Politik Ekonomi Bansos (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 19 April 2014)




Oleh: Khairunnisa Musari

Pemilihan Legislatif (Pileg) baru saja usai. Kita semua masih menunggu hasil hitungan final dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) meski quick count maupun real count dari sejumlah lembaga sudah memberikan peta prediksi hasil. Bukan bermaksud ikut-ikutan menjadi pengamat politik dadakan, tapi banyak hal yang memang menarik untuk dicermati di masa-masa menjelang maupun pasca Pileg. Selain beragam rupa black campaign di media maupun di masyarakat, juga maraknya aktifitas mendukung VS mem-bully partai tertentu di sosial media yang kerap mengundang ketegangan antara Lovers VS Haters maupun antara Voters VS Golputers.
Salah satu hal lain yang menarik untuk disimak dalam masa Pileg tahun ini adalah munculnya himbauan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar penyaluran bantuan sosial (bansos) atau hibah dihentikan sementara hingga usai Pemilihan Umum (Pemilu). KPK menyebutkan adanya hubungan antara kenaikan dana bansos dan hibah dengan pelaksanaan Pemilu, baik di tingkat pusat maupun daerah. KPK mencium gelagat potensi penyelewengan karena adanya lonjakan dana dari Rp 55,86 triliun yang meningkat menjadi Rp 91,8 triliun.
Dana bansos dan hibah memang krusial dalam tahun politik. Selain nominalnya yang besar dan jumlah penerimanya banyak, juga penyalurannya diberikan kepada ragam kalangan. Sayangnya, tak semua dana tersebut sampai ke penerima yang berhak. Penyaluran kadang diberikan bukan pada kelompok rentan, melainkan pada kelompok masyarakat yang sebenarnya tidak memiliki masalah ekonomi, sosial maupun kesejahteraan. Bahkan, tidak sedikit proposal yang diduga fiktif.

Politik Ekonomi VS Politisasi Ekonomi
Politik ekonomi mengacu pada interaksi antara aspek politik dan ekonomi, yaitu bagaimana pengaruh aspek politik terhadap kebijakan ekonomi suatu negara. Secara sederhana, politik ekonomi dapat diterjemahkan sebagai hubungan antara kekuasaan dalam pengambilan keputusan ekonomi. Dalam hal ini, pemerintah dimungkinkan memiliki sejumlah cara untuk mempengaruhi secara langsung kegiatan ekonomi masyarakat, termasuk dalam penyaluran dana bansos dalam rangka memberi stimulan kepada masyarakat untuk memberdayakan potensi sumberdaya lokal untuk peningkatan kesejahteraan bersama.
Model pengelolaan bansos atau hibah selama ini adalah berbasis kelompok. Umumnya ada dua mekanisme yang berlangsung, yaitu melalui eksekutif (kementerian atau lembaga negara atau pemerintah daerah) atau melalui legislatif. Namun demikian, tidak bisa dipungkiri, penggunaan dana bansos atau hibah untuk kepentingan partai politik menghadapi Pemilu marak terjadi. Hal ini ditengarai tidak saja terjadi di tataran eksekutif, tapi juga tataran legislatif. Mungkin inilah yang bisa kita sebut sebagai politisasi ekonomi yang dicurigai KPK tengah terjadi belakangan ini.
Politisasi ekonomi bansos atau hibah terjadi ketika dana yang merupakan hak rakyat tersebut digunakan untuk membangun popularitas dengan program-program yang tampak populis. Distribusinya tersebar pada kelompok masyarakat berbasis massa. Bagi kepala pemerintah pusat maupun daerah yang berasal dari partai penguasa, mereka memiliki banyak peluang dan ruang untuk melakukan politisasi ekonomi ini.
Tidak hanya itu. Di kalangan legislatif, bansos sering dijadikan sebagai alat dan modal politik calon legislatif incumbent untuk menuai popularitas dan suara dalam Pileg. Tidak jarang seorang Anggota Legislatif (Aleg) mengklaim bahwa penyaluran dana bansos merupakan jasa mereka melobi eksekutif. Pada tataran inilah seorang Aleg dapat dikatakan telah melakukan politisasi ekonomi untuk kepentingan diri atau kelompoknya. Padahal, dana bansos memang adalah hak rakyat dan ada atau tiada Aleg tersebut maka rakyat tetap berhak untuk menerimanya

Bansos untuk Kesejahteraan Masyarakat
Tulisan ini tidak bermaksud untuk berkutat pada bahasan politisasi ekonomi bansos. Tulisan ini ingin masuk pada ranah politik ekonomi yang mendiskusikan model-model penyaluran dana untuk direkomendasikan kepada penyelenggara penyalur dana bansos atau hibah.
Setidaknya terdapat tiga panduan dasar untuk meminimkan politisasi ekonomi bansos dan mengedepankan politik ekonomi dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)/Dewan Perwakilan Daerah (DPD) serta eksekutif untuk masyarakat. Pertama, dana bansos disalurkan dalam bentuk public goods. Dengan public goods, maka hal ini akan memberi manfaat kepada siapa saja penggunanya, baik yang merupakan basis pemilih atau tidak. Hal ini juga menghindari diskriminasi bantuan dalam bentuk cash atau barang tertentu yang sangat mungkin hanya akan tersalur pada masyarakat pemilihnya saja. Salah satu public goods yang tepat sasaran, misalnya, penyediaan mobil water tank untuk pengadaan air bersih di daerah-daerah yang kekurangan air.
Kedua, bantuan dalam bentuk prasarana atau sarana yang sesuai dengan basis usaha kelompok. Misalnya, pada kelompok tani yang bergerak dalam usaha kopi atau kakao, maka dapat diberikan bantuan berupa pengadaan bibit, pupuk, penyediaan mesin pengolah atau memfasilitasi terbangunnya networking. Bantuan juga dapat berupa penciptaan softskill, misalnya berupa pelatihan terkait pengolahan limbah agar produk menjadi zero waste. Dengan demikian, bantuan pada kelompok usaha ini bukan berupa binatang ternak atau lainnya yang tidak terkait dengan basis usaha.
Ketiga, memfasilitasi pengembangan sumber daya lokal yang belum dikelola secara optimal. Konteks ini memiliki ruang lingkup luas. Jujur saja, hal ini tercetus ketika berdiskusi dengan Yulyani, Ketua Pengembangan Indonesia Bagian Barat Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Jawa Timur, beberapa waktu lalu. Bagi masyarakat yang tidak berbasis kelompok, namun lingkungannya memiliki kesamaan sumber daya lokal, maka seharusnya dapat dikondisikan untuk menerima bansos yang dapat mengoptimalkan potensi sumber daya yang ada. Setidaknya ada tiga contoh di lapangan yang dapat dimasukkan dalam kategori ini.
Pernahkah anda menemukan sebagian masyarakat yang menanam buah-buahan di sekitar rumah lalu menawarkannya di pinggir jalan kepada pengguna lalu lintas? Pernahkah anda menemukan produk pertanian yang berlimpah di musim panen raya namun harga pasarannya jatuh terpuruk? Pernahkan anda menemukan sebagian masyarakat yang memproduksi makanan atau minuman tertentu dengan kemasan plastik seadanya dan dijual ke warung-warung di dekat rumahnya? Kegiatan ekonomi individual yang belum berbasis kelompok inilah yang juga patut memperoleh pencerahan dan pengembangan usaha melalui dana bansos.
Melalui kepala desa, lurah atau camat setempat, masyarakat dengan usaha sporadis ini dapat didesain ke dalam kelompok usaha yang dapat mengakses dana bansos untuk pengembangan usaha mereka. Masyarakat yang di lingkungannya banyak memiliki buah-buahan dapat diedukasi bagaimana memproduksi keripik buah. Masyarakat yang menjadi petani cabai, misalnya, dapat diedukasi untuk membuat cabai kering ketika harga pasaran cabai mentah mengalami kejatuhan di saat panen raya. Bagi masyarakat yang sudah kerkecimpung dalam produksi makanan minuman skala home industry dapat diedukasi bagaimana membuat packaging yang marketable.
Secara keseluruhan, kehadiran Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 32 Tahun 2011 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos yang Bersumber dari APBD menjadi rujukan utama bagi seluruh kepala daerah dalam menyalurkan dana bansos. Dalam hal ini, kepala daerah harus menyusun sistem dan prosedur penganggaran, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban melalui Peraturan Kepala Daerah. Perubahan mendasar dengan regulasi baru ini adalah semua penerima hibah harus dicantumkan dalam Rencana Kerja Anggaran (RKA) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dan Pejabat Pengelola Keuangan Daerah (PPKD) sampai dengan rincian objek. Selanjutnya, setelah Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) APBD ditetapkan, maka kepala daerah akan menerbitkan daftar penerima dana bansos dan hibah. Adapun anggaran dana tidak dapat dalam bentuk gelondongan.
Secara prinsip, program bansos harus tepat sasaran dan efektif untuk menggerakkan ekonomi produktif guna meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Sebab, bansos hakekatnya adalah pemberian bantuan berupa uang/barang dari pemerintah kepada individu, keluarga, kelompok dan/atau masyarakat yang sifatnya tidak secara terus menerus dan selektif yang bertujuan untuk melindungi dari kemungkinan terjadinya resiko sosial. Pada konteks inilah, anggota DPD/DPD serta eksekutif harus memiliki pemetaan yang baik pada titik-titik mana saja yang membutuhkan pendanaan bansos dengan meminimkan ruang terjadinya politisasi karena dana bansos sesungguhnya adalah uang rakyat. Wallahua’lam bish showab.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)