EKONOMI MUDIK (Radar Jember, Perspektif, 4 September 2010)


Oleh: Khairunnisa Musari*

Lantunan lagu Opick Ramadhan Tiba menjadi pengantar para penumpang kereta api Sancaka Sore saat itu. Ya, saya yang dalam pekan ini melakukan perjalanan ke Yogyakarta menggunakan Sancaka Sore merasakan sekali hangatnya suasana Ramadhan. Ketika tiba waktu berbuka, petugas kereta menyampaikannya kepada para penumpang dengan pengeras suara. Para penumpang yang sedang berpuasa pun bergegas menyantap bekal berbuka yang dibawa.

Selisih 3 hari, saya kembali ke Surabaya masih dengan kereta api. Tapi kali ini dengan Mutiara Selatan. Cukup melelahkan. Saya merasa seperti pemudik. Bukan karena menanti lama di Stasiun Tugu hampir 4 jam kala dini hari. Bukan juga karena harus menahan kantuk karena kereta telat hingga 1,5 jam. Tapi karena harga tiket yang mencengangkan karena naik berlipat-lipat sehingga membuat kantuk saya hilang seketika.

Ya, naiknya harga tiket hanya salah satu fenomena kegiatan ekonomi menjelang lebaran. Banyaknya pengguna loyal jasa transportasi massal yang murah seperti kereta api adalah potensi bagi perusahaan untuk meningkatkan keuntungan. Tidak hanya dalam bisnis transportasi, dapat dipastikan semua lini prosesi mudik dan sektor usaha semakin mendekati hari lebaran sudah dikepung begitu rapat oleh kapitalisme. Tiada ruang yang dibiarkan oleh pemilik modal untuk tidak diberi sentuhan kapital.

Secara filosofis, kegiatan mudik bagi masyarakat perantau adalah sebuah kewajiban. Kegiatan ini bagi mereka adalah penyambung silaturahmi yang memberi energi baru untuk melanjutkan kehidupan di tanah perantauan. Tahun ini, angka pemudik secara nasional diperkirakan mencapai 16,3 juta jiwa atau naik sekitar 50 ribu jiwa dibanding tahun sebelumnya.

Secara teknis, mudik adalah sebuah proses redistribusi ekonomi. Mudik mampu menggerakkan roda perekonomian berupa penyebaran perputaran uang hingga ke seluruh pelosok negeri. Banyak sisi telah ikut meramaikan dan menangguk manfaat dari ritual pulang kampung ini. Mudik telah melibatkan kapital yang berkekuatan besar dan membawa dampak sosial ekonomi yang signifikan meski kadang hanya bersifat temporer. Yang jelas, perpindahan uang ini sesungguhnya adalah peluang untuk menggerakkan sektor riil di daerah dan menciptakan ekonomi tinggi serta peningkatan PAD.

Sayang, arus uang yang masuk ke daerah selama ini belum sepenuhnya dikelola dengan baik. Pemudik cenderung berperilaku konsumtif dengan membelanjakan dananya untuk kepentingan bernilai rendah dan jangka pendek serta kurang bermanfaat bagi kesinambungan ekonomi. Jarang ditemui, pemudik yang memiliki rencana jangka panjang dengan mengirimkan uangnya ke desa untuk dikelola sebagai usaha-usaha produktif.

Bisa jadi benar, mudik adalah wajah kegagalan kita mentransformasi sektor pertanian menjadi industri agribisnis. Bisa jadi benar, mudik adalah wajah kegagalan kita menciptakan pusat-pusat pertumbuhan dan sumber-sumber keunggulan baru perekonomian. Bisa jadi benar juga, mudik adalah wajah kegagalan kita menciptakan lapangan pekerjaan yang manusiawi hingga memaksa belasan juta orang berdiaspora hingga ke ujung belahan dunia, meninggalkan sanak keluarga untuk sekedar menyambung nyawa. Ya, bisa jadi benar mudik adalah wajah kegagalan kita mewujudkan kemerataan yang berkeadilan sosial.

Dari tahun ke tahun, kita sibuk menghadapi mudik sebagai sebuah ritual yang tak bersahaja. Begitu banyak sumber daya yang terserap dan habis untuk kegiatan yang satu ini, mulai dari waktu, bahan bakar, juga uang tabungan. Bagi kelompok masyarakat yang berada pada kelas menengah ke bawah, mereka bahkan sampai merelakan mengurangi pengeluaran kesehatan, pemenuhan gizi, bahkan pendidikan demi mudik. Belum lagi jika kita menghitung ongkos sosial akibat meningkatnya kriminalitas, kecelakaan transportasi yang menelan korban harta dan jiwa, hingga kemacetan luar biasa di berbagai jalur mudik.

Sungguh, kegiatan mudik yang memiliki arti ekonomi cukup strategis ini akan menjadi semakin tidak berarti apa-apa jika tidak dikelola secara terpadu dan menyeluruh. Jika kita kalkulasi jumlah pemudik tahun ini membawa pulang uang senilai Rp 1 juta, maka 16,3 juta pemudik itu secara nasional bernilai triliunan rupiah.

Oleh karena itu, pemerintah daerah hendaknya memiliki inisiatif untuk memanfaatkan potensi dana yang masuk ke daerah. Pemerintah hendaknya sudah mulai berpikir bagaimana agar dana tersebut tidak menguap begitu saja atau berpindah kembali pada pemilik modal besar atau kembali hanya berkonsentrasi di kota-kota besar.

Seperti tulisan saya pada Perspektif minggu lalu, berwirausaha adalah pilihan logis bagi para tenaga kerja yang ingin menjaga kesinambungan ekonominya di daerah. Untuk itu, dibutuhkan pendampingan. Pendampingan tidak harus selalu mengarahkan masyarakat untuk mengakses perbankan atapun lembaga keuangan lain, namun yang terpenting adalah bagaimana membangun inisiatif dan mengimplementasikan secara kreatif dana yang ada untuk diputar ke sektor riil.

Meski dana yang ada hanya memungkinkan masyarakat untuk bermain di skala mikro, namun jika dapat berlaku kolektif, maka roda ekonomi daerah perlahan bergerak. Paling tidak, dana yang ada tidak menganggur (idle) atau disembunyikan di bawah bantal (hoarding) dan tidak tergerus nilainya oleh inflasi. Dana yang ada akan jauh lebih bermanfaat jika diputar pada kegiatan produktif yang hasilnya akan dirasakan langsung oleh masyarakat.

Ya, derap pembangunan di daerah harus dapat menyebarkan manfaat. Sumber daya di daerah jangan sampai terhisap kembali oleh daerah-daerah perkotaan. Agar mudik dapat memberi manfaat yang berkelanjutan, maka pemerintah daerah hendaknya tidak memberikan ikan segar siap bakar, tetapi kail yang setiap saat bisa dipakai mereka untuk mengail lagi. Mudik sebagai kegiatan ritual rutin, bahkan seolah disakralkan, handaknya jangan hanya dilihat saja dari luar dan kita terbiasa dengannya hingga lupa untuk melihat dan menyelesaikan akar masalahnya. Wallahu a’lam wa taqabalallahu minna wa minkum.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)