Mewaspadai Iklan Destruktif (Jawa Pos Radar Jember, 8 Januari 2015, Hlm. 10)
Oleh:
Khairunnisa Musari*
Pagi itu, ketika memasuki pelataran
parkir Kantor Perwakilan Bank Indonesia (KPwBI) Jember, sayup-sayup terdengar
suara seseorang tengah berceramah. Mendekati Gedung Serba Guna yang berada di
halaman belakang KPwBI, suara itu semakin jelas terdengar. Saya merasa familiar
sekali dengan suara tersebut. Pikiran saya terus bekerja untuk mengingat-ngingat
siapa pemilik suara. Akhirnya, tepat di teras Gedung Serba Guna yang lantai
bawahnya menjadi tempat kegiatan di mana sumber suara itu berada, saya baru
sadar. Ya Allah, ini kan suaranya Ustadz Abu Hasan Ibnu Katsir...
Ya, beberapa pekan lalu saya memang mengajak
sekitar 150 mahasiswa IAIN Jember untuk mengunjungi KpwBI Jember guna mengikuti
kuliah umum terkait kebanksetralan, kebijakan moneter, dan hal lain-lain
terkait dengannya. Nah, Senin
kemarin, saya kembali mengunjungi KPwBI Jember dalam rangka bersilaturahim
dengan Bapak Muhammad Lukman Hakim, Plt. Deputi Kepala Perwakilan Tim Ekonomi
dan Keuangan yang baru saja pindah ke Jember. Dalam perjalanan dari Lumajang
menuju Jember, tepatnya di perempatan Tanggul, saya melintasi sebuah papan
reklame besar di pinggir jalan yang
sangat mencolok mata.
Ya, papan reklame besar yang sangat
mencolok mata inilah yang sesungguhnya ingin saya ceritakan dalam tulisan ini. Entah
mulai kapan iklan itu muncul. Saya yang hampir setiap pekan melewatinya, baru
mengetahui keberadaanya pada hari Senin lalu. Buat saya yang berkacamata minus
tiga campur silinder, melihat iklan tersebut dari jarak jauh saja sudah
menimbulkan gemuruh marah di dada. Meski gambar tak terlihat secara jelas,
bahkan sekalipun mobil yang membawa saya sudah berada tepat di seberang jalan
iklan itu berdiri, bahasa tubuh dari gambar tersebut sudah menunjukkan perilaku
yang tak patut untuk ruang publik. Setidaknya buat saya pribadi, terlebih dalam
kapasitas seorang ibu, muatan iklan rokok tersebut membawa pesan tak pantas.
Hari Selasa, ketika saya kembali
melintasi perempatan Tanggul menuju Jember untuk bertemu dosen-dosen dari Unit
Pelayanan Bahasa (UPB) IAIN Jember, iklan tersebut masih bertengger dan membuat
saya semakin gelisah. Betapa tidak, jalan utama lintas kabupaten yang
sekitarnya juga banyak terdapat sekolah-sekolah tentu akan membuat para pelajar
yang melintasi jalan tersebut akan melihatnya secara terang benderang.
Selasa malam, saya memperoleh kabar
bahwa iklan tersebut mengundang protes masyarakat di ibukota. Iklan billboard itu ternyata juga sudah
bermunculan di sejumlah wilayah Indonesia, terutama di Jakarta. Alhamdulillah,
petisi melalui Change.Org sudah digulirkan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia
(YLKI) juga sudah menyatakan dukungan terhadap petisi untuk mengecam reklame
iklan rokok yang mengusung tagline
‘Mula-Mula Malu-Malu, Lama-Lama Mau’. Media online
paling berjasa dalam mengangkat penolakan masyarakat atas iklan destruktif
tersebut. Pada malam itu pula, sudah beredar berita bahwa perusahaan rokok
tersebut berjanji akan menurunkan iklan-iklannya.
Rabu pagi... Hati saya sedikit deg-degan
ketika kembali hendak melintasi jalur perempatan Tanggul. Saya ingin tahu
apakah janji perusahaan rokok tersebut untuk menurunkan iklannya pada papan reklame
pasca penolakan sebagian masyarakat akan berlaku pula di jalur yang akan saya
lalui itu. Dan... Taraaaaa...
Alhamdulillah, sudah tidak ada lagi...
Kontrol Sosial
Siapa yang paling bertanggung jawab
dalam mengizinkan munculnya papan reklame dengan gambar yang mengarah pada
pergaulan bebas itu dapat berdiri di ruang publik seperti perempatan Tanggul
tersebut? Apakah dengan gaung otonomi darah sejak berapa tahun lalu itu membuat
pemerintah daerah ciut nyali untuk mengambil sikap terhadap korporasi yang berpotensi
menyumbang Pendapatan Asli Daerah (PAD) namun kegiatan ekonomi yang
mempromosikan produknya bersifat destruktif?
Yup, kontrol sosial
masyarakat dalam hal ini sangat diperlukan untuk menghadapi gencarnya produk
jualan yang terselubung dalam beragam wujud rupa. Terlebih lagi bagi para wakil
rakyat, hal demikian sudah seharusnya mendapat porsi untuk dikritisi. Sinergi
inilah yang dapat menjadi tameng penetrasi budaya yang
mengusung degradasi moral, terutama yang berani mempromosikannya di ruang
publik.
Di tengah hegemoni kapitalisme, promosi
yang berbenturan dengan nilai-nilai normatif tidak bisa dihindari, namun bukan
tidak dapat pula kita waspadai dan antisipasi. Agama dan pendidikan adalah kunci
kontrol sosial dalam melawan kearusutamaan budaya maupun mindset yang dapat mendestruksi perilaku dan ketenangan masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri, globalisasi
menyebabkan banyak perubahan di berbagai lini kehidupan, baik dalam ranah
individu, kelompok, maupun negara. Globalisasi dengan serta merta membawa paham
ekonomi, politik, sosial budaya, pendidikan, dan bahkan standar norma
masyarakat. Perubahan tidak saja mengubah pola pikir, gaya hidup, tetapi juga
perubahan struktural di masyarakat dalam berkehidupan. Pada akhirnya, siapa
yang berkuasa adalah mereka yang mampu mengendalikannya.
Dalam hal ini, ketahanan keluarga dan
masyarakat harus selalu siaga dalam membangun benteng pertahanan terbesar.
Masyarakat dalam konteks ini adalah utamanya mereka yang merepresetansikan
eksekutif maupun legislatif yang memiliki kekuasaan paling besar untuk
menegakkan kontrol sosial. Hal ini mengingat respon masyarakat terhadap
berbagai promosi destruktif beragam, bergantung pada tingkat pendidikan,
ekonomi, sosial budaya, dan pemahaman agama yang mereka miliki. Strategi promosi
pada ruang publik acap kali sangat halus sehingga kerap tidak disadari adanya
pesan yang berpotensi mendegradasi perilaku dan adab pergaulan di masyarakat.
So... Setidaknya
ada dua pesan negatif yang dibawa oleh iklan rokok yang mengundang kontroversi
selama tiga hari terakhir. Pertama, pesan untuk merokok itu sendiri. Kedua,
pesan untuk bertindak tidak patut antara dua lawan jenis di muka umum. Jadi,
pesan opini yang selama ini digaungkan oleh pemerintah untuk ramah pasar, dalam
hal ini haruslah ada pengecualian. Sebab, daulat pasar tidak boleh menggusur
daulat rakyat. Dan bila ingatan terhadap iklan destruktif tersebut tidak lekang
dalam ingatan para pelajar dan menjadikan mereka permisif terhadap pergaulan
bebas, maaf, maka kita semua akan dimintai pertanggungjawaban pula olehNya bila
tidak mengingatkan dan meluruskan para pelaku ekonomi dan birokrasi yang
membiarkan dan abai terhadap upaya-upaya menyelamatkan akhlak masyarakat,
utamanya generasi muda. Wallahua’lam bish
showab.
Komentar
Posting Komentar