FENOMENA BAKSO BABI & KERANG: POTRET ANOMALI EKONOMI RAKYAT (Perspektif, Radar Jember, 18 Desember 2012, Hlm. 29)




Oleh: Khairunnisa Musari

Salah satu pemberitaan media nasional dalam sepekan ini yang menarik perhatian adalah kasus bakso babi oplosan di Jakarta. Bermula dari langka dan mahalnya daging sapi di ibukota selama beberapa bulan menyebabkan pedagang bakso kelimpungan. Mereka harus mencari akal agar bahan bakunya tetap tersedia dengan murah dan tidak perlu menjual dengan harga lebih mahal.
Setelah tiga pedagang bakso dan satu lokasi penggilingan bakso ditemukan memakai oplosan daging babi, hampir seluruh pedagang bakso di wilayah Jakarta menjadi resah. Sampel bakso mengandung babi ditemukan di semua wilayah Jakarta, baik Selatan, Timur, Utara, dan Barat. Pedagang yang tetap mempertahankan keaslian daging sapi sebagai bahan baku baksonya ikut terimbas. Jualannya menurun. Dalam satu waktu mereka umumnya dapat menjual ratusan mangkok, pasca terkuaknya oplosan daging babi membuat mereka hanya mampu menjual 10 mangkok.
Tak berbeda jauh dengan Jakarta, di Surabaya pun pedagang bakso mengakui harga daging sapi cukup mahal meski tidak sampai selangka di Jakarta. Untuk menyiasati, mereka mengurangi ukuran bakso atau menambahkan jualan siomay.
Di Jember, awal Desember lalu, harga daging sapi yang sempat mencapai Rp 85.000 per kilo mulai berangsur normal di kisaran Rp 75.000 per kilo untuk daging sapi biasa dan Rp 78.000 per kilo untuk daging sapi super. Penurunan ini didorong oleh menurunnya permintaan dan berkurang jumlah sapi yang dipotong di Rumah Pemotongan Hewan (RPH) akibat mahalnya harga sapi.
Anomali ekonomi rakyat yang tercermin dari perilaku pedagang bakso di Jakarta disebabkan oleh motif ekonomi pedagang sebagai dampak kebijakan pemerintah. Terdesak oleh kebutuhan, mereka mencari jalan untuk dapat bertahan hidup. Sejumlah himbauan telah dilakukan pemerintah maupun asosiasi terkait agar masyarakat tidak resah dan tetap mau mengkonsumsi bakso asal berhati-hati. Bagaimanapun, bakso sebagai makanan keseharian masyarakat Indonesia merupakan tulang punggung banyak keluarga yang menggantungkan hidupnya dari perdagangan ini.
Anomali ekonomi rakyat lain yang dapat kita simak adalah kegiatan perdagangan kerang sebagai hasil laut dan perikanan. Kerang hijau (Mytilus viridis atau Perna viridis), kerang darah (Anadara granosa L.), dan kerang bakau (Polymesoda bengalensis L.) adalah salah satu jenis kerang yang paling sering dikonsumsi masyarakat. Kerang selama ini dipahami sebagai sumber nutrisi yang baik karena kandungan mineral, protein, asam lemak omega 3, dan lemak jenuh yang rendah.
Namun, mungkin tak banyak yang mengetahui, layaknya penyedot debu, kerang mampu menghisap apapun yang ada di dekatnya, termasuk menjaring racun, logam berat, dan sedimen lumpur. Sebagai kelompok mollusca, kerang yang diapit cangkang ini tidak memiliki organ hati untuk menghancurkan benda asing. Akibatnya, semua benda asing ditampung di dalam dagingnya. Hal inilah yang menyebabkan mengapa kerang-kerangan memiliki potensi bahaya. Kerang hidup berkelompok di dasar laut dangkal dekat pantai, di mana sampah manusia dan buangan industri berhimpun. Konsentrasi bakteri dan zat racun di dasar laut menyebabkan kerang mudah tercemar.
Sepuluh tahun lalu, kerang-kerangan Indonesia ditolak oleh negara-negara Uni Eropa. Ekspor kerang terganjal oleh adanya indikasi banyaknya racun di kerang perairan Indonesia. Sejumlah psikiater, psikolog, dokter anak, dan orangtua yang memiliki anak autis dalam sejumlah forum juga memberi himbauan agar kerang dihindari, terutama bagi ibu hamil dan anak autis. Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) menyatakan, kerang di Indonesia timur yang tercemar mencapai 10 hingga 20 kali lipat dibandingkan dengan pulau Jawa.
Informasi tentang potensi bahaya mengonsumsi kerang sudah mulai berani dinyatakan terbuka oleh Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta yang menghimbau agar masyarakat Jakarta tidak mengonsumsi kerang hijau. Sebelumnya, hal ini tidak pernah diumumkan lantaran argumen penyelamatan pariwisata. Ya, perkembangan ilmu pengetahuan yang menguak potensi bahaya kerang sesungguhnya sudah lama diketahui oleh institusi pemerintah terkait. Namun, tak banyak yang berani menyampaikannya kepada publik. Di Surabaya dan Sidoarjo, justru aktivis lingkungan hiduplah yang memberikan edukasi bagi masyarakat tentang potensi bahaya ini. Meski hal tersebut diamini oleh dinas setempat yang menyatakan bahwa bentos menyerap polutan di tempat ia hidup sehingga tubuhnya mengandung racun, namun mereka belum berani menyampaikan secara terbuka.

Ekonomi Tanpa Negara
Fenomena bakso babi oplosan dan perdagangan kerang adalah salah satu bentuk konfirmasi tentang adanya anomali sosial ekonomi di negeri ini. Anomali mengindikasikan adanya gangguan konstruksi stabilitas ekonomi dalam mencapai peningkatan kesejahteraan sosial-ekonomi masyarakat. Motif utama dibaliknya adalah dorongan kebutuhan ekonomi. Dorongan inilah yang membuat seseorang atau sekelompok orang memenuhi kebutuhan hidupnya dengan melakukan tindakan penyimpangan untuk memenuhi kebutuhan tersebut.
Dalam hal ini, negara tanpa sadar turut ambil bagian dalam mendistorsi daya tahan ekonomi masyarakat. Keterlibatan negara melalui perangkat birokrasinya tidak jarang juga menjadi pemicu high cost economy yang menghambat akselerasi pertumbuhan ekonomi dan keadilan sosial. Banyak bukti empirik, pada level kebijakan di pemerintahan daerah, negara justru melumpuhkan kekuatan ekonomi lokal, yang kemudian diganti dengan paradigma pragmatis eksploitatif dengan dalih peningkatan investasi atau pertumbuhan ekonomi.
Jika bakso babi oplosan dapat dinilai sebagai ‘gangguan’ karena terkait dengan kehalalannya bagi mayoritas penduduk muslim Indonesia, maka perdagangan kerang menjadi ‘gangguan’ karena terkait dengan masa depan anak bangsa. Meski kerang tidak bisa dituding sebagai penyebab utama lahirnya anak-anak autis, namun potensinya yang dapat mengganggu kesehatan seharusnya menjadi catatan bagi pemerintah.
Jelas, dalam hal ini dibutuhkan edukasi dan sosialisasi untuk menyampaikan informasi bagi publik. Untuk bersiasat atas mahalnya harga daging sapi, pakar kuliner dan gizi tentu dapat menawarkan sejumlah opsi ketimbang daging celeng sebagai campuran bakso. Jika pemerintah tidak dapat menjamin tidak adanya kontaminasi bagi hasil laut dan perikanan, maka pemerintah seyogyanya mencarikan jalan keluar bagi pembudidaya untuk beralih profesi. Kalaupun ada upaya lain untuk mereduksinya, misalnya dengan melakukan purifikasi, maka opsi ini pun dapat dipilih meski menuntut kerja berat dan biaya besar untuk pembelajaran masyarakat.
Apapun itu, tidak mungkin dibiarkan ekonomi rakyat berjalan tanpa negara meski pada prakteknya justru hal itu banyak terjadi. Tidak jarang, kebijakan pemerintah yang tidak berpihak mendesak rakyat kecil berada pada posisi sebagai oknum atau korban. Perdagangan bakso babi oplosan dan kerang hanyalah studi kasus dari potret anomali ekonomi rakyat di mana tidak terjadi sinergi komunikasi, koordinasi, dan kerjasama antara pemerintah dan elemen masyarakat. Tapi bagi mereka yang berpegang pada ilmu pengetahuan dan meyakini bahwa ilmu ekonomi sebagai ilmu moral, maka yakinlah bahwa ilmu itu netral. Ilmu menjadi tidak netral ketika dimasuki oleh kepentingan. Namun, ilmuwan tidak boleh netral. Ilmuwan harus punya nurani dan berpihak pada kebenaran ilmiah yang diyakini kebaikannya bagi ummat. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)