DAYA SAING KAKAO (Judul Asli: CHOCOLATE FROM JEMBER (2), Radar Jember, Perspektif, 25 September 2010)

Oleh: Khairunnisa Musari

Tulisan bersambung ini masih bicara tentang cokelat. Juga tentu saja tentang kakao. Sekedar flash-back, tulisan ini bermula dari sahabat keluarga yang bernama Om Bagyo yang memberi budget hadiah untuk Naj, anak saya yang kedua. Dengan budget yang ada, saya membelikan Naj bermacam-macam camilan, makanan, dan minuman. Salah satunya yang pasti tidak boleh ketinggalan adalah cokelat.

Ketika mencicipi cokelat, suami menyeletuk tentang bahan baku cokelat impor tersebut yang mungkin saja berasal dari Jember. Singkat cerita, cokelat sesungguhnya juga bisa menjadi ikon kota suwar-suwir ini. Keberadaan Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka)-lah yang menjadikan Jember layak untuk menjadi pelaku utama dalam industri kakao nasional.

Dari sisi pasokan, mengacu pada Statistik Perkebunan Indonesia (2006-2008), kemampuan produksi Jember pada 2006 sebanyak 5.977 ton dengan lahan yang sudah digunakan seluas 5.013 ha. Sedangkan Bondowoso berkemampuan produksi sebanyak 225 ton dengan lahan yang sudah digunakan seluas 60 ha. Di Lumajang, produksinya mencapai 1.614 ton dengan lahan yang sudah digunakan 758 ha. Hal ini mengindikasikan bahwa wilayah Jember dan sekitarnya sesungguhnya sudah memiliki potensi sebagai pemasok kakao.

Namun demikian, sempat terdengar kabar bahwa produksi kakao Jember menunjukkan kecenderungan turun. Padahal, sebelumnya Jember merupakan penopang utama produksi kakao Indonesia yang dikirim ke Amerika dan Eropa. Saat ini, produksi kakao dari perusahaan perkebunan tidak banyak. Mugkin hanya berkisar 5.000 ton. Sisanya berasal dari kakao perkebunan rakyat. Total sekitar 600 ribu ton.

Dengan adanya benih Somatic Embriogenesis (SE) dari Puslitkoka, seharusnya persoalan produksi sudah dapat teratasi. Seiring dengan terus meningkatnya permintaan dalam dan luar negeri, maka pemerintah daerah seyogyanya mengambil peluang untuk meningkatkan kapasitas produksi kakao. Apalagi, sampai saat ini kualitas kakao yang diincar pasar dunia sebagian besar berasal dari Indonesia.

Bagi perusahaan asing, bisnis kakao di Indonesia merupakan lahan subur untuk meraup keuntungan besar. Mereka mendirikan perusahaan di Indonesia lalu membangun jaringan sampai ke pelosok-pelosok desa untuk mengumpulkan kakao petani. Selanjutnya, kakao diekspor dalam bentuk gelondongan dan setengah jadi dengan negara tujuan ekspor adalah jejaring pabrik mereka yang tersebar di berbagai negara Eropa, Amerika, Australia, dan Asia.

Akibat penguasaan perusahaan asing dalam perdagangan kakao di tanah air yang berorientasi ekspor, industri pengolah kakao nasional kerap kekurangan bahan baku. Hal ini berdampak pada berkurangnya utilisasi hingga sekitar 30%. Meski produksi kakao nasional besar, namun sering kali kebutuhan bahan baku 16 industri di dalam negeri tidak bisa dipenuhi. Ini akibat dominasi trader yang 80% merupakan perusahaan asing, yang banyak mengekspor kakao dalam bentuk biji untuk bahan baku industri pengolah di Amerika Serikat (AS), Brasil, Malaysia, dan Singapura.

Saya yakin sekali, daya saing produk kakao kita sangat baik dan mempunyai peluang untuk meningkatkan ekspor. Tetapi, alangkah baiknya jika kita berupaya untuk memberi nilai tambah dari biji kakao. Untuk itu, tentu dibutuhkan secara bertahap pengembangan pasar domestik guna meningkatkan industri hilir kakao dalam negeri.

Untuk pasar domestik, peluang untuk substitusi impor biji kakao masih sulit karena kakao yang diimpor adalah untuk memenuhi keperluan blending yang berkaitan dengan keunikan cita rasa seperti aroma (flavour) dan kandungan lemak (fat content). Karakteristik tersebut sulit untuk disubstitusi oleh kakao Indonesia. Namun demikian, peluang untuk mensubsitusi kakao olahan cukup terbuka sehingga upaya substitusi impor lebih terbuka untuk kakao olahan.

Kakao Indonesia memiliki keunggulan pada tingkat kekerasan (hard butter) dan karakteristik warna (light breaking effect). Untuk kakao olahan, produk yang paling strategis untuk dikembangkan adalah lemak kakao (cocoa butter). Pemilihan lemak kakao sebagai produk yang paling strategis untuk dikembangkan didasarkan pada beberapa pertimbangan seperti aspek lapangan kerja, peluang pasar, dan nilai tambah. Hal ini juga sejalan dengan kualitas bahan baku kakao Indonesia yang diproduksi rakyat yang umumnya tidak difermentasi. Untuk memproduksi lemak kakao, bahan baku tidak harus difermentasi karena untuk produk lemak kakao, citarasa bukan merupakan penentu utama dari mutu, akan tetapi kandungan lemaknya.

Perlu diketahui, biji kakao yang melewati proses butter press dapat menghasilkan mentega cokelat dan bubuk cokelat. Mentega cokelat dan bubuk cokelat inilah yang kemudian akan menjadi bahan baku dalam industri permen cokelat, industri biskuit dan roti, industri minuman, industri es krim, dan sebagian kecil digunakan untuk memenuhi kebutuhan industri kosmetika dan obat-obatan.

Secara keseluruhan, ada 2 catatan penting yang ingin saya garis bawahi dari cerita saya ini. Pertama, visi Indonesia yang ingin menjadi produsen kakao terbesar di dunia pada 2015 harusnya direspon cepat oleh pemerintah daerah, baik itu pemerintah provinsi maupun pemerintah kabupaten. Terlebih bagi Pemkab Jember, kakao hendaknya dikembangkan sebagai salah satu bisnis unggulan dari perusahaan perkebunan daerah. Adanya Puslitkoka seharusnya menjadi faktor unggulan yang membuat kakao Jember mampu eksis di tanah air.

Kedua, selama ini produksi kakao diekspor berupa mentahan tanpa adanya proses pengolahan lebih lanjut yang menghasilkan nilai tambah. Jika kita mau, saya yakin kita mampu mencuri kesempatan tersebut. Ah, masak kita punya Puslitkoka dan Universitas Jember tak mampu bersinergi untuk melakukannya? Ya, mungkin peran Pemkab-lah yang kita harapkan untuk menginisiasi semuanya. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)