Tradisi Haji (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 26 Agustus 2015, Hlm. 1)






Oleh: Khairunnisa Musari*

“Saya hanya tukang pijat bayi. Untuk bisa mendaftar haji, saya dan suami harus menabung bertahun-tahun. Ketika mendaftar, saat itu saya bersama suami. Tapi sekarang, ketika hendak berangkat... saya sendirian....”.

Itulah sedikit cerita dari seorang Ibu dalam pertemuan Bimbingan Manasik Haji Tingkat Kecamatan di Kelurahan Tompokersan, Lumajang, beberapa pekan lalu. Suasana haru kemudian menyelimuti. Bercampur isak, si Ibu menyampaikan bahwa ruhiyahnya sudah melalui berbagai ujian kehidupan yang menempanya untuk senantiasa bersabar.
Ya, Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Lumajang selama dua pekan berturut-turut di awal Agustus menyelenggarakan Bimbingan Manasik Haji, baik di Tingkat Kabupaten maupun Tingkat Kecamatan. Bimbingan Manasik Haji mengemban misi agar calon jamaah benar-benar memahami proses yang akan dilalui sejak pemberangkatan hingga proses kepulangan sampai di rumah.
Uniknya, salah satu materi yang khusus dibahas langsung oleh Kepala Kantor Kemenag Lumajang adalah terkait acara selametan atau tasyakuran atau walimatussafar yang lazim dilakukan oleh calon jamaah haji sebelum pemberangkatan serta kebiasaan memberi beragam ‘oleh-oleh’ setiba pulang di tanah air. Secara pribadi, saya menangkap pesan tersirat bahwa beliau mengajak calon jamaah untuk tidak membiarkan tradisi tersebut sebagai kebiasaan, apalagi kewajiban, terlebih bila sebenarnya memberatkan. Kalaupun harus dilakukan, lakukanlah secara sederhana sesuai kemampuan dan tidak perlu memaksakan diri.
Ya, saya membayangkan bila Ibu si Tukang Pijat Bayi yang menjanda itu harus mengikuti tradisi masyarakat, maka hal tersebut tentu akan membebaninya. Padahal, beliau mungkin juga harus menyiapkan sangu selama 40 hari bagi keluarga yang ditinggalkan, ditambah lagi sangu untuk kebutuhannya selama di Tanah Suci. Biaya tradisi ritual sebelum dan sesudah ibadah haji, yang sesungguhnya bukan bagian dari Rukun, Wajib atau Sunnah Haji tersebut bisa jadi setara atau malah lebih mahal daripada biaya haji itu sendiri.
Tidak bisa dipungkiri, tradisi haji yang berkembang luas dan semakin sarat biaya ini menjadi isu sensitif. Hal tersebut tercermin dari beberapa respon calon jamaah terhadap bahasan Kepala Kantor Kemenag Lumajang. Beberapa manggut-manggut, beberapa secara lisan mengakui bahwa tradisi tersebut memberatkan, beberapa hanya diam menerawang, dan beberapanya lagi meradang serta bersikukuh dengan tradisi tersebut karena ‘nanti diomongin orang’. Hmm...

Fenomena Masyarakat
Banyak studi menunjukkan bahwa masyarakat cukup memahami ibadah haji sebagai pilar agama dan menjadi perintah bagi seorang muslim. Namun, terdapat pemaknaan lain yang dikonstruksi masyarakat bahwa ibadah haji ternyata juga menjadi simbol kedudukan sosial-ekonomi. Bagi masyarakat etnis tertentu, pergi haji bukan sekedar berorientasi ibadah, tetapi juga sebagai upaya membangun posisi terhormat dalam stratifikasi sosial. Ada juga yang terobsesi pada aspek-aspek simbolik serta paham-paham keberkahan benda-benda Tanah Suci. Bahkan, pada profesi tertentu, pergi haji menjadi upaya membangun kepercayaan terhadap pelanggan.
Ragam motif beribadah haji pada gilirannya berdampak pada perbedaan ekspresi dalam menjalankan ibadah tersebut. Salah satunya termanifestasi dalam menyikapi tradisi masyarakat. Jamak terjadi bagi calon jamaah haji menggelar selametan atau tasyakuran atau walimatussafar sebelum pemberangkatan. Beberapa pihak menyebutkan bahwa fenomena ini dalam 15 tahun terakhir menjadi marak, bahkan seolah menjadi rangkaian wajib bagi siapa saja yang akan pergi haji. Semakin tinggi tingkat sosial-ekonomi seseorang, maka semakin besar perhelatannya, baik dari jumlah undangan, penceramah, hidangan, hingga menu berkatan.  
Manifestasi lainnya juga tercermin pada ‘oleh-oleh’ dari Tanah Suci yang sesungguhnya sudah dipersiapkan jauh-jauh hari dengan berbelanja di toko-toko suvenir haji di dalam kota atau di kota lain yang tidak jauh dari domisili. ‘Oleh-oleh’ ini seolah menjadi syarat wajib bagi mereka yang pulang haji untuk memberi buah tangan kepada para tamu di rumah maupun kepada kolega dan handai taulan.
Terlepas dari berbagai pandangan maupun rujukan hukum yang digunakan dalam menilai tradisi selametan atau tasyakuran atau walimatussafar termasuk ‘oleh-oleh’, fenomena masyarakat ini patut disikapi secara arif. Selayaknya masyarakat tetap diedukasi dalam memaknai penyelenggaraan tradisi. Pasalnya, dari aspek sosial-ekonomi, tradisi ini dapat menjadi beban bagi sebagian masyarakat karena realitasnya pergi haji tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan kemampuan ekonomi maupun perubahan perilaku sosial.
Sejumlah studi membuktikan tingginya jumlah jamaah haji di wilayah tertentu ternyata tidak dapat digunakan untuk mengukur tingkat ketakwaan dan peningkatan perekonomian sebuah masyarakat. Motif non-ibadah menjadi penyebabnya. Bahkan, sebagian dari mereka mengkonsentrasikan keuangan rumah tangga untuk kebutuhan ibadah haji (dan tradisi masyarakat) hingga mengabaikan biaya pendidikan anak, termasuk mengabaikan perintah zakat. Oleh karena itu, Kemenag, alim ulama dan tokoh masyarakat seyogyanya juga mengedukasi dilematika masyarakat, terutama calon jamaah haji, untuk meluruskan niat dan memprioritaskan persiapan pelaksanaan Rukun, Wajib dan Sunnah Haji serta peningkatan kesalehan sosial-ekonomi pasca ibadah.

Kesalehan Sosial-Ekonomi
Pasca ibadah haji, layaknya seseorang memiliki kesalehan sosial-ekonomi yang lebih baik. Sejatinya, ritual  haji berdampak kepada kehidupan mereka yang telah menjalaninya karena semua praktek ibadah haji mengandung pesan tertentu. Implikasi ibadah haji seharusnya berbanding lurus dengan kesalehan sosial-ekonomi, termasuk dalam menahan diri untuk tidak melakukan haji berulang dengan memberi kesempatan kepada kaum muslimin lainnya untuk menunaikan.
Ya, kesalehan sosial-ekonomi dapat berwujud aneka rupa. Prinsipnya, perjalanan ibadah haji seharusnya membawa pengalaman kemanusiaan dan ketauhidan yang luar biasa yang membawa perubahan perilaku. Implikasi dari ibadah haji seyogyanya dapat meningkatkan kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat, membantu mengurangi ketimpangan antara Si Kaya dan Si Miskin, senantiasa mengingatkan tentang misi persamaan dan persaudaraan, serta memerangi berbagai ketidakadilan dalam masyarakat.
Selamat mengunjungi Baitullah untuk calon jamaah haji dari Bondowoso dan Jember yang akan berangkat tak lama lagi dalam Gelombang I. Begitu pula untuk calon jamaah haji dari Lumajang yang masuk Gelombang II. Semoga menjadi haji mabrur. Labbaik allaahumma labbaik... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)