Menakar Pangan Halal di Indonesia (Harian REPUBLIKA, 27 September 2013, Hlm. 6)
Oleh:
Khairunnisa Musari
“Hai sekalian
manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi.... “ (QS. Al-Baqarah
[2]: 168).
Akhir Agustus lalu, pemberitaan tentang
sebuah rumah makan terkenal yang dikabarkan menggunakan minyak babi dan angciu (red wine) menyeruak. Berawal dari seorang
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis di sebuah Perguruan Tinggi Negeri (PTN)
terkemuka di Surabaya mengirimkan email kepada sebuah situs Islam dengan
menceritakan pengalamannya ketika hendak mengajukan franchise pada rumah makan tersebut. Persoalan menguak ketika
kontrak perjanjian hendak dibuat, sang pemilik franchise mensyaratkan penggunakan minyak babi dan angciu dalam
sejumlah masakan.
Bagi negara dengan penduduk muslim
terbesar di dunia ini, kehalalan pangan nyatanya masih memiliki banyak ruang
dan peluang untuk diabaikan. Dengan mayoritas penduduk beragama Islam di
Indonesia nyatanya tidak serta merta membuat pengusaha rumah makan
menghormatinya dengan menyediakan makanan halal sebagaimana yang harus dipatuhi
oleh seorang muslim. Dalam bahasa Al-Qur’an, makanan atau tha'am adalah segala sesuatu yang dimakan atau dicicipi. Karena itu,
minuman pun dapat dimasukkan dalam konteks tha'am.
Dalam Islam, Al-Qur’an memerintahkan agar umat Islam memakan makanan yang halal
dan thayyib.
Industri Pangan
Mengacu Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor 18 Tahun 2012, makanan atau pangan adalah segala sesuatu yang berasal
dari sumber hayati produk pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan,
peternakan, perairan, dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah yang diperuntukkan
sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan,
bahan baku pangan, dan bahan lainnya yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan,
dan/atau pembuatan makanan atau minuman.
Dengan jumlah penduduk muslim sekitar
89,1%, sudah selayaknya Indonesia menjamin ketersediaan pangan yang halal dan thayyib. Kesadaran akan pangan yang
halal dan thayyib merupakan salah
satu dampak ikutan dari booming
industri perbankan dan keuangan berlabel syariah. Ketersediaan pangan halal dan thayyib menjadi potensi, peluang,
sekaligus tantangan bagi kalangan dunia usaha untuk meningkatkan kualitas
produknya dengan berbasis syariah pula. Dalam perkembangannya, halal dan thayyib kini bukan saja menjadi simbol
agama dan acuan normatif semata, tetapi juga menjadi simbol bagi kualitas,
higienitas, dan keamanan bagi konsumen.
Di Inggris, ketersediaan produk daging
halal mencapai 15 persen dari seluruh daging yang dijual dan dipasok untuk penduduk
muslim yang hanya sebanyak 4 persen dari total populasi penduduk. Menariknya, sisanya,
ternyata juga ikut dikonsumsi oleh penduduk nonmuslim. Ketertarikan masyarakat
nonmuslim mengkonsumsi daging berlabel halal didorong oleh faktor kualitas
daging yang dinilai kaya rasa, lebih lembut, dan diyakini lebih aman dan lebih
higienis.
Industri pangan halal di Indonesia dan
dunia memang kini berada pada perkembangan yang kian menggembirakan. Kesadaran
konsumen untuk menyeleksi makanan semakin tinggi. Saat ini, pangsa pasar produk
halal global diperkirakan hampir mencapai USD 800 miliar per tahun dan menjadi potensi
yang besar bagi para produsen produk halal di seluruh dunia. Negara muslim
menjadi target segmen pasar yang efektif untuk dibidik, terutama yang berada di
wilayah Asia yang saat ini memiliki penduduk muslim terbesar. Tahun 2050,
diperkirakan benua Eropa yang akan memiliki penduduk muslim terbesar di dunia.
Reorientasi
menjadi Produsen
Tidak bisa dipungkiri, Indonesia merupakan
the largest market untuk industri
pangan halal. Sayang, industri pangan di negara ini masih banyak yang belum
bersertifikasi halal. Jika jumlah perusahaan kosmetika dan toiletries di Indonesia yang bersertifikat halal berkisar 3 persen,
maka industri pangan yang bersertifikasi halal ternyata tidak sampai 1 persen. Sedihnya
lagi, Indonesia saat ini baru sebatas menjadi target pangsa pasar potensial
bagi impor produk pangan halal. Kesadaran Indonesia untuk mentransformasi diri
menjadi produsen pangan halal masih minim. Hal ini salah satunya ditandai oleh
ketidakmampuan menyediakan sumber pangan berbasis domestik. Tingginya impor
bahan pangan mengindikasikan bahwa Indonesia tak mustahil akan tertinggal
dibanding negara nonmuslim yang memiliki kemampuan lebih untuk mengekspor bahan
pangannya ke Indonesia dan mengantongi sertifikasi halal dari Majelis Ulama
Indonesia (MUI).
Upaya pemerintah untuk melakukan
ekspansi ekspor pangan halal ke sejumlah negara yang memiliki penduduk muslim
mayoritas, tentu patut diapresiasi. Indonesia memiliki potensi produk makanan
dan minuman yang halal untuk mengisi pasar negara muslim lainnya. Indonesia pun
memiliki potensi menjadi pusat halal dunia. Standar halal Indonesia sudah
diterima, diakui, dan diimplementasikan oleh lebih 43 lembaga dunia dari 22
negara. Namun demikian, nyatanya ketersediaan bahan pangan halal di dalam
negeri sendiri nyatanya tidak begitu mudah untuk ditemukan. Membanjirnya produk
pangan impor, termasuk rumah makan dengan label impor, tidak semuanya patuh
terhadap pentingnya kehalalan.
Melihat besarnya pendapatan industri pangan
nasional dan global, maka sesungguhnya terdapat pula peluang pendapatan bagi
industri halal mengingat jumlah penduduk muslim dunia saat ini diperkirakan sudah
lebih dari 1,57 milyar penduduk di dunia yang merepresentasikan 23 persen dari
total keseluruhan penduduk bumi. Dalam sebuah laporan berjudul Mapping the Global Muslim Population, 1
dari 4 orang di dunia adalah muslim. Dengan demikian, bagi Indonesia, peluang
untuk mengakses pasar pangan halal global terhampar di depan mata. Tapi jangan
bermimpi untuk menjadi pusat pangan halal dunia jika urusan domestik masih
belum tertangani dan terjamin ketersediaannya. Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar