Menanti Sukuk Ritel yang Produktif (Bisnis Indonesia, 4 Februari 2011, Hlm. 11)


Oleh: Khairunnisa Musari (Peneliti Tamkin Institute)

Pemerintah berencana untuk menerbitkan Sukuk Ritel (SR) 003 pada bulan Februari ini. Penawaran akan berlangsung mulai tanggal 7 hingga 18. Selanjutnya akan dilakukan penjatahan pada tanggal 21 dan kemudian dilakukan settlement pada saat penerbitan tanggal 23.

Tak banyak yang berbeda antara SR 003 dengan SR 002 dan SR 001. Ketiganya diterbitkan secara berturut-turut di bulan Februari. Akad yang digunakan ijarah sale and lease back. Dijual dengan harga nominal per unit Rp 1 juta dengan minimum pembelian Rp 5 juta dan kelipatannya. Target investor yang dibidik adalah individu warga negara Indonesia. Agen penjualnya kebanyakan terdiri dari bank konvensional, perusahaan sekuritas, dan sedikit bank syariah.

Meski Indonesia termasuk salah satu negara di kawasan Asia yang menjadi motor penerbitan sukuk negara, namun tak banyak inovasi yang mampu diciptakan pemerintah Indonesia. Hal ini setidaknya tercermin dari produk SR 003 yang mengimitasi SR sebelumnya. Hampir semua jenis sukuk negara yang diterbitkan juga menggunakan struktur berbasis utang (debt-based).

Agar sukuk negara dapat dioptimalkan kemanfaatannya, maka struktur penerbitan sukuk harus diarahkan pada yang berbasis ekuitas (equity-based). Pemerintah setidaknya dapat menciptakan underlying asset dan proyek berbasis sektor produktif sebagai sebuah inovasi untuk optimalisasi manfaat sukuk negara.

Underlying Asset

Pemerintah memang telah menyatakan asset yang dijadikan underlying harus memiliki nilai ekonomis atau memiliki aliran penerimaan kas. Sesuai dengan Undang-Undang (UU) Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), obyek pembiayaan sukuk negara dan/atau barang milik negara (BMN) adalah yang bernilai ekonomis, baik berupa tanah atau bangunan atau selain keduanya. Namun demikian, selama ini yang dijadikan underlying cenderung hanya berupa asset bernilai ekonomis yang tak memiliki aliran penerimaan kas.

Dalam perkembangan terkini, investor menginginkan penerbit sukuk memenuhi kewajiban dari pendapatan yang dihasilkan dari sektor produktif dibanding dari penjualan asset. Pasca restrukturisasi utang di kawasan Teluk, underlying yang menghasilkan aliran penerimaan kas cenderung menjadi pilihan. Jaminan berdasar properti atau sebidang tanah memang populer, tapi asset demikian dinilai bukan solusi jangka panjang.

Sejauh ini, pemerintah selalu menjamin sukuk negara bebas resiko gagal bayar. Namun demikian, sejatinya investor sukuk memiliki hak atas underlying asset apabila terjadi default. Kasus Dubai World memberi pelajaran bahwa penerbitan sukuk tetap memiliki resiko, termasuk resiko likuiditas, resiko pasar, resiko operasional, dan resiko kepercayaan. Jika sukuk negara Indonesia mengalami default, maka hal ini berpotensi memicu bleeding bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pasalnya, pemerintah otomatis akan menggunakan dana APBN untuk membayar investor atau menerbitkan surat berharga baru untuk refinancing.

Dengan demikian, patut dipikirkan agar underlying asset yang digunakan sukuk negara Indonesia berbasis sektor produktif. Selain dapat menghasilkan bagi hasil rutin dari kegiatan produksi, juga ketika terjadi default tidak akan banyak mengganggu APBN. Yang lebih penting lagi, sukuk bukan menjadi instrumen gali-tutup utang pemerintah. Jika harus terjadi pengalihan aset kepemilikan kepada investor, maka bukan sesuatu yang buruk jika warga negara Indonesia dapat memiliki aset publik produktif tersebut. Setidaknya pemerintah akan lebih berhati-hati dalam mengelola aset publik yang kepemilikannya juga dimiliki publik.

Yang kini marak dilakukan banyak negara adalah penggunaan bandara dan pesawat sebagai underlying asset. Salah satunya adalah perusahaan Jepang, Nomura Holdings, yang menjual sukuk di Malaysia dengan menggunakan pesawat dan Pakistan yang menjual sukuk negara senilai USD 605 juta dengan menggunakan Bandara Internasional Jinnah. Pasca jatuhnya harga real estate di kawasan Teluk, underlying asset berupa bandara dan pesawat memang dinilai lebih menjanjikan dalam memberikan return daripada sukuk yang memiliki underlying asset berbasis tanah atau properti.

Proyek Pembangunan

UU SBSN menyatakan bahwa tujuan penerbitan sukuk negara selain untuk membiayai APBN, juga untuk membiayai pembangunan proyek. Dalam upaya merintis sukuk sebagai instrumen pembiayaan dalam kebijakan fiskal, tujuan ini dapat dipahami sebagai sebuah proses awal membumikan sukuk. Namun kenyataannya, penerbitan sukuk negara di Indonesia dalam perkembangannya cenderung untuk terus membiayai defisit anggaran atau refinancing utang jatuh tempo. Hingga saat ini pemerintah belum menerbitkan sukuk berbasis proyek.

Ke depan, tujuan penerbitan sukuk negara seyogyanya dimaksudkan untuk merestrukturisasi utang berbunga. Pada gilirannya, instrumen ini diharapkan dapat melepaskan APBN dari beban utang. Untuk itu, penerbitan SR di waktu mendatang hendaknya dialokasikan untuk membiayai proyek yang bersifat produktif.

Dengan sumber dana yang berasal dari investor bermodal Rp 5 juta, maka pemerintah seharusnya dapat memanfaatkan SR untuk mendanai proyek yang dapat memberi return lebih besar bagi investor atau memberi nilai manfaat lebih besar bagi masyarakat dan wilayah yang membutuhkan pembangunan. Dengan demikian, pembiayaan pembangunan tidak bergantung pada APBN atau utang luar negeri. Yang terpenting lagi, pembangunan Indonesia nyatanya mampu bersumber dari swadaya bangsa sendiri.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)