisa diupayakan untuk masyarakat di daerah adalah melakukan literasi dan
inklusi keuangan. Beberapa bulan terakhir, saya selalu mengingatkan mahasiswa
saya untuk belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Mereka harus
belajar skala prioritas dalam membelanjakan dana yang diberikan orangtua
mereka. Gaya hidup konsumtif harus dilawan. Kecuali bila ingin berbelanja dalam
rangka kebaikan sosial, maka sejatinya hal tersebut akan menjadi alat
distribusi kekayaan yang setara dengan memberi ‘pinjaman kepada Allah’ dan akan
‘diganti langsung oleh Allah’.
Hadirnya Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD)
yang dibentuk Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan beranggotakan hampir semua stakeholder di daerah seyogyanya menjadi
alat strategis untuk melaksanakan literasi dan inklusi keuangan. Bagi
masyarakat yang rumah tangganya rentan secara sosial ekonomi, maka perlu ada
kelembagaan sosial ekonomi yang terorganisir untuk membantu pemberdayaan
finansial. Bukan rahasia, bila kondisi terpuruk, maka kelompok masyarakat ini
akan terjebak masuk dalam jaring lintah darat demi memenuhi kebutuhan yang
bersifat darurat. Memberi pinjaman ala koperasi atau lembaga keuangan mikro
(LKM), apalagi bank, ternyata juga bukan opsi yang menolong.
Bagi masyarakat usaha mikro kecil menengah (UMKM), literasi
dan inklusi keuangan juga sangat diperlukan. Sebagai kelompok usaha yang
mendominasi perekonomian nasional dan regional, hasil survei OJK pada 2013 yang
menunjukkan tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia yang hanya 21,8
persen dengan indeks inklusi keuangan sebesar 59,7 persen masih relevan untuk
menggambarkan tingkat literasi dan inklusi UMKM secara nasional dan regional.
Untuk Jember, merujuk indeks literasi keuangan komposit
pada 12 wilayah kajian yang mewakili 4 kantor OJK di Jawa Timur, indeks
literasi keuangan komposit tertinggi adalah di Jember disusul Surabaya, Pasuruan,
dan Sidoarjo. Indeks literasi keuangan komposit di Jember ditopang oleh indeks
keyakinan keuangan yang besar dengan indeks pengetahuan dan indeks keterampilan
keluarga yang relatif lebih baik pula dibanding 11 wilayah kajian lainnya.
Hati-Hati dengan Utang!
“Bukan tidak percaya pada Bapak Ibu, memang aturan di
bank kami hanya mencairkan 80% dari pengajuan. Kami malah heran, kenapa kok ada
Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tidak punya catatan cicilan utang sama
sekali.....”, jelas petugas dari bank yang
memiliki kerjasama Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dengan developer komplek perumahan yang kami beli beberapa tahun lalu. Jika
petugas tersebut mengaku terkejut, demikian pula dengan saya. Adalah pengetahuan
baru bagi saya. Ternyata ada fakta bahwa ‘PNS pasti punya utang ke bank’.
Setelah
banyak berkutat dengan ekonomi makro, terutama yang terkait fiskal, kondisi
utang yang membengkak pada anggaran negara ternyata memang mewujud pada banyak
rumah tangga keluarga. Jika pembengkakan utang pada rumah tangga negara banyak
disebabkan faktor pinjaman baru, bunga serta nilai tukar rupiah yang anjlok,
maka rumah tangga keluarga juga disebabkan faktor pinjaman baru dan bunga.
Survei Bank Indonesia (BI) tahun 2014 berhasil mengidentifikasi kelompok
masyarakat tertentu yang memiliki tingkat utang cukup tinggi. BI mewaspadai
rasio utang rumah tangga yang tidak bisa memenuhi kewajibannya. Itu juga yang
kemudian membuat bank sentral membatasi penggunaan kartu kredit.
Ya,
hati-hati, jangan besar pasak daripada tiang. Gaya hidup, pergaulan, dan status
sosial kerap menjadi pemicu utama rumah tangga keluarga terjebak perangkap
utang. Tidak jarang berujung pada korupsi. Menteri Keuangan Sri Mulyani
belakangan secara gamblang sudah menyebutkan bahwa sektor konsumsi diproyeksi tidak
akan bertahan lama dalam menggenjot pertumbuhan ekonomi secara nasional. Dalam
ekonomi Islam, utang diperkenankan, tapi bukan prioritas apalagi kebiasaan.
Sudah diingatkan dalam hadits bahwa mereka yang berutang akan cenderung
berdusta dan ingkar janji. Utang membuat sedih di malam hari dan hina di siang
hari.
Jadi, mari
kencangkan ikat pinggang! Perekonomian ke depan masih tak menentu. Sisihkan
untuk pos berjaga-jaga. Apalagi, di luar sana, banyak saudara-saudara kita yang
membutuhkan uluran tangan. Wallahua’lam
bish showab.
Komentar
Posting Komentar