PASIR UNTUK KESEJAHTERAAN, SUDAHKAH? (Radar Jember, Cover Story, 1 Agustus 2011, Hlm. 33)





Oleh: Khairunnisa Musari (Peneliti Tamkin Institute)

Lumajang dianegerahi potensi pasir yang luar biasa oleh Tuhan. Baik pasir galian C maupun pasir besi. Potensi pasir galian C di Lumajang disebut-ebut mencapai lebih dari 2 juta kubik. Yang tergarap selama ini hanya 1 juta kubik per tahun.

Sedangkan potensi pasir besi kabarnya mencapai hingga 60 ribu hektar. Arealnya berderet di sepanjang pantai selatan Kecamatan Yosowilangun, Kunir, Tempeh, dan Pasirian menjadi incaran sejumlah investor.

Sejak akhir 2009, media memberitakan tentang rencana investor pasir besi dari Tiongkok masuk Lumajang. PT Indo Modern Mining Sejahtera (IMMS) yang berafilisasi dengan Hongkong Hani Group (HHG) diberitakan akan mengeksplorasi tambang pasir besi seluas 8 ribu hektar di Desa Dampar, Pasirian.

Tak lama berselang, kabar tentang IMMS pun mulai meredup dan berganti dengan kabar aksi perlawanan warga Desa Wotgalih, Yosowilangun, atas kehadiran PT Aneka Tambang (ANTAM) yang ingin mengeksplorasi kembali tambang pasir besi di desa tersebut. Sebagian besar masyarakat yang merasa tidak pernah dimintai kesediaan atas rencana kegiatan penambangan di wilayah tersebut menjadi dikejutkan dengan terbitnya izin penambangan dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang.

Mengundang Polemik
Kegiatan penambangan memang selalu mengundang polemik. Aksi perlawanan warga terhadap operasi dan rencana tambang dapat dipahami sebagai bentuk kegalauan yang memuncak atas berbagai aktivitas penambangan di Indonesia. Lumpur Lapindo adalah kasus fenomenal yang sudah berusia 5 tahun, namun sampai kini masih menyisakan duka dan polemik. Kasus ini pada akhirnya juga menghadapi masalah klasik sebagaimana yang dihadapi masyarakat di Kalimantan atau Papua dalam menghadapi perusahaan penambangan batubara dan emas.

Kini, penambangan pasir besi di berbagai daerah pun menuai pergolakan. Kebutuhan bahan baku baja yang sangat besar menyebabkan pasir besi menjadi incaran banyak korporasi tambang asing maupun nasional. Penolakan warga terhadap kegiatan penambangan tidak hanya terjadi di Desa Wotgalih (Lumajang), tetapi juga di Desa Cipatujah (Tasikmalaya) dan Desa Kulonprogo (Yogyakarta). Pedihnya, warga yang kontra penambangan tidak saja berhadapan dengan korporat, tetapi juga berhadapan dengan eksekutif, legislatif, dan bahkan aparat.

Di Desa Wotgalih, ANTAM pernah melakukan penambangan selama 10 tahun di lahan seluas 500,4 hektar sejak 1998. Warga menolak kehadiran ANTAM kembali lantaran merasa tidak menerima manfaat ekonomi dari kehadiran ANTAM. Sisa-sisa hasil penambangan pasir besi ditinggalkan begitu saja. Gunung pasir yang dulu menghalangi wilayah pesisir dari ombak pantai selatan kini kabarnya telah rata dengan tinggi air laut. Daratan pasir besi yang dulu tinggi juga kini membentuk gumuk-gumuk kecil sehingga sulit untuk dimanfaatkan lahannya.

Simak juga bagaimana kasus penambangan pasir besi di Cilacap yang menampilkan potret serupa. Penambangan yang berlangsung sejak 1973 diberitakan menyebabkan sejumlah pantai di wilayah tersebut mengalami penurunan 90 sentimeter, muara sungai berpindah, sedimentasi sungai dan laut, meningkatnya abrasi pantai utara Jawa, dan rusaknya tanaman mangrove.

Begitu pula yang terjadi di pesisir barat Pulau Sumatera. Semenjak dilakukan penambangan, risiko bencana warga sekitar tambang meningkat. Badai Geloro kini dapat menerjang sampai ke pemukiman penduduk.

Penambangan VS Kesejahteraan
Salah satu kesalahan besar pemerintah, baik pusat maupun daerah, kerap memaknai kekayaan sumber daya tambang di wilayah teritori menjadi milik pemerintah dan bukan milik masyarakat. Hal inilah yang pada perjalanannya membawa banyak penyimpangan karena pola pikir tersebut menggiring munculnya kebijakan yang pro-pemerintah dan bukan pro-masyarakat.

Titik krusial yang menjadi kelemahan pengelolaan pertambangan di Indonesia adalah cara pandang terhadap sumber daya tambang sekedar sebagai komoditas semata. Cara pandang tersebut menjebak Indonesia menjadi pemasok bahan tambang dunia yang mengeksploitasi sumber daya tanpa perencanaan. Yang terjadi kemudian adalah pengelolaan yang tidak didasarkan pada kalkulasi seberapa besar volume yang boleh ditambang dan berapa lama kegiatan penambangan boleh berlangsung. Kalkulasi cenderung hanya berdasar pada seberapa besar potensi sumber daya yang ada tanpa menyertakan kalkulasi lebih jauh tentang seberapa besar yang dibutuhkan untuk menyejahterakan masyarakat lokal, menjaga kelestarian ekosistem, dan seberapa banyak potensi tambang yang harus disisakan untuk generasi masa depan. Kita akan sulit menjawab berapa yang masih tersisa dari potensi pasir besi yang ada jika suatu saat nanti warga setempat berdaya untuk mengelolanya sendiri.

Sejauh ini, data aktivis lingkungan menunjukkan kerusakan ekologis yang ditimbulkan dari penambangan pasir besi jauh lebih besar daripada manfaat ekonomi yang diterima masyarakat. Di Seluma (Bengkulu), untuk memproduksi pasir besi hingga 20 ribu ton harus mengeruk 1 juta meter kubik pasir pantai, menggali garis pantai sepanjang 3 kilometer hingga selebar 50 meter dan sedalam 7 meter. Perusahaan tambang mengantongi pendapatan kotor USD 1,9 juta, namun royalti yang dibayarkan hanya Rp 209 juta dan pendapatan asli daerah (PAD) hanya Rp 10 juta. Padahal, tambang itu menghancurkan akses jalan hingga membuat warga terasing.

Keadaan serupa terjadi di Cipatujah (Tasikmalaya). Penggalian pasir besi ditengarai lebih berpotensi merusak daripada manfaat ekonomi yang didapat. Pemasukan ke pemerintah daerah (Pemda) setahun hanya sekitar 400 juta. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan Pemda untuk membiayai pembangunan jalan yang rusak.

Bagaimana dengan Lumajang? Untuk pasir besi, belum pernah terpublikasi secara luas data yang sahih tentang berapa sumbangsih ANTAM ke Lumajang saat masih melakukan aktivitas penambangan di Wotgalih.

Sementara untuk pasir galian C, mengutip data Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Lumajang 2010-2014, jumlah produksi pasir tahun 2003 sebanyak 474.140 ton dengan realisasi penerimaan pajak galian Gol. C sebesar Rp 675.041.021,61. Tahun 2004, produksi pasir meningkat menjadi 521.906 ton, tetapi realisasi penerimaan pajak malah anjlok menjadi Rp 488.212.370,98. Pada tahun 2005, produksi pasir meningkat tajam 53,28% menjadi 800.000 ton dan pajak galian Gol. C meningkat menjadi Rp 809.608.964,98. Tahun 2006, produksi meningkat sedikit menjadi 858.000 ton, tetapi kembali diikuti anjloknya penerimaan pajak pajak menjadi Rp 504.281.103,28. Kondisi yang sama terjadi pula di tahun 2007, dimana produksi meningkat menjadi 967.440 ton, tetapi penerimaan pajak malah anjlok kembali menjadi Rp 486.163.807,00. Tahun 2008, produksi meningkat lagi menjadi 1.064.184 ton dan pajak meningkat menjadi Rp 585.215.913,06.

Untuk 2011, informasi splash news di situs Pemkab Lumajang menyebutkan pendapatan bahan galian C/pasir untuk bulan Juni 2011 sebesar Rp 270.340.000, bulan Mei Rp 232.292.000, dan bulan April Rp 237.912.000. Sayang, saya belum menemukan data yang dapat menunjukkan apakah manfaat finansial ini setara dengan berbagai kerugian yang dialami masyarakat maupun Pemkab atas kegiatan penambangan tersebut. Yang jelas, yang menjadi isu sekaligus tantangan utama dari kegiatan penambangan pasir besi di Lumajang adalah belum adanya komitmen dari Pemkab untuk menyejahterakan masyarakat setempat. Manfaat ekonomi belum terdistribusi secara berkeadilan. Sejumlah titik strategis yang menjadi lokasi bahan tambang pun disinyalir telah dikuasai oleh pemegang modal yang berada pada lingkaran dalam kekuasaan.

Reformasi Industri Tambang

Tidak bisa tidak, reformasi industri tambang harus ditegakkan melalui kontruksi penegakan hukum lingkungan dengan mengaplikasikan ilmu ekonomi yang bernurani. Meminjam pendapat Subagyo (2011), Dewan Pakar Tamkin Institute, implementasi penegakan sistem hukum lingkungan Indonesia adalah dengan cara membangun paradigma berbasis lingkungan hidup yang mengakui prinsip keadilan sosial. Agenda reformasi adalah dengan menjalankan gerakan pemerintah, sosial, dan hukum ekologi berdasarkan sistem hukum lingkungan.

Selain itu, hukum harus memberikan akses upaya hukum bagi subyek hukum masa kini dengan dasar moral untuk mewakili masa depan. Ya, sudah saatnya gaung pembangunan tidak hanya mengedepankan pro-poor, pro-growth, dan pro-employment semata, tetapi juga harus komit menggaungkan pro-environment dengan menjadikan people sebagai objek pembangunan. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

  1. mbak,kalau boleh tau mencari data pendapatan galian golongan C yang terekap pertahunnya di mana ya?

    BalasHapus
  2. saya menemukannya di situs Pemkab. www.lumajang.go.id. coba cari info APBD-nya...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)