Pasir Besiku Sayang, Pasir Besiku Malang (Radar Jember, Perspektif, 3 Juli 2010)



Oleh: Khairunnisa Musari

Sepekan lalu, saya berdiskusi dengan seorang advokat di Surabaya yang kebetulan juga menjabat sebagai anggota Dewan Pakar Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur. Kami bertukar pikiran mengenai rencana investasi penambangan pasir besi di Lumajang.

Secara singkat, saya bercerita tentang kronologi rencana investasi tersebut. Berawal dari PT Indo Modem Mining Sejahtera (IMMS) bersama Hongkong Hani Group (HHG), perusahaan investasi dari Hongkong, yang akan menanamkan modalnya sekitar Rp 2 triliun untuk menggarap potensi pasir besi dengan luas lahan 8 ribu hektar di Lumajang.

Untuk membuktikan keseriusannya, IMMS memberikan jaminan uang sebesar USD 100.000 atau sekitar Rp 1 miliar kepada Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Lumajang. Proses eksplorasi direncanakan dilakukan selama tahun 2009 sampai dengan 2010. Sedangkan proses eksploitasinya diharapkan terlaksana pada 2011. Untuk tahap awal, lahan yang akan dieksploitasi sebesar 2 ribu hektar.

Dalam perkembangan terakhir, IMMS diberitakan tengah melakukan studi kelayakan tambang pasir besi sembari menyusun analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal). Hingga pertengahan Juni 2010, IMMS masih dalam proses revisi dokumen Amdal.

Dari aspek ekonomi, saya menyampaikan bahwa keberadaan investor asal China ini besar kemungkinannya berkaitan dengan kelangkaan bahan baku pada industri besi-baja dunia. Kebutuhan China akan bahan baku tersebut memang sangat tinggi. China sedang giat-giatnya membangun infrastruktur. Pasir besi sebagai salah satu bahan baku besi-baja jelas menjadi incaran.

Yang terjadi sekarang ini, pabrik besi-baja kebanyakan hanya bisa mendaur-ulang besi tua. China pun berebut bahan baku tersebut karena China membangun banyak pabrik besi-baja di negerinya dengan akselerasi pembangunan yang lebih cepat daripada Indonesia. Banyak investor asal China yang sekarang ini memburu pasir besi ke Indonesia, termasuk ke Jawa Timur.

Tidak bisa dipungkiri, potensi pasir besi di Jawa Timur memang tinggi. Sayang, hingga kini belum tersentuh dan dikelola secara baik dan benar. Pemerintah masih kurang responsif terhadap salah satu bahan baku besi-baja yang kini mulai diburu pengusaha besi-baja dunia.

Secara yuridis, menurut anggota Dewan Pakar Walhi yang juga mantan Anggota Tim Investigasi Kasus Lumpur Lapindo tersebut, persoalan serta kegiatan pertambangan mineral, termasuk pasir besi, diatur dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) yang berlaku sejak tanggal 12 Januari 2009. Terkait dengan izin eksplorasi dan eksploitasi pasir besi di Lumajang yang diberikan Bupati Lumajang kepada IMMS juga terikat dengan UU Minerba.

Menyimak berbagai pemberitaan di media massa, dia melihat masyarakat di sekitar wilayah pertambangan pasir besi yang diizinkan untuk IMMS tersebut ternyata banyak yang tidak mengetahuinya. Bagi masyarakat yang mengetahui, ternyata tidak menyetujui rencana pertambangan tersebut.

Menurutnya, hal ini mengindikasikan bahwa izin usaha pertambangan (IUP) yang diberikan kepada IMMS mempunyai cacat hukum karena tidak memenuhi syarat UU Minerba. Dijelaskannya, hal yang penting berkaitan dengan prinsip kedaulatan rakyat serta hak atas informasi maka pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya berkewajiban mengumumkan rencana kegiatan usaha pertambangan di wilayah izin usaha pertambangan (WIUP) serta pemberian IUP eksplorasi dan operasi produksi kepada masyarakat secara terbuka.

Berikutnya, dia mempertanyakan apakah IUP yang diberikan Pemkab Lumajang kepada IMMS tersebut memang benar-benar berada di WIUP yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat yang telah berkoordinasi dengan Pemkab Lumajang. Hal ini erat kaitannya dengan prinsip Hukum Tata Ruang. Oleh karena itu, Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) IUP yang diberikan kepada IMMS harus nyata-nyata eksplisit menyebutkan sebagai wilayah pertambangan.

Dijelaskannya, penyusunan RTRW daerah dengan instrumen Perda memang harus mendapatkan persetujuan substansi dari pemerintah pusat (Menteri Pekerjaan Umum). Tujuannya agar RTRW di daerah memiliki muatan materi teknis sesuai dengan RTRW nasional, kebijakan nasional, dan untuk menjamin kesesuaiannya dengan peraturan per-UU dan pedoman di bidang penataan ruang.

Dihimbaunya, penetapan suatu wilayah menjadi WIUP dalam RTRW, baik secara nasional, regional, hingga ke tingkat wilayah kabupaten/kota, seharusnya tidak luput dari partisipasi rakyat untuk menentukan dan mengetahuinya. Hal itu didasarkan pada prinsip atau asas demokrasi partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kybernologi (ilmu pemerintahan modern menggunakan paradigma baru), rakyat yang diurus dipandang sebagai customer yang harus dilayani dengan prinsip-prinsip transparan dan akuntabel.

Meskipun Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan memberikan ketentuan kewajiban perubahan atau penyesuaian atas izin yang sudah dikeluarkan pemerintah, contohnya surat izin usaha pertambangan daerah (SIPD), namun tetap saja SIPD yang diubah menjadi IUP harus berada di wilayah pertambangan sesuai dengan RTRW yang telah ditetapkan.

Tidak bisa dipungkiri, Pasal 15 UU Minerba memang menentukan bahwa pemerintah pusat dapat melimpahkan wewenang penetapan wilayah usaha pertambangan (WUP) kepada pemerintah provinsi (pemprov). Tapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah Pemprov Jawa Timur telah diberikan pelimpahan wewenang tersebut. Apabila telah diberikan wewenang, apakah Pemprov Jawa Timur telah menetapkan WUP yang telah dikeluarkan IUP di wilayah yang akan ditambang pasir besinya oleh IMMS tersebut.

Mmm... saya bukan orang hukum dan tidak paham hukum. Namun simpulan sementara yang disampaikan oleh praktisi hukum ini patut kita cermati bersama, yaitu pemberian IUP pasir besi di Lumajang oleh Pemkab berpotensi melanggar kaidah-kaidah hukum pertambangan dan hukum tata ruang serta asas transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Ya, itu pendapat dari sisi hukum. Jujur saja, saya lebih tertarik dengan diskusi yang terkait dengan tinjauan ekologis. Saya sepakat, pelaksanaan pembangunan secara nyata kerap mengabaikan prinsip tersebut. Sudah banyak fakta membuktikan, negara ini banyak menghadapi persoalan lingkungan yang membutuhkan biaya sangat besar secara terus-menerus. Belum lagi kerugian immaterial yang diderita para korban perusakan ekologi yang nilai ekonominya tidak terhingga. Seluruh kerugian ekologis ini tidak akan bisa ditutupi dengan pendapatan royalti yang diterima pemerintah karena menyangkut keselamatan masyarakat, termasuk masa depan mereka. Wallahu a’lam bish showab.

Komentar

  1. Seumpama Lumajang dipimpin oleh pemikiran yg mengedepankan nasib masyarakat dan masa depan bersama, alangkah baiknya. Johan Galtung mengutip pepatah, kurang-lebih,: "Manusia hidup di dahan dengan cara menggergaji dahan itu sendiri."

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)