Segera Sahkan RAPBD 2011 (Radar Jember, 5 Januari 2011)
Oleh: Khairunnisa Musari (Peneliti Tamkin Institute)
Memasuki 2011, konflik politik dan hukum berkepanjangan sepanjang 2010 di Kabupaten Jember sudah mulai menuai imbas. Pengesahan Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (RAPBD) 2011 telah melewati batas akhir tahun. Rapat paripurna dewan seharusnya sudah menyetujui RAPBD dan mengesahkannya pada 30 November untuk selanjutnya disampaikan pada Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Dalam dua pekan berikutnya, RAPBD itu kemudian seharusnya sudah bisa disahkan dan diundangkan dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang APBD. Dengan demikian, Januari 2011 ini seharusnya dana anggaran sudah dapat dieksekusi.
Bermula dari vonis bebas Bupati Djalal yang tidak berujung pada pengaktifannya kembali dan kemudian dilantiknya Penjabat (Pj) Teddy Zarkasi yang ditunjuk Kemendagri berbuah friksi antar anggota dewan. Dikabarkan terdapat 29 legislator yang memboikot semua agenda dewan, termasuk pembahasan RAPBD 2011. Keberadaan Pj Bupati Jember yang semula diharapkan dapat mempercepat proses pembahasan, nyatanya tak bisa berbuat banyak. Pembahasan RAPBD 2011 masih terkatung-katung.
Harus dipahami, RAPBD sesungguhnya adalah politik anggaran. Politik anggaran seyogyanya memahami bahwa APBD adalah representasi kebijakan fiskal yang memiliki peran strategis sebagai salah satu piranti kebijakan pemerintah untuk mendorong percepatan pemulihan ekonomi. Dengan demikian, sepantasnya politik anggaran mengindahkan pengesahan RAPBD sebagai hal yang substantif. Mengingat begitu pentingnya keberadaan APBD sebagai alat untuk mensejahterakan rakyat, maka pemerintah daerah dan lembaga legislatif yang mempunyai otoritas penuh dalam APBD harusnya tidak mereduksi pengesahan RAPBD dengan dalih apapun.
Keterlambatan pengesahan RAPBD 2011 otomatis berakibat pada keterlambatan penyerahannya pada pemerintah pusat. Sejauh ini, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) memiliki kesepahaman dengan pemerintah pusat untuk menjatuhkan sanksi kepada daerah yang tidak menyampaikan RAPBD tepat waktu. Hal ini mengingat porsi dana perimbangan terhadap APBD berkisar 75-85 persen dari total APBD provinsi, kabupaten, dan kota.
Adapun sanksi yang lazim terjadi ketika RAPBD diserahkan tidak tepat waktu adalah penundaan dana alokasi umum (DAU). Selain penundaan DAU, keterlambatan RAPBD juga akan membuat dana alokasi khusus (DAK) tidak bisa disalurkan sebelum APBD disahkan. DAK memang tidak hangus, hanya ditunda beberapa waktu. Namun hal ini tetap saja berimbas pada rakyat karena ada lag yang terlalu lama.
Jika APBD cepat selesai, maka seharusnya transfer DAU dan DAK ke daerah juga akan makin cepat. Bahkan jika pun akhir Desember RAPBD baru disahkan, maka bulan Februari umumnya DAU dan DAK sudah dapat ditransfer. Kondisi normal ini saja sudah menunjukkan lag 1-2 bulan.
Padahal, sebagai rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh DPRD, RAPBD merepresentasikan kebijakan dan kapasitas fiskal pemerintahan daerah selama satu tahun anggaran dari tanggal 1 Januari hingga 31 Desember. Tahun anggaran ini dapat terpenuhi jika pemerintah daerah maupun DPRD bekerja tepat waktu.
Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, pengambilan keputusan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan. Pada Pasal 46 ayat 1 disebutkan, apabila DPRD tidak mengambil keputusan terhadap Raperda APBD sampai batas waktu tersebut, kepala daerah berhak menentukan angka APBD sesuai pagu APBD tahun anggaran sebelumnya.
Semula, pernah ada masukan agar pemerintah pusat cukup memberikan teguran terlebih dahulu sebelum menjatuhkan sanksi pada daerah yang terlambat menyerahkan RAPBD. Berikutnya, pemerintah pusat dapat menahan DAU yang dialokasikan untuk keperluan non-gaji. Jika ini terkait dengan kendala teknis, Kementerian Keuangan (Kemenku) telah diminta untuk mengedepankan fasilitasi dan bimbingan kepada daerah.
Dalam konteks Kabupaten Jember, yang terjadi bukanlah persoalan teknis penyusunan RAPBD yang menjadikan pengesahannya molor. Tapi, situasi politik dan hukumlah yang tak kondusif yang menyebabkan RAPBD terkatung-katung. Tidak ada obat mujarab dalam hukum selain legawa menunggu proses hukum selesai. Begitu juga tidak ada obat mujarab dalam politik selain kebesaran hati dari masing-masing pihak untuk menempatkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Jika disimak, hiruk pikuk persoalan APBD Kabupaten Jember tidak hanya terkait dengan tarik-ulur pengesahan RAPBD. Sebelumnya, sempat mencuat polemik RAPBD 2011 yang menggunakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) yang lama. Kemudian, mencuat kembali polemik tentang tidak proporsionalnya alokasi anggaran belanja di sejumlah dinas yang berada di bawah satuan kerja berstatus kantor maupun bagian.
Ke depan, persoalan ini tidak mustahil akan terus berkembang dengan persoalan baru yang terkait dengan lambatnya realisasi penyerapan. Ujung-ujungnya adalah kembali pada pola lama yang penyerapan jor-joran terjadi di akhir tahun dengan sasaran alokasi yang tidak menyentuh kepentingan dan kebutuhan masyarakat.
Dengan demikian, segeralah DPRD membahas RAPBD 2011 agar roda perekonomian Kabupaten Jember terus berjalan. Meski APBD 2011 yang kekuatannya sekitar Rp 1,5 triliun tersebut belum berkontribusi besar bagi pembangunan daerah, tetapi tetap saja keberadaannya dibutuhkan dalam menjalankan roda pemerintahan guna belanja rutin dan membiayai pembangunan. Banyak elemen yang bergantung padanya. Jika realisasi APBD terhambat, otomatis hal ini akan menghambat belanja daerah dan realisasi proyek. Pada gilirannya tidak saja pembangunan dan sektor riil yang terganggu, tetapi juga efektivitas pelayanan publik. Pada akhirnya, sasaran ekonomi yang diindikasikan oleh target pertumbuhan ekonomi daerah tidak akan tercapai. Yang paling mengenaskan, pemerintahan Kabupaten Jember akan berlangsung tanpa denyut nadi kehidupan. Wallahua’lam bish showab.
Komentar
Posting Komentar