Jangan Merokok di Kawasan Pendidikan (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 24 Oktober 2016, Hlm. 1 & 11)
Plis, Jangan Merokok di Kawasan Pendidikan!!!
Oleh: Khairunnisa Musari*
“Anda tahu sendiri kan orang Indonesia itu bagaimana....
Mereka merokok di mana-mana. Tidak bisa diberitahu. Bila diberi tahu, mereka
malah marah-marah.... “ – Mekkah, 13
Dzulhijjah 1436H/2015
Itulah
kalimat pamungkas dari manajer hotel tempat pemondokan haji saya setahun yang
lalu. Saat itu, untuk yang kedua kalinya, saya menyampaikan komplain kepada
pengelola pemondokan karena semua area lobi dipenuhi jamaah haji yang dibiarkan
bebas merokok dalam ruangan yang terdapat pendingin. Setelah berulang kali
berpindah sofa untuk duduk manis bekerja mengoreksi tesis mahasiswa, akhirnya
saya tidak tahan juga untuk tidak menyampaikan aspirasi kepada pengelola hotel.
Kepada sang manajer yang seorang Pakistani tersebut, saya meminta agar
disediakan area bebas rokok di sekitar lobi hotel.
Kisah
tersebut sesungguhnya sudah saya tuliskan dalam blog pribadi yang berafiliasi
dengan situs jurnalisme warga yang punya nama. Pembacanya hingga hari ini telah
mencapai 2.100 lebih. Jumlah pembaca yang cukup fantastis untuk saya. Benar
kata Sayid Quthb bahwa satu peluru dapat menembus satu kepala, tetapi satu
telunjuk (tulisan) dapat menembus ribuan, bahkan jutaan kepala.
Topik rokok
menjadi hangat kembali untuk saya pasca mengikuti pendidikan dan pelatihan
(Diklat) selama hampir 3 minggu di Surabaya. Ada penuturan dari seorang teman
dosen ketika forum testimoni di penghujung kegiatan yang cukup menggelitik. Ia
mengatakan bahwa para peserta Diklat dari seluruh perguruan tinggi agama negeri
se-Jawa Timur tersebut memiliki gerak-gerik unik bila saya akan melintas ketika
mereka sedang merokok. Ada yang mengubah posisi duduknya agar saya tidak
melihat rokok di jemarinya. Ada yang menyembunyikan tangannya ke bawah meja. Ada
yang langsung menyembunyikan dirinya di balik tanaman tinggi. Ada yang langsung
membuang ke tempat sampah. Ada juga yang menyelipkan rokoknya ke antara
dedaunan tanaman.
“Saya mengenal Bu Nisa 2 tahun lalu. Sejak itu pula Bu
Nisa suka mengingatkan saya soal rokok. Saya membatin, ‘Ayo, kuat-kuatan! Kuat
gak negur saya!’. Ternyata, sampai 2 tahun sekarang, saya dan Bu Nisa sama-sama
kuat. Bu Nisa kuat mengingatkan saya. Saya juga tetap kuat untuk merokok...”. Begitu tutur Pak Imron Fauzi, dosen CPNS yang menjadi
kolega saya di kampus, ketika menutup testimoninya.
Kawasan Tanpa Rokok
Sejak
mengetahui keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 64
Tahun 2015 tentang Kawasan Tanpa Rokok di Lingkungan Sekolah, saya sungguh
berharap peraturan tersebut juga muncul untuk lingkungan perguruan tinggi. Di
Aceh, tiga perguruan tinggi telah memberlakukan larangan merokok sesuai
peraturan walikota Aceh. Tidak hanya itu, Pemerintah Kota Banda Aceh juga telah
menetapkan delapan kawasan tanpa rokok, yakni perkantoran pemerintah, sarana
kesehatan, tempat proses belajar mengajar, arena kegiatan anak, tempat ibadah,
sarana olahraga, angkutan umum, dan tempat umum yang tertutup.
Jauh
sebelumnya, 10 tahun lalu, Jakarta melalui Peraturan Gubernur Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Nomor 75 Tahun 2005 telah menetapkan Kawasan Dilarang Merokok.
Rokok diakui sebagai salah satu zat adiktif yang bila digunakan dapat mengakibatkan
bahaya kesehatan bagi individu dan masyarakat, baik selaku perokok aktif maupun
perokok pasif. Dalam peraturan tersebut juga disebutkan bahwa udara yang sehat
dan bersih hak bagi setiap orang, maka diperlukan kesadaran, kemauan, dan
kemampuan masyarakat untuk mencegah dampak penggunaan rokok baik langsung
maupun tidak langsung terhadap kesehatan.
Ya, tentu
saja saya mendorong pemerintah daerah untuk menyusul menetapkan kawasan
dilarang merokok. Bukan semata karena saya punya asma sehingga mudah berwajah
masam kepada mereka yang merokok tidak pada tempatnya. Tetapi, untuk
kepentingan lebih besar, yaitu untuk mewujudkan kualitas udara yang sehat dan
bersih serta menurunkan angka perokok dan mencegah perokok pemula. Ya, mewujudkan
generasi muda yang sehat adalah keniscayaan. Untuk itulah, kawasan pendidikan
seharusnya juga menjadi kawasan tanpa rokok, baik di lingkungan sekolah maupun
lingkungan perguruan tinggi.
Kawasan Pendidikan
Yup, saya yakin akan
banyak yang meradang ketika membahas rokok. Ujung-ujungnya akan menyinggung hak
asasi manusia, nasib petani tembakau, nasib ekonomi rakyat, bahkan mungkin
muncul tudingan menzalimi rakyat kecil. Saya tidak hendak mendebatkan hal yang
sukar berujung. Saya menghormati pilihan sikap untuk terus merokok. Tapi,
hormati juga mereka yang terganggu dengan sikap tersebut.
Penetapan
kawasan pendidikan menjadi kawasan tanpa rokok tentu bukan tanpa alasan.
Sebagaimana yang saya amati di pemondokan haji, mereka-mereka yang tidak
sungkan, kerap arogan, bahkan ada yang marah-marah ketika ditegur untuk tidak
merokok di ruang ber-AC justru adalah mereka-mereka yang dari pakaian atau
pekerjaannya menunjukkan bahwa ia berpendidikan.
Di
lingkungan pendidikan, para pendidik juga kerap melakukan hal tersebut. Pada
ruangan berpendingin, entah mungkin lupa, langsung menyalakan rokok. Kalaupun tidak
lupa, umumnya mereka akan membuka sebuah jendela dan merokok di pinggirnya
meski pendingin tetap menyala. Ketika dalam forum-forum internal skala besar,
bahkan tidak jarang pemimpin rapat langsung mengepulkan rokok dan membuang
abunya di lantai. Dalam forum-forum internal skala kecil, hufhhhh... semua berlomba saling mengepulkan asap.
Jika kita
sepakat bahwa pendidikan hari ini banyak menghasilkan output yang cerdas akal
tetapi tidak terasah hatinya... Jika kita sepakat bahwa murid atau mahasiswa
hari ini lebih mengagungkan nilai akademis tinggi tetapi tidak mengedepankan
budi... Jika kita sepakat bahwa pendidikan hari ini kehilangan ‘soul’... Jika kita sepakat bahwa profesi
guru atau dosen adalah profesi mulia... Jika kita sepakat bahwa guru atau dosen
adalah uswah... Jika kita sepakat
bahwa amanah yang diemban institusi pendidikan harus mampu memberikan pendidikan
dan pengajaran sebagai alat perubahan yang lebih baik bagi murid atau mahasiswa...
Jika kita sepakat untuk bertanggungjawab terhadap keilmuan... Jika kita sepakat
untuk jujur pada nurani... Maka selamatkan anak-anak kita dari bahaya rokok.
Salah satunya adalah dengan menetapkan kawasan pendidikan sebagai kawasan tanpa
rokok. Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar