Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)
Tidak sengaja menemukan kliping artikel ini di dunia maya. Setelah berbulan-bulan, baru mengetahui ada pemuatan tentang artikel ini. Ya begitulah kalau tidak berlangganan koran atau majalah yang kita kirimi artikel serta terbatas waktu untuk mengeceknya, sering kali kelewat, bahkan lupa. Trims banget untuk yang sudah memotong artikel ini dan mempostingnya di dunia maya...
Oleh: Khairunnisa
Musari
Sukuk tidak saja
berpotensi menjadi instrumen pembiayaan pembangunan. Sukuk juga berpotensi
menjadi instrumen pengelola mismatch liquidity
atau pengelola excess and lack of liquidity. Surat Perbendaharaan Negara
Syariah (SPN-S) yang baru saja terbit Agustus lalu adalah wajah lain dari sukuk
yang kini merambah wilayah moneter.
Sejak
penerbitan perdana tahun 2008, fungsi Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau
sukuk negara memang masih belum beranjak jauh dari keberadaannya sebagai
instrumen fiskal. Dalam peta kebijakan fiskal di Indonesia, penerbitan sukuk
termasuk dalam sumber pembiayaan dan pengelolaan portofolio utang negara.
Mulai
Agustus lalu, pemerintah menerbitkan sukuk negara jenis baru guna merespon
permintaan bank sentral untuk menyediakan instrumen yang mendukung pengelolaan
likuiditas bank syariah. SPN-S seri 03022012 yang diterbitkan 4 Agustus dan
jatuh tempo pada 3 Februari 2012 berhasil menghimpun dana sebesar Rp 570
miliar. Kemudian, SPN-S seri 24022012 yang diterbitkan 25 Agustus dan jatuh
tempo 24 Februari 2012 berhasil menghimpun dana Rp 330 miliar. Berikutnya, pada
13 Oktober, pemerintah kembali menerbitkan SPN-S dengan seri 12042012 sebesar
Rp 420 miliar.
Tidak bisa
dipungkiri, kebutuhan pasar untuk tersedianya instrumen moneter berbasis sukuk
yang memiliki tenor di bawah satu tahun serta tradable menjadikan SPN-S
ini memiliki nilai strategis dibanding Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)
yang ada sebelumnya. Selain membutuhkan biaya yang lebih mahal, SBIS juga
selama ini hanya bisa direpokan kepada bank sentral.
Meski nilai SPN-S masih relatif kecil sehingga bagi sejumlah pihak
dipandang belum efektif menjadi instrumen moneter, namun kehadiran SPN-S boleh
dikata merupakan tonggak dimana sukuk negara mulai merambah wilayah moneter di
Indonesia. Secara filosofis, sukuk memang memiliki dual function. Sukuk tidak saja berfungsi sebagai instrumen fiskal,
tetapi juga berfungsi sebagai instrumen moneter yang dapat dimanfaatkan untuk
mengelola likuiditas.
Mengelola Likuiditas
Meski bank syariah kerap dinyatakan tahan
terhadap badai krisis, namun realitas menunjukkan bahwa bank syariah juga
mengalami tekanan likuiditas. Ketika financing to deposit ratio (FDR)
bank syariah berada pada kondisi yang cukup tinggi, maka saat itulah eksposure
resiko likuiditas bank syariah meningkat. Pemicu utamanya adalah maturity mismatch yang membutuhkan manajemen excess
and lack of liquidity yang berhati-hati untuk mengelola lag antara jangka waktu
penghimpunan dana dan penyaluran.
Sebelumnya, BI sudah merintis Sertifikat
Wadiah Bank Indonesia (SWBI)
sebagai instrumen likuiditas untuk bank syariah. Namun, sejak Maret 2008,
instrumen ini sudah tidak lagi diterbitkan karena SWBI tidak memenuhi kriteria operasi pasar terbuka. BI kemudian
menggantinya dengan SBIS. Kini, SBIS sudah diwacanakan untuk dialihkan
menjadi SPN-S karena keterbatasannya sebagai pengelola likuiditas. SBIS atau
SWBI secara esensi adalah bukan instrumen moneter syariah. Instrumen moneter
syariah sejatinya investment based on sukuk atau mudarabah/musyarakah
certificate.
Hadirnya SPN-S adalah alternatif baru bagi
bank syariah untuk mengelola likuiditas, utamanya sebagai instrumen jangka
pendek selain pula sebagai sarana investasi. Esensi dari penerbitan SPN-S dalam
kebijakan moneter adalah keberadaannya yang meninggalkan money creation dan berbasis underlying asset.
Pesatnya pertumbuhan
perbankan syariah di Indonesia memang mendorong
BI
sebagai otoritas moneter untuk menyediakan
ragam
instrumen likuiditas guna membantu
mengelola mismatch liquidity bank syariah. Di sejumlah negara yang telah
mengadopsi sukuk, bank sentral setempat diperkenankan untuk menerbitkan sukuk.
Di Indonesia, payung regulasi tidak memperkenankan BI untuk
melakukannya. Atas dasar itulah, BI harus bekerjasama dengan pemerintah cq
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menerbitkan sukuk sebagai instrumen yang
mendukung pengelolaan likuiditas bank syariah guna memitigasi resiko likuiditas
di
pasar keuangan.
Harmonisasi Fungsi Fiskal dan
Moneter
Meski SPN-S secara kasat mata tampak
tidak jauh berbeda dengan SPN konvensional, namun secara filosofis SPN-S
mengandung nilai dan cara kerja yang sangat
berbeda. Dengan karakter yang dimilikinya, SPN-S juga berbeda mekanisme pemanfaatannya dengan SBIS maupun Fasilitas Simpanan Bank Indonesia Syariah (FASBIS) yang selama ini
mendominasi instrumen operasi moneter syariah.
Dengan dual
function yang melekat pada sukuk, instrumen ini dapat bekerja bahu
membahu antara kebijakan fiskal dan moneter untuk mengatur
lalu lintas perekonomian. Dari sisi fiskal, dana yang terhimpun dari penerbitan
sukuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber pembiayaan pembangunan. Dari sisi
moneter, sukuk dapat menjadi instrumen pengelola likuiditas sekaligus sarana
investasi.
Lebih
jauh, sukuk
dikatakan likuid karena aset yang dijadikan underlying transaction dapat diperdagangkan sehingga
aset tersebut jelas berpotensi menghasilkan return dan sekaligus sebagai
jaminan apabila terjadi persoalan antara issuer dan investor. Selain itu, sukuk
mengakumulasi modal publik dengan risiko yang minimal karena konsep syariah
melarang transaksi perdagangan uang, derivatif, maupun return yang
diperoleh tanpa adanya kewajiban yang ditunaikan.
Pada tataran inilah, sukuk
sebagai instrumen moneter dapat menjadi solusi untuk mengurangi tekanan excess and lack of liquidity, selain juga menjadi alat
penjaga kestabilan inflasi karena sukuk bekerja dengan memanfaatkan dana-dana rupiah yang idle tanpa harus
menambah uang beredar. Inilah sebenarnya inti dari sukuk yang diadopsi SPN-S untuk
mengelola likuiditas dengan meningkatkan perputaran uang (money velocity).
Wallahua’lam bish showab.
makasih mbak, tulisannya amat membantu saya menyusun kerangka berpikir untuk penyusunan skripsi saya
BalasHapus