KETIKA HARUS MELAHIRKAN DENGAN DIINDUKSI, MELAHIRKAN DALAM MOBIL, DAN KETUBAN PECAH DALAM MOBIL...


*Artikel ini saya ambil dari blog pribadi di Kompasiana yang dijadikan sebagai salah satu HL oleh Admin Kompasiana pada 4 September 2011, beberapa jam setelah saya mem-posting artikel tersebut pada 3 September 2011. Sebelum-sebelumnya, beberapa artikel saya juga pernah dijadikan HL. Tetapi artikel ini sangat istimewa buat saya karena bercerita tentang bidadari-bidadari kecil saya dan foto mereka setiap 30 detik muncul menghiasi barisan foto HL di Kompasiana selama hampir 12 jam. Bahkan di halaman Kesehatan Kompasiana, foto mereka masih bertengger hingga malam ini. Itu artinya wajah mereka menjadi HL di halaman Kesehatan tersebut selama seharian. Mmm, bisa jadi karena hari ini hari Minggu menyebabkan Admin tidak sempat mengganti postingan foto dari artikel saya. Hehehe. Btw, artikel istimewa tersebut akhirnya saya muatkan kembali di Blogspot ini beserta foto mereka yang tayang di Kompasiana* ^_^

Banyak yang bilang, saya termasuk orang yang berani mengambil resiko ketika hamil tua. Tapi menurut saya sih saya tidak demikian. Saya yakin, yang mengalami proses melahirkan seperti saya bukan saya sendirian. Dan juga, apa yang saya lakukan rasanya masih wajar dan juga mungkin bukan sesuatu yang tak lazim bagi banyak orang.

Sepuluh tahun lalu, saya melahirkan Nau dengan cara diinduksi ketika usia kandungan masih sekitar 36 minggu. Mungkin karena kelelahan duduk begadang semalaman hingga subuh gara-gara mengerjakan tugas kuliah, ketuban saya pecah di pagi hari. Saat itu, suami yang masih menjadi Dokter Muda (DM) belum berangkat jaga ke rumah sakit (RS) dr. Soetomo, menjelaskan bahwa air yang terus menerus mengalir itu adalah air ketuban. Saya diminta berangkat ke rumah sakit. Ditemani seorang teman kuliah, saya berangkat ke RS di Pacar Keling yang dokter kandungannya memang menjadi dokter langganan saya. Beliau juga kebetulan adalah Guru Besar Etika di tempat suami saya menimba ilmu.

Seharian itu, tidak terbersit sedikitpun di pikiran bahwa saya akan melahirkan ‘hanya’ gara-gara ketuban pecah. Betapa tidak, sejak ketuban pecah pagi hari hingga pukul 7 malam, saya tidak merasakan sakit perut apa-apa. Saya baru menaruh curiga ketika melihat suami menandatangani sebuah lembaran yang diberi petugas RS. Sekitar pukul 8, saya diberi tablet dan dipersilahkan ke kamar mandi. Setelah itulah mulai muncul mules yang hilang timbul. Hingga saat itu, saya masih tidak benar-benar tahu bahwa itu adalah proses ‘pemaksaan’ menuju persalinan. Setelah 2 jam diberi tablet (yang akhirnya saya ketahui dimaksudkan untuk merangsang kontraksi), barulah saya benar-benar mudeng dan sadar bahwa saya akan melahirkan karena sakit yang muncul dalam intensitas menitan yang semakin dekat. Ya Allah, betapa sakitnya diinduksi. Tangan saya sampai memar-memar kehitaman akibat tanpa sadar memukul pinggiran besi tempat tidur. Akhirnya, total 4 jam sejak saya diberi tablet, saya melahirkan bayi perempuan. Dan 2 hari setelah saya keluar RS, saya sudah kembali ke kampus… *_^

Kisah Naj sedikit berbeda dengan Nau. Enam tahun lalu, ketika ketuban pecah dalam kamar mandi, saya diantar Bapak Ibu dan Nau dari Lumajang menuju Jember. Malam sebelumnya, saya juga baru saja menempuh Lumajang-Jember PP karena mengecek kandungan ke kolega suami yang saat itu menjadi Dekan tempat suami saya mengabdikan ilmu. Saat itu, usia kandungan saya sudah lewat 41 minggu. Karena khawatir sampai terjadi pengapuran pada plasenta, maka saya memeriksakan kandungan ke kolega suami tersebut meski sebetulnya saya juga punya dokter langganan di Lumajang. Akhirul kalam, sekitar pukul setengah lima sore, saya pertemuan dengan suami di sebuah daerah perbatasan Lumajang-Jember untuk bersama-sama menuju Jember Klinik, tempat yang direkomendasi oleh kolega suami untuk saya melahirkan dengan cara diinduksi jika saya tidak juga melahirkan sampai seminggu setelah pertemuan semalam.

Dan… sekitar Maghrib, saya masih menyimak pagar-pagar pembatas di Jalan Sultan Agung menjadi saksi kelahiran Naj di dalam mobil, sekitar 10-15 menit sebelum sampai Jember Klinik. Kelahirannya ditolong oleh Abinya sendiri dengan peralatan yang memang sengaja dibawanya untuk menolong saya jika saya sampai harus melahirkan dalam mobil. Mmm, perjalanan mulai dari Jatiroto hingga Jalan Sultan Agung Jember adalah perjalanan paling lama dan menyakitkan karena saat-saat itulah kontraksi 5 menitan berlangsung. Prediksi saya berdasarkan pengalaman melahirkan Nau, waktu tempuh Lumajang-Jember tidak akan membuat saya melahirkan di jalan. Tetapi ternyata Naj kecil sudah tidak tahan untuk segera lahir. Naj lahir dengan berat 4 kilo dan panjang 51 cm. Tendangan telak dari saya sempat menohok dada Abinya ketika membantu saya melahirkan di bagian tengah mobil Kuda….

Lain Nau Naj, lain pula Nad. Untuk Nad, saya sudah mempersiapkan diri untuk melahirkannya di Lumajang. Sejak usia kandungan masuk 36 minggu, dokter kandungan sudah mewanti-wanti agar saya tidak lagi melakukan perjalanan Lumajang-Surabaya. Tetapi saat itu saya ada undangan kuliah umum selama 3 hari. Saya sudah menyatakan ke suami bahwa saya ingin mengikuti kuliah umum pada hari ke-2. Saya lupa, siapa yang menjadi pembicara saat itu yang membuat saya sampai merajuk pada suami agar diizinkan untuk mengikuti kuliah tersebut. Mungkin karena kasihan atau pertimbangan lain, suami akhirnya mengizinkan. Sebelumnya, saya tidak meminta suami menemani karena saya merasa sudah siap diri dengan berbagai kemungkina. Perlengkapan melahirkan dan baju bayi sudah selalu stand-by di mobil sejak kandungan saya masuk 36 minggu. Saya bahkan sudah mempersiapkan skenario jika kontraksi muncul maka saya akan menuju RS mana di sepanjang perjalanan Lumajang-Surabaya. Toh saya bersama sopir, sehingga tidak perlu terlalu khawatir untuk mencari RS. Entahlah, mungkin karena tidak tega, akhirnya suami menawarkan diri tidak membuka praktek dan menemani saya ke Surabaya.

Usai Subuh, saya memulai perjalanan dari Lumajang menuju Surabaya. Saya on time mengikuti kuliah umum mulai dari jam 9 pagi hingga Isya’. Setelah Isya’, barulah kami pulang kembali ke Lumajang. Saat itu, saya sudah memantapkan hati dan berjanji pada suami tidak akan kembali ke Surabaya sampai saya melahirkan di Lumajang. Di perjalanan, saya sudah merasa seperti sedang ‘mengompol’. Saya cerita ke suami dan suami hanya menjawab dengan anggukan. Jam 1 malam saya sampai rumah dan jam 2 ketika hendak tidur, saya merasakan suara ‘letusan kecil’ di bagian bawah. Byurrrr… Serrrrr… Serrrr… Aaaaah, ketuban saya pecah sampai berasa ‘letusannya’ mengalir deras dan membanjiri kasur… Takut? Tentu tidak! Wajah suami saya sangat tenang sehingga saya menganggap bahwa keadaan saya bukan sesuatu yang berbahaya. Malah, suami sempat menjelaskan bahwa ketuban saya mungkin sebetulnya sudah pecah di perjalanan tadi dalam wujud ‘mengompol’ yang saya keluhkan sebelumnya. Suami memang sengaja tidak menceritakan karena khawatir akan membuat saya panik. Akhirnyaaaa… setelah seharian belum sempat tidur sama sekali, saya ke RS pukul 3 dini hari. Alhamdulillah, Nad lahir sekitar jam 7 pagi dengan berat dan panjang nyaris sama dengan Naj…

Naj… Mmm, hari ini Naj berulang tahun yang ke-6. Saya menulis artikel ini tadi juga karena terkenang peristiwa 6 tahun lalu ketika melahirkan dalam mobil. Naj hari ini sedang bersama Abinya di Jember dan saya bersama Nau Nad di Lumajang. Untuk kado ultahnya yang ke-6, Naj minta 3 hadiah: cincin, gelang, dan mangga manis. Hmmmfhhh, selamat ultah ya Sayang. Semoga Naj diberi cantik wajah, cantik hati, dan cantik akhlak. Semoga kelak menjadi generasi Rabbani yang mencintai ilmu pengetahuan dan memiliki iman ketakwaan. Semoga Naj selalu dilimpahkan sehat, selamat n bahagia. Semoga Naj kelak termasuk orang yang selalu dicinta penghuni langit dan bumi… Aamiin.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)