DIVERSIFIKASI CADANGAN DEVISA EMAS (Harian KONTAN, 24 Mei 2011)
Oleh: Khairunnisa Musari*
Bank Indonesia (BI) dikabarkan tengah mengkaji penambahan emas sebagai cadangan devisa. Meski belum bisa dipastikan sejauh mana BI akan merealisasikannya, namun setidaknya BI sudah mengakui bahwa cadangan devisa dalam bentuk USD memiliki risiko yang lebih besar. Selain karena nilainya yang sangat fluktuatif, juga karena sensitif terhadap isu global.
Posisi cadangan devisa Indonesia per 20 April 2011 mencapai USD 109,5 miliar. Angka ini naik USD 3,8 miliar dibanding posisi akhir Maret yang sebesar USD 105,7 miliar atau naik USD 9,88 miliar dibanding posisi akhir Februari yang sebesar USD 99,62 miliar. Hingga akhir 2011, BI memperkirakan cadangan devisa Indonesia dapat menembus USD 116,8-119,4 miliar. Sedangkan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) memperkirakan cadangan devisa Indonesia dapat menembus kisaran USD 120 miliar.
Meski nilai cadangan devisa Indonesia terus meningkat, namun kebijakan BI dalam hal tersebut masih menyimpan kerentanan. Sistem cadangan devisa yang berlaku saat ini umumnya menjadikan USD sebagai instrumen penyimpan nilai. Meski banyak yang mengkritisi bahwa USD bukan penyimpan nilai yang baik, namun BI belum beranjak untuk mengalihkannya guna mengelola resiko.
Hampir 20 tahun lalu, Kurtzman (1993) dalam The Death of Money telah memperingatkan bahwa model ekonomi dunia telah gagal dan sistem fiat money akan segera mati. Belakangan, USD sebagai pionir fiat money kian santer dikritik sebagai tolok ukur kepulihan, kemakmuran, dan juga pertumbuhan ekonomi. Kejatuhan USD menunjukkan bahwa mata uang ini tidak terjamin kestabilannya. Karena itulah, BI perlu didesak untuk meninjau ulang kebijakan cadangan devisa. Guna mengeliminir resiko nilai kurs rupiah, maka dibutuhkan diversifikasi cadangan devisa.
Diversifikasi Cadangan Devisa
Sebagai sebuah aset/aktiva bank sentral yang tersimpan dalam beberapa mata uang cadangan (hard currency) guna menjamin kewajibannya, cadangan devisa sebenarnya juga disimpan dalam bentuk surat berharga ataupun logam mulia. Dalam memilih instrumen, BI umumnya memilih yang likuid dan aman meski return-nya rendah.
Meski harga emas berturut-turut mengalami kenaikan, namun instrumen ini bagi BI relatif sulit likuid. BI melihat tren peningkatan harga emas lebih disebabkan oleh depresiasi USD, permintaan untuk lindung nilai terhadap inflasi, utang di kawasan Eropa, serta kerusuhan di Timur Tengah dan Afrika Utara yang terus memicu permintaan investasi dalam bentuk emas. Instrumen emas pun diyakini akan membawa konsekuensi pada tingkat inflasi karena transaksi emas merupakan bagian dari core inflation.
Jika disimak, kepemilikan cadangan emas Indonesia dari tahun ke tahun terus menurun. Pada awal 2000, cadangan emas Indonesia masih sekitar 96,5 ton. Pada kuartal I-2010, cadangan emas Indonesia turun menjadi 73,1 ton dengan nilai sekitar USD 2,62 miliar atau 3,6 persen dari total cadangan devisa.
Per Maret 2011, nilai cadangan emas Indonesia menjadi sebesar USD 3,34 miliar atau naik sedikit dibanding bulan sebelumnya yang sebesar USD 3,29 miliar. Kenaikan ini tentu saja bukan karena jumlah cadangan emas yang meningkat, tetapi lebih dikarenakan lonjakan nilai emas akibat kenaikan harga emas dunia.
Namun demikian, penting bagi BI untuk melakukan diversifikasi USD dan treasuries. Desakan bagi BI untuk menambah cadangan devisa berupa emas tentu bukan karena sentimen sesaat lantaran dalam beberapa waktu lalu emas dunia terus menerus memecahkan rekor hingga sembilan kali dan sempat menyentuh level USD 1.506,50 per troy ounce.
Desakan bagi BI ini juga bukan karena return emas yang saat ini lebih tinggi dibandingkan obligasi negara. Layak ditambahnya porsi cadangan emas bagi portofolio cadangan devisa Indonesia lebih dikarenakan kemampuannya mem-back up nilai mata uang. Dalam hal ini, pemerintah berkepentingan untuk membangun upaya penjaminan nilai tukar mata uang rupiah. Menambah cadangan emas adalah salah satu opsi logis dan rasional untuk merealisasikannya.
Menambah Cadangan Emas
Dalam satu dekade terakhir, emas dunia mengalami kenaikan secara bertahap. Pada tahun 1999, harga terendah emas masih berkisar USD 250 per troy ounce. Kenaikan pesat mulai terjadi pada akhir tahun 2008 pasca krisis finansial.
Sementara itu, nilai fiat money dari waktu ke waktu mengalami penyusutan karena tergerus inflasi. Fiat money secara sempurna terbukti sebagai alat tukar yang tidak adil karena nilainya selalu berubah sebagai penyimpan nilai kekayaan. Emas yang memiliki nilai intrinsik relatif lebih stabil. Nilai emas selain tidak bergantung pada negara mana pun, juga tidak bergantung pada sistem ekonomi manapun.
Setidaknya ada 2 jenis pemanfaatan emas yang dapat dikelola BI. Pertama, sebagai alat pembayaran atas transaksi perdagangan barang dan jasa luar negeri. Pembayaran tidak dilakukan dengan mentransfer emas dari satu negara ke negara lain, tetapi dengan mentransfer nilai emas kepada bank kustodian yang telah disepakati.
Kedua, menggunakan mata uang emas (dinar) dalam transaksi perdagangan bilateral/multilateral dengan negara yang telah menjadikannya sebagai alat transaksi internasional. Meminjam pendapatnya Meera (2004), penggunaan mata uang emas dalam perdagangan internasional, terutama dalam perdagangan bilateral, akan memberikan sejumlah keuntungan. Yaitu, (1) mengurangi atau menghapus resiko nilai tukar; (2) mengurangi terjadinya spekulasi, manipulasi, dan arbitrasi terhadap mata uang nasional; (3) mengurangi biaya transaksi perdagangan; (4) meningkatkan perdagangan; (5) mengurangi sovereignity dari sistem perdagangan fiat money serta mengurangi ketergantungan negara berkembang dan miskin terhadap perekonomian negara maju.
Komentar
Posting Komentar