Pembangunan Tanpa Pedoman (Radar Jember, Analisis, 21 Februari 2011, Hlm. 38)
Oleh: Khairunnisa Musari
“… politik terletak di muka, tetapi orang politik yang tidak mengetahui ekonomi tidak akan berhasil dalam menentukan tujuan tepat bagi politik perekonomian … Politik perekonomian haruslah diciptakan ahli politik yang tahu ekonomi …”. (Moh. Hatta, 1960)
Bicara ekonomi akan sulit jika tidak pula membicarakan politik. Pembangunan ekonomi sesungguhnya merupakan misi politik. Kerap kali persoalan ekonomi muncul dan terselesaikan bukan karena faktor-faktor ekonomi, melainkan faktor-faktor politik. Debt-trap dan culture-trap yang terjadi di Indonesia pun tidak lepas dari faktor politik. Oleh karena itu, dikotomi politik dan ekonomi tidak bisa terus dibiarkan. Untuk menyelesaikan persoalan ekonomi, dibutuhkan politik ekonomi.
Sistem politik ekonomi Indonesia selama ini tidak jelas karena terus berubah di setiap pergantian pemimpin. Hal inilah yang membuat perkembangan ekonomi Indonesia tidak bisa berkembang cepat. Di saat negara lain sibuk mengembangkan ilmu pengetahuan, Indonesia justru mengalami perubahan sistem politik ekonomi yang terus berubah di setiap pemerintahan.
Cerminan politik ekonomi yang terjadi di Indonesia sesungguhnya cerminan politik ekonomi pula di daerah. Di daerah, politik ekonomi kerap berganti haluan seiring dengan siapa yang memenangkan Pilkada. Pembangunan berjalan tanpa ada kesinambungan. Kesinambungan hanya berlangsung selama orang yang sama memerintah atau orang lain yang merupakan kadernya yang memegang tampuk pemerintahan.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab utama mengapa banyak proyek pembangunan di daerah tak berkembang. Pembangunan bersifat jangka pendek. Responsif. Membangun tanpa visi yang sistematis, bertahap, terencana, dan aspiratif. Model pembangunan dirancang dengan asas manfaat yang top-down. Alhasil, tidak ada hubungan timbal balik antara alokasi anggaran dan perbaikan kesejahteraan.
Fakta empirik menunjukkan berbagai proyek pembangunan milik pemerintah daerah yang mangkrak atau tidak berfungsi. Hal ini mengindikasikan akuntabilitas manajemen birokrasi yang rendah. Seharusnya, setiap proyek fisik pemerintah harus lebih dulu disertai dengan studi kelayakan secara komprehensif, integratif, lintas-disiplin, dan lintas sektoral.
Banyak contoh kongkret dari sejumlah proyek pembangunan yang dapat kita simak progresnya yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Pembangunan yang menyerap dana anggaran yang sangat besar ternyata mangkrak. Kalaupun tumbuh, tumbuh dengan amat sangat lamban. Tidak usah jauh-jauh. Di Jember, kita memiliki bandar udara (bandara) yang hingga saat ini belum terdengar lagi kabarnya. Di Lumajang, kita punya Kawasan Wonorejo Terpadu (KWT) dan Pasar Agropolitan yang perkembangannya tak seperti yang dulu digaungkan. Di Surabaya, juga ada Sport Surabaya Center (SSC) yang dibangun dengan prestisius tapi tidak membawa kesejahteraan warga setempat. Lantas apa yang salah?
Ya, politik ekonomi yang berlangsung selama ini menyiratkan kebanyakan daerah belum memiliki kapabilitas untuk menjadikan otonomi daerah sebagai tonggak kemajuan daerah. Selain malah menjadikan daerah semakin bergantung pada pusat, tidak mandiri, juga antar eksekutif dan legislatif di daerah menjadi berjarak.
Menjadi pembicaraan umum bahwa pembagian jatah proyek adalah sebuah keniscayaan di antara pihak eksekutif dan legislatif. Disinyalir hal ini pulalah yang menyebabkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2011 di Lumajang dan Jember belum juga kunjung selesai. Benarkah demikian? Merekalah yang berada dalam lingkaran elit yang dapat menjawabnya. Kita yang berada jauh di luar hanya dapat meraba, mencium, dan merasakan saja.
Yang jelas, politik ekonomi di daerah yang terjadi saat ini secara kasat mata bukanlah misi politik yang berjuang membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Politik ekonomi yang berlangsung saat ini adalah misi politisasi ekonomi untuk memperjuangkan kesejahteraan bagi diri, kerabat, dan kelompoknya saja.
Pembangunan di daerah lebih pada pembagian jatah proyek dan balas budi bagi individu, kelompok, lembaga atau korporasi yang banyak membantu keberhasilan seseorang menjadi pemenang dalam Pilkada. Benar atau tidak, entahlah, ini hanyalah sebuah hipotesis. Yang jelas, mangkraknya sejumlah proyek pembangunan pemerintah di daerah semakin mengindikasikan adanya kebenaran terhadap hipotesis ini. Wallahu a’lam bish showab
“… politik terletak di muka, tetapi orang politik yang tidak mengetahui ekonomi tidak akan berhasil dalam menentukan tujuan tepat bagi politik perekonomian … Politik perekonomian haruslah diciptakan ahli politik yang tahu ekonomi …”. (Moh. Hatta, 1960)
Bicara ekonomi akan sulit jika tidak pula membicarakan politik. Pembangunan ekonomi sesungguhnya merupakan misi politik. Kerap kali persoalan ekonomi muncul dan terselesaikan bukan karena faktor-faktor ekonomi, melainkan faktor-faktor politik. Debt-trap dan culture-trap yang terjadi di Indonesia pun tidak lepas dari faktor politik. Oleh karena itu, dikotomi politik dan ekonomi tidak bisa terus dibiarkan. Untuk menyelesaikan persoalan ekonomi, dibutuhkan politik ekonomi.
Sistem politik ekonomi Indonesia selama ini tidak jelas karena terus berubah di setiap pergantian pemimpin. Hal inilah yang membuat perkembangan ekonomi Indonesia tidak bisa berkembang cepat. Di saat negara lain sibuk mengembangkan ilmu pengetahuan, Indonesia justru mengalami perubahan sistem politik ekonomi yang terus berubah di setiap pemerintahan.
Cerminan politik ekonomi yang terjadi di Indonesia sesungguhnya cerminan politik ekonomi pula di daerah. Di daerah, politik ekonomi kerap berganti haluan seiring dengan siapa yang memenangkan Pilkada. Pembangunan berjalan tanpa ada kesinambungan. Kesinambungan hanya berlangsung selama orang yang sama memerintah atau orang lain yang merupakan kadernya yang memegang tampuk pemerintahan.
Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab utama mengapa banyak proyek pembangunan di daerah tak berkembang. Pembangunan bersifat jangka pendek. Responsif. Membangun tanpa visi yang sistematis, bertahap, terencana, dan aspiratif. Model pembangunan dirancang dengan asas manfaat yang top-down. Alhasil, tidak ada hubungan timbal balik antara alokasi anggaran dan perbaikan kesejahteraan.
Fakta empirik menunjukkan berbagai proyek pembangunan milik pemerintah daerah yang mangkrak atau tidak berfungsi. Hal ini mengindikasikan akuntabilitas manajemen birokrasi yang rendah. Seharusnya, setiap proyek fisik pemerintah harus lebih dulu disertai dengan studi kelayakan secara komprehensif, integratif, lintas-disiplin, dan lintas sektoral.
Banyak contoh kongkret dari sejumlah proyek pembangunan yang dapat kita simak progresnya yang tidak berjalan sebagaimana diharapkan. Pembangunan yang menyerap dana anggaran yang sangat besar ternyata mangkrak. Kalaupun tumbuh, tumbuh dengan amat sangat lamban. Tidak usah jauh-jauh. Di Jember, kita memiliki bandar udara (bandara) yang hingga saat ini belum terdengar lagi kabarnya. Di Lumajang, kita punya Kawasan Wonorejo Terpadu (KWT) dan Pasar Agropolitan yang perkembangannya tak seperti yang dulu digaungkan. Di Surabaya, juga ada Sport Surabaya Center (SSC) yang dibangun dengan prestisius tapi tidak membawa kesejahteraan warga setempat. Lantas apa yang salah?
Ya, politik ekonomi yang berlangsung selama ini menyiratkan kebanyakan daerah belum memiliki kapabilitas untuk menjadikan otonomi daerah sebagai tonggak kemajuan daerah. Selain malah menjadikan daerah semakin bergantung pada pusat, tidak mandiri, juga antar eksekutif dan legislatif di daerah menjadi berjarak.
Menjadi pembicaraan umum bahwa pembagian jatah proyek adalah sebuah keniscayaan di antara pihak eksekutif dan legislatif. Disinyalir hal ini pulalah yang menyebabkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2011 di Lumajang dan Jember belum juga kunjung selesai. Benarkah demikian? Merekalah yang berada dalam lingkaran elit yang dapat menjawabnya. Kita yang berada jauh di luar hanya dapat meraba, mencium, dan merasakan saja.
Yang jelas, politik ekonomi di daerah yang terjadi saat ini secara kasat mata bukanlah misi politik yang berjuang membawa peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah. Politik ekonomi yang berlangsung saat ini adalah misi politisasi ekonomi untuk memperjuangkan kesejahteraan bagi diri, kerabat, dan kelompoknya saja.
Pembangunan di daerah lebih pada pembagian jatah proyek dan balas budi bagi individu, kelompok, lembaga atau korporasi yang banyak membantu keberhasilan seseorang menjadi pemenang dalam Pilkada. Benar atau tidak, entahlah, ini hanyalah sebuah hipotesis. Yang jelas, mangkraknya sejumlah proyek pembangunan pemerintah di daerah semakin mengindikasikan adanya kebenaran terhadap hipotesis ini. Wallahu a’lam bish showab
Pembangunan memang harus berjalan, utamanya pembangunan fisik, tapi usulan penulis kayaknya sulit diterapkan sampai kapanpun. wallohua'lam bishawab.
BalasHapus