Deindustrialisasi Gula Tebu Rakyat (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 17 Desember 2013)


Terimakasih untuk kiriman foto artikel ini, Pak Amin... :-)

Oleh: Khairunnisa Musari 

Sebuah pesan masuk ke mobil phone milik saya sekitar tiga pekan lalu:

“Bu, harga gula lagi jatuh. Karena gula rafinasi impor. Gula rafinasi impor sekarang sudah masuk wilayah konsumsi. Padahal peraturannya kan gula rafinasi hanya untuk ranah produksi makanan minuman. Ini petani sampai demo ke Jakarta, tapi gak ngefek. Gak diperhatikan sama pemerintah. Padahal Jatim kan penghasil gula terbesar. Sekarang gula-gula numpuk di gudang. Kuota gula keluar Jatim dibatasi. Padahal produksi gula Jatim dari PTPN X dan XI bisa menutup 35% kebutuhan gula nasional. Buatkan tulisan dong, Bu...”.

Pesan pendek itu berasal dari salah satu pegawai sebuah pabrik gula (PG) di Jember. Saya tidak tahu, apa yang sesungguhnya ia harapkan dengan tulisan saya yang pasti tak punya taring untuk menggugah regulator di Jakarta. Ya, persoalan gula adalah masalah nasional. Komoditas yang sangat politis dan strategis. Saya juga bukan pelaku atau pengamat pergulaan yang memiliki kemampuan membangun kekuatan untuk memobilisasi aksi untuk menekan pemegang kebijakan. Namun demikian, saya menangkap adanya harapan dari pengirim pesan tersebut agar masyarakat mengetahui tentang keresahan petani tebu dan pegawai pabrik gula berbasis tebu rakyat yang terimbas oleh gula rafinasi impor. Terlebih lagi, wilayah Lumajang, Jember, dan Bondowoso memiliki basis petani tebu yang di masing-masing wilayah juga memiliki PG.

Ancaman Gula Rafinasi Impor
Saya membahasakan situasi yang tengah terjadi saat ini sebagai deindustrialisasi gula tebu rakyat. Salah satu pelaku utamanya adalah (oknum) pemegang kebijakan. Cerita tentang merembesnya gula rafinasi untuk keperluan industri ke pasar gula konsumsi sesungguhnya bukan cerita baru. Cerita ini adalah versi lain atau cerita turunan dari persoalan pergulaan nasional.
September lalu, pemberitaan tentang ribuan petani tebu dari Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) berunjuk rasa di Kantor Kementerian Perdagangan (Kemendag) sempat mewarnai media massa. Petani menghambur-hamburkan gula pasir impor dan menginjak-injaknya. Tuntutannya adalah agar Kemendag menekan impor gula rafinasi. Teriakan salah satu orator yang sempat menjadi judul salah satu media cetak adalah ‘Gantung Menteri Perdagangan!’.
Ya, harga gula pada tahun 2013 ini mengalami keanjlokan. Beredarnya gula rafinasi impor di pasar konsumsi ditengarai sebagai penyebabnya. Di Yogyakarta, petani tebu sampai melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa pasar tradisional dan memang menemukan peredaran gula rafinasi di sana. Tak pelak lagi, akibat perembesan ini, gula produksi milik pabrik gula berbasis tebu rakyat menjadi kalah bersaing karena harganya lebih mahal dibandingkan gula rafinasi. Gula konsumsi hasil produksi menjadi tidak terserap. Inilah yang meresahkan para petani tebu maupun pegawai pabrik gula berbasis tebu rakyat!
Awal Oktober, kembali mencuat pemberitaan bahwa Kemendag menemukan dari 11 perusahaan yang mengimpor gula rafinasi untuk keperluan industri dengan total kapasitas lima juta ton, terdapat indikasi lima perusahaan memasarkan gula rafinasi ke pasar gula konsumsi. Saat itu, belum bisa terungkap berapa jumlah gula rafinasi yang merembes ke pasar. Namun demikian, mengacu informasi dari Dewan Gula Indonesia (DGI) yang memperkirakan kebutuhan konsumsi industri besar dan menengah pada 2013 hanya sebesar 2,64 juta ton, maka terindikasi adanya kelebihan 2,36 juta ton gula rafinasi di pasar domestik yang bisa mengalir ke pasar konsumsi.
Sejauh ini Kemendag hanya menyatakan akan mengenakan sanksi berupa pencabutan izin Importir Produsen (IP) dan Importir Terdaftar (IT), bahkan bisa dilakukan pembekuan izin, bila ditemukan bukti pelanggaran dan praktik nakal yang menyebabkan merembesnya gula rafinasi ke pasar-pasar di Indonesia. Pernyataan Kemendag ini tak banyak menuai simpatik dari petani tebu. Betapa tidak, mengalirnya gula rafinasi impor ke pasar konsumsi sesungguhnya adalah dampak dari kebijakan pemerintah sendiri. Pemerintah memberi insentif kepada importir gula rafinasi. Kemendag bahkan memberi izin pendirian sejumlah pabrik gula rafinasi di Indonesia.  

Deindustrialisasi 
Pemerintah tampaknya memang memberlakukan standar ganda dan tidak fokus membangun kemandirian di bidang gula. Di satu sisi, pemerintah mencanangkan swasembada gula pada tahun 2009 dan kemudian molor ke 2014. Namun, di sisi lain, pemerintah justru memberi izin impor dan pendirian pabrik gula rafinasi yang berpotensi menggagalkan program swasembada gula. Di satu sisi, pemerintah menggaungkan semangat untuk revitalisasi pabrik gula di Indonesia. Tapi, di sisi lain, kebijakan pemerintah untuk gula rafinasi justru berpotensi menurunkan produksi pabrik gula akibat produknya yang tidak terserap pasar.
Ya, inilah salah satu penyebab terjadinya deindustrialisasi yang disebabkan kebijakan (oknum) otoritas itu sendiri. Ditambah lagi Paket Bali hasil pertemuan World Trade Organization (WTO) yang baru saja menyepakati poin fasilitasi perdagangan. Dengan kesepakatan ini, maka salah satu dampak ikutan yang akan terjadi adalah kemudahan bagi produk negara maju untuk masuk ke Indonesia.
Tak pelak lagi, liberalisasi pertanian dan perdagangan menjadi semakin nyata. Meski kita memiliki Undang-Undang (UU) Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang mewajibkan pemerintah mengutamakan produksi pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional dan melakukan pengaturan impor komoditas pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan konsumsi dalam negeri, tapi melihat fenomena yang banyak terjadi, saya pun tidak begitu yakin di tataran implementasi UU tersebut akan berlaku.
Meski kita juga memiliki UU Pangan yang menyatakan impor pangan hanya dapat dilakukan apabila produksi pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri, saya pun tidak begitu yakin regulasi itu akan mulus di lapangan mengingat realitas yang ada justru menunjukkan membanjirnya buah-buahan dan sayur-mayur impor.
Rasanya, rekomendasi yang akan saya tulis di sini tentang apa yang seyogyanya dilakukan pemerintah terkait dengan gula nasional akan bak kata berbusa. Pasalnya, saya yakin, para pelaku pergulaan dari hulu juga sudah terlebih dahulu menyuarakan ini. Ya, hentikan peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi, audit distribusi gula rafinasi, cabut izin usaha pabrik gula rafinasi, batasi dan awasi aktifitas impor gula rafinasi, serta hentikan penyelundupan gula ilegal. Usulan pencabutan izin pabrik gula rafinasi juga sudah disuarakan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin).

Jika pemerintah pusat tak bergeming, mungkin pemerintah daerah perlu membangun keberanian untuk melindungi petani tebu rakyat dan PG di daerahnya dengan penegakan hukum terhadap peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi. Kita semua tentu tidak menghendaki pabrik gula di Pulau Jawa, terutama di wilayah Lumajang, Jember, dan Bondowoso, akan menyusul PG milik PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XIV di Makasar yang tutup karena terimbas PG rafinasi yang didirikan di wilayahnya kan? Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)