BELAJAR KAKAO DARI BLITAR: APA KABAR PENGGIAT KAKAO JEMBER? (Radar Jember, Perspektif, 12 November 2012)



Oleh: Khairunnisa Musari*

Akhir pekan lalu, saya kedatangan tamu istimewa. Ketika Simposium Kakao Nasional di Padang selama lima hari tengah berlangsung, saya memperoleh kabar bahwa Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI) Pusat ingin berkunjung ke Lumajang untuk menemui saya. Wah, kabar ini tentu mengejutkan. Selain karena saya memang tidak mengenal sosok sang ketua, saya juga tidak tahu apa yang beliau ingin sampaikan hingga jauh-jauh dari Padang mengupayakan mampir ke Lumajang untuk menemui saya.
Sesuai waktu yang disepakati, akhirnya saya bertemu Ketua APKAI. Setelah berkenalan, saya langsung menanyakan mengapa Pak Arif Zamroni, namanya, tiba-tiba ingin menemui saya. Akhirnya berceritalah beliau. Semua bermula dari seorang sahabatnya yang mengalami kebangkrutan. Namun, berkat pohon kakao yang saat itu tumbuh liar di halaman rumahnya, sahabat Pak Arif secara bertahap dapat memulihkan perekonomian keluarga. Bahkan, sang sahabat, kini telah dapat menjadikan pohon kakao sebagai tulang punggung banyak kepala keluarga di Blitar dan Jawa Timur.
Tidak banyak yang saya ketahui tentang Blitar. Tidak banyak yang saya ketahui pula tentang Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Guyub Santoso di Blitar. Saya pernah membaca kiprahnya, tetapi tidak mendalaminya. Saya baru mengetahui kemarin bahwa Guyub Santoso konsen pada pengelolaan kakao, mulai dari pembibitan, pemeliharaan, perbaikan mutu hasil sampai penjualan hasil panen biji kakao untuk pasar lokal dan ekspor. Saya baru mengetahui kemarin bahwa kiprah Guyub Santoso terhadap budidaya kakao di Blitar dan Jawa Timur menorehkan prestasi juara kedua Pro Poor Award 2011 dari Gubernur Jawa Timur, bersaing dengan Koperasi Peternak Sapi Perah (KPSP) Pasuruan, YDSF Al Falah Surabaya, dan PT Timber Indonesia Probolinggo. Ya, Pak Arif bersama sahabatnya yang dulu bangkrut itu adalah pendiri dari Guyub Santoso.
Mempelajari rekam jejak Guyub Santoso, saya merasa Gapoktan ini mungkin dapat menjadi bahan belajar bagi Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) Kabupaten Jember serta Dinas Perkebunan yang beberapa bulan lalu tampak bersemangat menggagas kakao sebagai komoditas unggulan Jember. Assalaamu’alaykum Pak Kepala Dinas Koperasi dan UKM. Assalaamu’alaykum Pak Kepala Dinas Perkebunan. Bagaimana kabarnya? Bagaimana progres gagasan untuk menjadikan kakao sebagai komoditas unggulan Jember? Mengapa sekarang menjadi sunyi senyap?

Belajar dari Gapoktan Blitar
Setidaknya ada lima pembelajaran yang dapat diambil dari kiprah Gapoktan Guyub Santoso, Kademangan, Blitar, yang dapat dipetik untuk Gapoktan di tapal kuda ini. Pertama, dalam hal mengatasi masalah pembiayaan yang sulit mengakses perbankan. Kedua, dalam hal memutus mata rantai yang panjang agar petani dapat menikmati keuntungan dari harga jual. Ketiga, dalam hal transparansi harga hulu hingga hilir. Keempat, dalam hal membangun jaringan. Kelima, dalam hal istiqomah meraih mimpi dan cita-cita untuk ummat, utamanya bagi petani untuk lebih bermartabat dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Untuk mengatasi kesulitan pembiayaan perbankan, utamanya juga guna penghindari pinjaman berbasis bunga, Guyub Santoso menerbitkan surat berharga. Surat berharga ini adalah instrumen penyertaan modal bagi investor untuk membantu pembiayaan usaha kakao. Dengan akad mudharabah, Guyub Hasan dapat memberi bagi hasil kepada investor.
Mengetahui selisih harga yang terlampau besar antara harga di petani dengan harga tengkulak dan harga di pelabuhan, Guyub Santoso berusaha mendekatkan harga petani dengan harga di pelabuhan. Secara mandiri, Guyub Santoso mengupayakan agar petani dapat berinteraksi langsung dengan eksportir. Agar petani di seluruh jaringannya yang menyebar dari kota hingga ke tempat terpencil dapat mengetahui harga pasar, Guyub Santoso menyediakan situs yang selalu update setiap pukul satu malam untuk memberikan informasi harga terbaru. Guyub Santoso juga mengedukasi serta memberi fasilitas mobile phone berbasis internet bagi petani untuk mengakses situs tersebut.
 Dalam membangun jaringan, Guyub Santoso merangkul banyak pihak, mulai dari tataran petani hingga lingkaran lintas kementerian untuk membantu pengembangan industri kakao hulu. Bersama APKAI, Guyub Santoso kini mencoba merealisasikan mimpi dan cita-citanya untuk menjadikan biji kakao memiliki nilai tambah sehingga petani dapat menikmati harga jualnya dengan lebih baik. Dengan harga kakao saat ini yang mencapai Rp 20ribu per kilogram, Guyub Santoso mengambil untung Rp 2-3ribu yang dibayarkan untuk zakat, biaya produksi, pengiriman, dan keuntungan.
Saat ini, Guyub Santoso memiliki anggota yang ready on call di Lumajang, Malang, Kediri, Jombang, Tulungagung, Trenggalek, Nganjuk, Pacitan, Madiun, Ngawi, Ponorogo, dan tentu saja Blitar. Tidak sedikit yang memperoleh manfaat atas keberadaan Gapoktan Guyub Santoso ini. Di Blitar, Guyub Santoso membawahi 48 kelompok tani yang menaungi sekitar 16.500 petani kakao.

Apa Kabar Penggiat Kakao Jember?
Setidaknya terdapat tujuh persoalan utama yang masih mengemuka dalam industri kakao, utamanya di Jember dan tapal kuda. Pertama, keterbatasan permodalan. Kedua, kelembagaan petani yang belum berfungsi optimal. Ketiga, terbatasnya akses pasar dan informasi. Keempat, tata niaga yang panjang. Kelima, masih terbatasnya kemitraan antara pengusaha/industri dengan petani. Keenam, rendahnya diseminasi teknologi karena minimnya tenaga penyuluh, luasan, dan terbatasnya sarana dan prasarana. Ketujuh, masih rendahnya pemanfaatan kapasitas terpasang dari lahan yang tersedia.
APKAI memberikan sejumlah penawaran sekaligus gagasan tentang bagaimana menjadikan petani kakao dapat sejahtera dan menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Setidaknya terdapat dua poin penting yang harus diperjuangkan. Pertama, bagaimana mengupayakan agar produk kakao petani dapat memiliki nilai tambah. Kedua, bagaimana menciptakan pasar domestik. Dua poin ini menjadi kunci dari pertemuan saya dengan Ketua APKAI.
   Yuhuuuuu, apa kabar penggiat kakao Jember? Masihkah tergerak untuk mengembangkan kakao di tapal kuda? Wacana untuk menjadikan Jember sebagai kota industri seyogyanya haruslah berbasis pada sumber daya lokal. Dalam hal ini, upaya memberi nilai tambah produk petani adalah targetnya. Kita memiliki Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka). Ketua Dewan Kakao Nasional (DKN) juga berasal dari Jember. Terdapat pula Universitas Jember dengan Fakultas Pertanian dan Fakultas Teknologi Pertanian serta Lembaga Penelitian (Lemlit) yang peduli untuk membangun perekonomian dan sektor pertanian di Jember. Yang mungkin kita belum miliki adalah ke-istiqomah-an untuk memperjuangkan mimpi dan cita-cita.
Ya, kita memiliki banyak sumber daya di sini. Bagi saya, persoalannya bukan sekedar kakao atau bukan kakao. Kakao hanyalah kail. Yang lebih penting adalah komitmen untuk menjadikan petani dan sektor pertanian lebih bermartabat dan dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri. Wallahua’lam bish showab.


Komentar

  1. Kampung coklat itu sebenarnya milik siapa ya? Pak kolid pendirinya atau milik semua anggota gapoktan guyub santoso

    BalasHapus
  2. Kampung coklat itu sebenarnya milik siapa ya? Pak kolid pendirinya atau milik semua anggota gapoktan guyub santoso

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)