Crowdfunding (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 1 Februari 2016, Hlm. 1 dan 11)
Buat
ukhti manis Gita Ayu Pratiwi
Semoga
memperoleh umur yang berkah
Dan
jadilah muslimah sejati
Agar
Allah selalu besertamu
Sun sayang
Mas
Ikhwan, eh Mas Gagah!
Demikian
secuplik epilog berupa ucapan milad dari Mas Gagah kepada adiknya, Gita, pada novel
best seller Ketika Mas Gagah Pergi
(KMGP) karya Helvy Tiana Rosa (HTR). Novel yang bercerita tentang hijrahnya Mas
Gagah itu ditulis tahun 1992. Setidaknya ada 11 rumah produksi yang pernah meminta
HTR untuk menfilmkan novel tersebut. Namun, idealisme untuk menjaga keutuhan
cerita yang memiliki pesan sarat moral tersebut mendorong HTR untuk memproduksi
sendiri novel KMGP. Crowdfunding menjadi
pilihannya.
Patungan
Crowdfunding
sejatinya adalah mobilisasi dana masyarakat untuk membiayai suatu usaha atau
kegiatan atau proyek tertentu. Sederhananya, crowdfunding adalah investasi bersama; pendanaan dengan patungan;
pembiayaan dengan cara gotong royong. Model penggalangan dana seperti ini mulai
marak beberapa tahun belakangan. Internet menjadi mediatornya.
Industri kreatif
dan pebisnis pemula merupakan peminat teraktif dalam menggunakan pendanaan ala crowfunding. Namun demikian, metode ini
sesungguhnya dalam skala besar dapat diadopsi dan dikembangkan oleh pemerintah
sebagai alternatif pembiayaan pembangunan. Di Kabupaten Sumba Barat dan Sumba
Timur, lembaga kemanusiaan asal Belanda menyumbang 10 mesin penghasil biogas di
sejumlah desa melalui crowdfunding di
media sosial dan konser amal. Di Australia, sebuah komunitas menawarkan
sejumlah investasi dalam proyek infrastruktur di daerah pedesaan dengan
mengadopsi prinsip crowdfunding agar
tidak bergantung kepada pendanaan dari pemerintah. Di Nusa Tenggara Barat (NTB)
dan Sulawesi Selatan, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Badan Amil
Zakat Nasional (BAZNAS), ESQ, dan Asosiasi Baitul Maal wat Tamwil (BMT) Seluruh
Indonesia (ABSINDO) menggagas program membangun Desa Emas. Terdapat 400 Desa
Emas percontohan yang tersebar di dua provinsi tersebut. Salah satu cara yang
akan dilakukan untuk menggalang dana adalah melalui crowdfunding.
Potensi
& Regulasi
Konsep crowdfunding pertama kali dicetuskan di
Amerika Serikat pada tahun 2003 melalui sebuah situs bernama Artistshare. Secara
umum, crowdfunding dapat
diklasifikasikan ke dalam empat model. Pertama,
equity-based crowdfunding. Model ini
memberi saham bagi para donatur atas proyek tersebut dan juga bagi hasil sesuai
kontrak yang disepakati. Kedua, lending-based crowdfunding. Model ini
juga memberi bagi hasil kepada donatur dalam jangka waktu tertentu yang dikuti
dengan pengembalian uang. Ketiga, reward-based crowdfunding. Model ini
paling diminati di Indonesia. Donatur akan memperoleh reward nontunai berupa barang, piagam atau pemuatan nama di
jaringan sosial media. Keempat, charity-based crowdfunding. Model ini
menyerupai derma; amal; infak; sedekah. Donatur pada model ini memberikan
dukungan tanpa harapan adanya kompensasi.
Di Indonesia, crowdfunding masih memiliki celah untuk
munculnya persoalan hukum, utamanya pada jenis equity-based crowdfunding. Crowdfunding jenis ini dapat dipastikan
sudah masuk ranah sektor jasa keuangan. Konsep crowdfunding mirip dengan ide yang digagas Ustadz Yusuf Mansyur
(UYM) tiga tahun lalu yang menuai kontroversi karena dinilai melanggar regulasi.
Seiring dengan tren crowdfunding yang
nyatanya kini kian marak digunakan oleh pekerja kreatif dan pebisnis pemula,
maka Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu meresponnya. Permasalahan yang mungkin
dihadapi dalam implementasi crowdfunding
adalah legalitas dan keamanan.
Lebih jauh, crowdfunding sesungguhnya bukan sesuatu
yang baru bagi bangsa Indonesia. Semangat crowdfunding sejalan dengan semangat ekonomi konstitusi. Koperasi
yang merupakan soko guru perekonomian Indonesia adalah filosofi dalam crowdfunding yang dikemas dengan
menggunakan teknologi informasi. Bagi ekonomi syariah, crowdfunding dapat menjadi alat untuk menggerakan perekonomian dan mendorong velocity
of money. Khalifah Umar bin Khattab pernah mengatakan, “Siapa saja yang memiliki uang, hendaklah ia menginvestasikannya. Dan
siapa saja yang memiliki tanah, hendaklah ia menanaminya”. Diriwayatkan
pula dari Aisyah r.a. bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda: “Barangsiapa yang menghidupkan tanah yang tidak menjadi milik seseorang,
maka ia lebih berhak (atas tanah itu).” Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi syariah
menganjurkan agar seluruh komponen modal dapat digunakan pada kegiatan
produktif.
Ke depan, pemerintah daerah dengan semangat otonomi daerah yang
berorientasi pada kemandirian dapat memanfaatkan metode crowdfunding sebagai alat pembiayaan alternatif bagi pembangunan.
Aparatur Sipil Negara (ASN) atau masyarakat umum dapat dilibatkan untuk
membantu pembangunan. Equity-based
crowdfunding atau lending-based
crowdfunding merupakan model yang paling rasional untuk dipilih agar masyarakat
dapat menerima manfaat finansial dari usaha atau kegiatan atau proyek yang
dibiayai melalui nilai saham atau imbal hasil yang mereka peroleh. Kalaupun
harus menggunakan charity-based
crowdfunding, pemerintah daerah dapat bekerjasama dengan Majelis Ulama
Indonesia (MUI) dan lembaga amil zakat (LAZ) untuk menjadikannya sebagai
program wakaf atau infak atau derma untuk mendanai usaha atau kegiatan atau
proyek tertentu yang tidak mengurangi nilai pokoknya. Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar