Yuk, Perangi Riba dan Rentenir! (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 18 Juli 2016, Hlm. 1 dan 11)
Oleh: Khairunnisa Musari*
“Iya, Mbak. Pak
Kyai yang mengadakan istighosah itu juga bahas soal rentenir. Pak Kyainya
bilang, kalau dari yang hadir di acara tersebut punya tetangga atau saudara
yang punya tanggungan utang ke rentenir dan tidak mampu membayar, disuruh
menghadap Pak Kyai. Pak Kyainya mau membayarkan...”
Demikian cerita Mas
Chandra, sopir yang selama 1,5 tahun lebih bekerja pada keluarga besar saya.
Saya menanyakan tentang acara istighosah yang
ia ikuti pekan lalu. Lantaran mengikuti kegiatan tersebut, Mas Chandra terlambat
menjemput Bapak Ibu saya hingga 2 jam karena kendaraannya terjebak di dalam
halaman parkir. Penjelasannya kemudian menyinggung topik rentenir yang beberapa
bulan belakangan intens menjadi bahan kajian akademis saya bersama nanofinance dan waqf-sukuk untuk konferensi yang diprakarsai Islamic Development Bank (IDB).
Saya menemukan ‘profesi’ rentenir banyak terdapat di
negara-negara Asia. Sebut saja diantaranya Bangladesh, India, Pakistan, Afghanistan,
Philipina, Thailand, dan tentu saja Indonesia. Banyak lembaga keuangan mikro
(LKM) yang didirikan untuk mereduksi rentenir. Namun, sebagian besar masih
mengenakan bunga juga. Sebagian kecil sudah ada yang menginisiasi pinjaman
bebas bunga dan administrasi, sebagian lagi ada yang hanya mengenakan biaya
administrasi.
Praktek rente
di Indonesia biasanya mematok bunga kisaran 10-30% per bulan. Ilustrasinya sebagaimana
yang diceritakan Mas Chandra tentang tetangga sekitar rumah yang meminjam uang
pada rentenir. Ketika sang tetangga meminjam uang Rp 3 juta, maka rentenir
menyerahkan uang sebesar Rp 2,7 juta. Rp 300ribu adalah bunga 10% yang langsung
dipotong dari uang pokok untuk pelunasan bunga bulan ke-1. Sebulan kemudian, si
peminjam ternyata berhasil memiliki uang dan ingin melunasi utang. Si rentenir
meminta pengembalian uang sebesar Rp 3,2 juta. Jadi, total bunga yang
dibayarkan kepada rentenir hampir 17% untuk pinjaman selama 1 bulan.
Dalam ekonomi syariah, pinjaman berbasis bunga inilah
yang disebut dengan riba. Larangan riba bukan absolut ajaran Islam semata.
Dalam agama Kristen, Hindu, Budha, Yahudi, riba juga dikecam. Bahkan, para
filsuf Yunani di masa lalu, baik Plato, Aristoteles, dan Cato juga mencela
praktek ini. Tersirat bahwa praktek rente
ini sama tuanya dengan usia peradaban di muka bumi.
Penyakit Masyarakat
Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI),
rentenir berarti orang yang mencari nafkah dengan membungakan uang; tukang
riba; pelepas uang; lintah darat. Dalam prakteknya, mereka-mereka yang memiliki ‘profesi’
atau menjadi bagian dari kaki tangan pelaku rente
ini ada di sekitar kita. ‘Profesi’ tersebut tidak hanya dilakukan individu per
individu, tetapi juga kelompok, bahkan korporasi. Perbedaannya, pelaku rente
individu atau rentenir tidak berbadan hukum dan mengelola usaha dengan
kebijakannya sendiri. Bisnis mereka perlu mendapat perhatian pemerintah karena mayoritas
‘nasabahnya’ adalah kelompok masyarakat marginal. Mereka didesak oleh kebutuhan
darurat untuk mencari pinjaman. Kelompok masyarakat peminjam ini lazimnya
adalah mereka yang tidak feasible dan
bankable bagi perbankan sehingga
mencari pinjaman dari sektor informal. Ciri utama pinjaman dari sektor ini
adalah tidak ada agunan, proses cepat, dan mengenakan tingkat bunga yang sangat
tinggi.
Negara sesungguhnya telah hadir terhadap aktifitas
ekonomi rentenir melalui Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara Republik Indonesia. Pada Bab 3 Tugas dan Wewenang disebutkan
dalam Pasal 15 bahwa kepolisian memiliki wewenang untuk mencegah dan
menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat. Adapun salah satu penyakit
masyarakat tersebut adalah penghisapan/praktik lintah darat.
Namun demikian, realitas menunjukkan rentenir masih terus
eksis. Mereka tidak pernah kehabisan ‘nasabah’. Kehadiran mereka ada yang berkedok
koperasi simpan pinjam. Ada yang menyebutnya Bank Titil, Bank Keliling, Bank
Harian, Bank Plecit atau Bank Kredit. Peminatnya adalah ibu rumah tangga,
pedagang kecil, pedagang kaki lima, dan kelompok masyarakat mikro lainnya yang
kebanyakan minim tabungan dan aset sehingga harus mencari pinjaman eksternal
untuk memenuhi kebutuhan darurat. Para rentenir bak gula yang dikerumuni semut
lantaran tidak membatasi nilai pinjaman dan uang dapat diterima hari itu juga.
Tingginya bunga pinjaman rentenir terkadang membawa
konsekuensi kaburnya sang peminjam karena enggan atau tidak sanggup membayar.
Bahkan ada yang lebih memilih meregang nyawa. Hal ini mengingat konsep bunga
berbunga yang banyak diterapkan oleh rentenir. Aksi rentenir menjadi meresahkan
masyarakat kala mereka menyertakan debt
collector selayaknya tukang pukul untuk menagih atau menyita barang. Jika
disimak, masing-masing pihak, baik si rentenir yang memberi pinjaman maupun
yang menerima pinjaman pada akhirnya berpeluang menjadi korban.
Memerangi Bersama
“Di sini
banyak lho Bu yang menjadi rentenir. Mungkin mereka tidak tahu bahwa yang
mereka kerjakan itu adalah riba yang dilarang agama. Jadi mereka tidak merasa
bersalah, apalagi berdosa. Seharusnya informasi terkait praktek riba ini perlu
kita sebarkan kepada masyarakat luas...”. Demikian komentar host Radio
Suara Muslim di Lumajang yang beberapa waktu lalu memandu saya ketika mengisi talkshow di studio. Benarkah para pelaku
rente ini tidak tahu? Entahlah...
Namun demikian, saya sepakat bahwa informasi terkait riba
dan aksi rentenir sebagai penyakit masyarakat perlu disebarluaskan. Maraknya
gerakan anti riba oleh mahasiswa maupun pengusaha belakangan ini juga layak
diapresiasi. Namun, gerakan ini lebih baik lagi bila diiringi dengan tawaran solusi
yang kongkrit bagi masyarakat marginal. Gerakan ini seyogyanya juga tidak
bekerja sendiri. Pada tataran inilah, pemerintah daerah perlu dilibatkan
sembari bergandengan tangan dengan Badan Amil Zakat Nasional (Baznas),
institusi zakat infak sedekah wakaf (ZISWAF), komunitas pelaku usaha,
akademisi, aparat hukum, tokoh agama, tokoh masyarakat, dan stakeholder lainnya untuk bersama-sama
memerangi rentenir dan merumuskan institusi pengganti yang dapat melayani
kebutuhan darurat masyarakat mikro tanpa bunga.
Yup, meski berbunga selangit, namun pinjaman uang tanpa
jaminan dari rentenir tampak sebagai ‘dewa penolong’ bagi masyarakat yang
terdesak oleh kebutuhan darurat. Jika penghasilan tak cukup, maka berutang pun
dilakukan. Kemudahan dan cepatnya proses meminjam pada rentenir tampak menjadi
solusi indah. Namun, bila sudah masuk perangkap riba, maka jeratannya akan
mencekik leher dan melunturkan nurani serta akal sehat. Belum lagi tanggungan
dosanya yang paling ringan setara dengan dosa menzinahi ibu kandungnya sendiri.
Astaghfirullaah...
===============
Komentar
Posting Komentar