SWASEMBADA KEDELAI, MUNGKINKAH? (Radar Jember, 10 September 2012)




Oleh: Khairunnisa Musari

“Kedelai langka, eh petani disuruh tanam kedelai. Kalau harga rendah dan produktifitas kecil, masa kita para petani mau nanam. Mending tanam palawija yang lain. Kalau mau nekan, tinggal mau beli dengan harga mahal kagak? Wani piro? Saran saya, mending gak usah makan tempe dan tahu, ganti saja dengan kangkung, simbukan, daun bluntas, lele, wader, dan belut. Murah. Tidak repot!” 

Itulah secuplik status Fesbuk dari Pak Soegito asal Puger, Jember Selatan. Pasca pemberitaan mogok produksi tahu tempe di ibukota beberapa waktu lalu, yang diikuti dengan pencanangan pemerintah untuk berswasembada kedelai tahun 2014, Pak Soegito menyampaikan uneg-unegnya di status Fesbuk.

Pak Soegito mungkin bukan petani sejati. Usahanya lebih banyak berkonsentrasi pada bisnis ayam pelung. Tetapi, keluarga besarnya menanam kol dan jagung. Bagi Pak Soegito dan keluarga, menanam kedelai tidak ada menariknya. Menanam jagung terbukti jauh lebih menguntungkan. Meski biaya produksi kedelai lebih rendah daripada jagung, tetapi hasilnya sedikit. Dalam lahan 1 hektar yang sama, produksi jagung dapat mencapai 3-4 kali lipat dari kedelai. Meski harga jual kedelai lebih tinggi daripada jagung, tetapi biasanya harga kedelai jatuh saat panen. Belum lagi tenaga yang harus dikeluarkan untuk menjemur, menumpuk, dan menjemur lagi sampai kira-kira seminggu baru bisa didores dan dijual.

“Dulu tuh Mbak, yang namanya jagung itu besarnya cuma sebesar jempol kaki. Jadi, hasilnya di bawah kedelai. Lha, kalau sekarang jagungnya sak lengan-lengan dan hasilnya berlipat-lipat! Di Amerika, kan juga begitu kejadiannya. Banyak petani kedelai yang pindah ke jagung karena hasilnya lebih besar. Makanya, supply turun dan demand tetap, so mau enggak mau harga kedelai jadi naik. Sekarang tinggal kita saja yang menyiasati tempe diganti dengan perkedel jagung atau iwak peyek!” papar Pak Soegito kepada saya.

Saya tidak menampik pendapat Pak Soegito karena jawaban senada juga ditemukan dari pihak lain yang banyak berkecimpung di sektor pertanian. Mereka lebih tertarik menanam jagung daripada menanam kedelai. Meskipun harga kedelai saat ini mencapai Rp 8 ribu per kilogram, tetapi petani lebih tertarik menanam jagung. Beberapa alasan yang dikemukakan diantaranya karena sulitnya mendapat benih kedelai, sulitnya memenuhi kebutuhan air, perawatannya yang harus intensif, harganya yang tak stabil, dan tidak ada jaminan pasar. 

Kedelai dan Perut Rakyat
Pemerintah sejauh ini menyatakan optimismenya bahwa Indonesia dapat meningkatkan produksi kedelai dalam negeri guna memenuhi kebutuhan masyarakat sekitar 2,6 juta ton kedelai. Untuk itu, pemerintah akan menambah luas areal tanam. Luas areal tanam kedelai saat ini sekitar 600 ribu hektar dengan kapasitas produksi 1,5 juta ton. Direncanakan akan ada penambahan lahan seluas 400 ribu hektar lagi dengan kemampuan produksi 2,5 ton per hektar.

Produk turunan utama dari kedelai di Indonesia memang adalah tahu tempe, porsinya mencapai 85%. Yang menjadi persoalan, makanan yang menguasai perut orang banyak ini bersumber utama dari impor hingga mencapai 70%. Pada titik inilah kedelai impor berhasil menjadi perangkap bagi Indonesia. Pada situasi ini, pemerintah seharusnya melakukan intervensi. Intervensi tidak melulu diartikan campur tangan terhadap harga pasar, tetapi yang utama adalah mengkondisikan agar pasar tidak mengalahkan daulat rakyat kebanyakan. Jika Indonesia tak mampu menyediakan apa yang menjadi kebutuhan rakyat banyak, maka seharusnya diupayakan agar rakyat tidak bergantung padanya. Perlu dicarikan jalan keluar agar ada substitusi yang dapat memenuhinya.

Jika disimak, kedelai lokal sesungguhnya juga memiliki keunggulan atas kedelai impor. Pada kedelai lokal, rendemennya lebih tinggi dan tidak berasal dari benih transgenik sehingga minim resiko terhadap kesehatan. Sejumlah peneliti pemulia kedelai juga menyatakan kandungan gizi kedelai lokal lebih unggul ketimbang impor. Sejumlah pihak bahkan ada yang menduga bahwa kedelai impor sarat ampas dengan sari pati yang rendah. Tak sedikit yang mengatakan bahwa tahu tempe yang berasal dari kedelai lokal ternyata juga jauh lebih maknyusss.

Namun demikian, kedelai lokal punya masalah dalam hal fisik. Selain ukurannya yang kecil, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian sehingga proses peragiannya lebih lama. Setelah berbentuk tempe, proses pengukusannya agar menjadi empuk membutuhkan waktu lama. Dalam hal produksi, umur tanaman kedelai lokal lebih singkat 2,5-3 bulan daripada impor yang mencapai 5-6 bulan. Namun, kapasitas produksi kedelai impor lebih besar. Selain bijinya yang lebih besar, kemampuan produksi dapat mencapai 2 kali lipat dari kedelai lokal per hektarnya. Ditambah lagi dengan kurang memadainya prasarana dan sarana industri, seperti minimnya penyediaan pembenihan, terbatasnya areal tanam, dan mekanisasi usaha tani yang bersifat tradisional, menyebabkan produksi kedelai secara nasional menjadi tak memikat.

Kedelai dan Jember
Dalam kunjungan Menteri Perdagangan pertengahan Agustus lalu ke Desa Curahlele Kidul, Jember, saya baru mengetahui bahwa setengah dari produksi kedelai nasional berasal dari Jember. Subhanallah! Kemampuan produksi kedelai Jember diberitakan mencapai 2-2,5 ton per hektar. Pak Menteri mengharapkan agar bibit yang digunakan di Jember ini dapat disebarkan ke daerah lain.

Bisa jadi, potensi kedelai Jember ini pula yang menjadi salah satu alasan bagi Dinas Koperasi & UMKM Kabupaten Jember mendirikan Gabungan Koperasi Petani (Gakoptan) untuk turut serta mengembangkan komoditas kedelai sebagai salah satu produk pertanian andalan Jember. Gakoptan yang awalnya diorientasikan untuk pengembangan kakao sebagai tanaman rakyat unggulan, dalam perkembangannya ternyata juga menjadikan kedelai sebagai bisnis komplemen.

Dengan keterbatasan sumber daya untuk menginisiasi, Dinas Koperasi mengajak koperasi-koperasi petani untuk tanggung renteng memodali usaha ini. Modal yang saya maksud di sini bukan hanya finansial, tetapi juga dalam menyediakan lahan dan pelaku usaha. Tentu saja hal tersebut patut diapresiasi.

Namun demikian, realita menunjukkan adanya kendala pengembangan kakao dan kedelai jika tidak disertai dengan penambahan lahan baru. Jika harus menggunakan lahan produktif yang lama, petani harus benar-benar diyakinkan untuk bersedia menanam secara khusus dan pemerintah daerah harus dapat menjamin pasar serta tidak mengurangi tanaman komoditas lain yang lebih menguasai hajat perut orang banyak. Jalan tengah yang paling mungkin dilakukan adalah menerapkan kebijakan tumpang sari atau pemanfaatan lahan tak produktif. Dalam hal ini, kita tentu mengharapkan Gakoptan dapat menjadi pionir dalam upaya menjamin pasar dan pemerintah pusat maupun daerah dapat memberi insentif berupa harga pokok penjualan maupun harga pembelian pemerintah yang menguntungkan petani, perajin, maupun konsumen.

Terakhir, saya ingin mengutip pernyataan Bung Hatta dalam pidato di perayaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) tahun 1954. “...Pada dasarnya kita harus menghasilkan barang-barang keperluan hidup bangsa yang bahannya terdapat di tanah air sendiri....”. Sebuah Hadits menyatakan,padang rumput, air, dan api’ adalah 3 elemen substansi kehidupan orang banyak. Tak pelak lagi, siapa yang menguasainya, maka seharusnya dialah yang menguasai kehidupan. Sayang, kebanyakan dari kita baru menyadari ketika krisis telah terjadi. Pangan, air, dan energi menjadi masalah nyata di dunia. Lagi-lagi, respon yang muncul di negeri ini biasanya bersifat jangka pendek. Jika tak disertai komit dan ke-istiqomah-an, jangan heran jika swasembada kedelai 2014 hanya menjadi mimpi. Wallahua’lam bish showab.

Komentar

  1. rajin menulis dimana-mana mbak :)
    Salam dari ladang,
    http://pencangkul.blogspot.com

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)