Eksternalitas Negatif Remaja (Perspektif, Harian Jawa Pos Radar Jember, 27 Juni 2016, Hlm. 1 & 11)
Brakkkkkkk....
“Astaghfirullaah... Kalian ini ya! Umur
berapa kalian ini kok sudah dibolehkan naik sepeda motor! Sudah enggak pakai
helm, sembarangan di jalan! Lihat ini sampai nabrak-nabrak begini... Mana
orangtua kalian kok biarkan anaknya di bawah umur bisa naik sepeda motor.
Kalian pasti belum punya KTP, SIM... Enggak bener ini orangtuanya yang biarkan
anaknya naik motor bercanda-bercanda di jalan.... Dst”.
-------------
Saya sudah tidak ingat sepenuhnya kalimat tinggi nan cepat
yang muncul dari bibir saya ketika mengomeli enam orang anak yang dari
posturnya seperti masih anak sekolah menengah pertama (SMP). Saat itu beberapa
hari menjelang bulan puasa. Setelah mengambil laptop di tempat servis di Jalan
Kalimatan, saya mampir di pedagang cilok. Sembari menunggu dilayani, kemudian
dua sepeda motor yang saling berboncengan cekakak-cekikik
menghampiri. Mereka parkir tepat di belakang mobil saya dan tepat di depan
rombong. Saya pun kemudian masuk agak ke dalam rombong karena pengendara dan
penumpang dua sepeda motor tersebut sepertinya akan turun sehingga area saya
berdiri menunggu ketambahan dua sepeda motor dan empat orang tersebut.
Tak lama, tiba-tiba sepeda motor lain yang juga
penumpangnya berboncengan muncul dengan kondisi mengerem kuat karena laju kecepatannya
cukup tinggi. Sepeda motor tersebut lalu menabrak dua sepeda motor yang parkir
dan sepeda motor yang paling depan menyeruduk mobil saya. Emosi tergugah bukan
karena mobil yang ringsek (karena masih ada asuransi), tetapi karena pengendara
sepeda motor paling depan itu sampai terjungkal. Yang lainnya berhasil
menyingkir. Sayapun kalau tidak berinisiatif masuk ke dalam rombong,
kemungkinan akan tertabrak. Emosi kian melangit karena sepeda motor penabrak
tersebut ternyata adalah bagian dari rombongan dua sepeda motor yang cekakak-cekikik. Total dari enam anak
tersebut tidak ada satupun yang mengenakan helm. Mereka berkendara sambil
bercandaan dengan mengenakan earphone
dan mobile phone di tangan.
Ya, fenomena anak
di bawah umur mengendarai sepeda motor menjadi konsumsi saya yang selalu
menyusuri rute Lumajang-Jember pulang pergi setiap hari. Pada saat hari
sekolah, anak-anak bercelana pendek biru berboncengan di jalan selalu menjadi tayangan
rutin. Jalan yang mereka susuri adalah jalan provinsi yang selalu melalu-lalang
bis besar, truk, dan aneka kendaraan roda empat lainnya. Semakin miris karena
mereka berkendaraan tanpa helm dan melaju kencang.
Di bulan Ramadhan ini yang bersamaan dengan liburan sekolah,
fenomena tersebut bukannya mereda. Di beberapa titik, kemunculan anak-anak di
bawah umur berkendara sepeda motor semakin terlihat kala ifthar (jelang berbuka puasa) a.k.a ngabuburit dan usai tarawih.
Hal ini menambah masalah-masalah sosial ekonomi di bulan Ramadhan. Ramadhan
yang esensinya adalah momentum untuk perbaikan diri, kemunculan eksternalitas
negatif dari anak-anak di bawah umur akan menjadi beban publik hari ini dan
masa depan.
Eksternalitas Negatif
Dalam teori ekonomi mikro, eksternalitas dapat
didefinisikan sebagai kerugian atau keuntungan yang diderita atau dinikmati
pelaku ekonomi karena tindakan pelaku ekonomi lain yang tidak tercermin dalam
harga pasar. Eksternalitas juga dapat diartikan sebagai biaya yang harus
ditanggung atau manfaat tidak langsung yang diberikan dari suatu pihak akibat
aktivitas ekonomi pihak lain. Eksternalitas menjadi sering disinggung ketika
muncul dampak negatif di pasar.
Eksternalitas negatif muncul karena adanya dampak
yang merugikan dari suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu pihak terhadap
orang lain tanpa adanya konpensasi bagi pihak yang dirugikan. Sebagai contoh,
ketika anak di bawah umur mengendarai sepeda motor dan kemudian menabrak
seseorang hingga korban mengalami cedera dan harus masuk rumah sakit. Maka,
biaya yang dikeluarkan korban untuk penyembuhan dirinya merupakan eksternalitas
negatif. Contoh lain, ketika seorang anak bermain mercon atau petasan dan
kemudian melukai anak lain yang tidak sengaja berlalu di dekatnya, maka biaya
yang dikeluarkan orangtua dari korban untuk memulihkan kondisi anaknya adalah
eksternalitas negatif.
Di bulan Ramadan, sesungguhnya eksternalitas
positif juga terjadi. Utamanya bagi mereka-mereka yang menerima ‘berkah’ paket
sembako, parsel, santunan, dan bentuk pemberian sosial lainnya. Ketika hal itu
berlangsung, maka sesungguhnya terjadi aliran distribusi kekayaan berbonus pahala berlipat ganda bagi si pemberi
yang menjadi salah satu keistimewaan Ramadhan. Namun, eksternalitas negatif
juga marak terjadi. Sebut saja harga sembako yang melesat, iklan televisi yang jor-joran mendorong konsumerisme, SMS
‘minta duit’ yang kian intens, meluasnya peredaran uang palsu, termasuk angka
kecelakaan lalu lintas yang tinggi.
Optimalisasi
Liburan Sekolah
Tidak ada yang tidak senang dengan liburan.
Tetapi bila masa liburan sekolah dan Ramadhan hanya dihabiskan dengan duduk
manis depan televisi, tidur sepanjang hari, cangkruk, ngalor ngidul atau keluar
masuk pusat perbelanjaan, maka tentu bukan ini yang kita harapkan dari generasi
muda. Ramadhan dan liburan sekolah seyogyanya menjadi momentum untuk menimba
ilmu, utamanya ilmu agama.
Ilmu adalah cahaya jiwa. Ilmu adalah penjaga
diri. Ilmu pula yang akan menuntun setiap pribadi berperilaku. Eksternalitas
negatif dapat direduksi secara massif bila pelaku-pelakunya berilmu. Peperangan
hari ini adalah ghazwul fikri.
Anak-anak dan remaja menjadi korban utama. Ilmu adalah senjata untuk
memeranginya. llmu pula yang akan menjadi perisai menghadapi derasnya arus
informasi dan teknologi yang tanpa sadar mengubah cara pandang, prinsip, nilai,
dan keyakinan diri dan lingkungan. Berbagai aksi asusila, gaya hidup konsumtif,
dan tindak kriminalitas kini merambat kepada anak-anak dan remaja sebagai
pelaku sekaligus korban.
Untuk itu, besar harapan, pemerintah daerah
bersama institusi pendidikan dan pihak swasta bersama masyarakat perlu
bersinergi untuk menyemarakkan majelis ilmu bagi para remaja. Paradigma
Ramadhan dan liburan sekolah sebagai ‘masa istirahat’ harus berubah menjadi
‘sarana produktif’ untuk memperkaya pikiran, melembutkan hati serta mengasah
jiwa. Pembangunan tidak hanya membutuhkan sumber daya insani yang memiliki intelligence quotient (IQ), tetapi juga emotional quotient (EQ) dan spiritual quotient (SQ) yang baik. Keselarasan
kecerdasan intelektual, kecerdasan emosi dan kecerdasan spiritual adalah kunci
anak-anak kita menghadapi masa depannya. Wallahua’lam
bish showab.
Komentar
Posting Komentar