KOPERASI, ANTARA ASA DAN REALITA (Radar Jember, Perspektif, 10 Juli 2010)
Oleh: Khairunnisa Musari
Setelah Indonesia merdeka, pada 12 Juli 1947, pergerakan koperasi di Indonesia mengadakan konggres pertama di Tasikmalaya. Momen itu kemudian oleh pemerintah ditetapkan sebagai Hari Koperasi Indonesia yang akan diperingati pada hari Senin esok.
Bicara tentang koperasi di Indonesia, rasanya respon kebanyakan orang adalah tanpa ekspresi. Setidaknya yang saya ketahui pasti di perkuliahan, ketika koperasi disebut sebagai soko guru atau pilar utama perekonomian bangsa Indonesia, maka respon yang muncul biasanya adalah manggut-manggut dan tersenyum simpul. Bahkan, pernah seorang pejabat di otoritas keuangan yang berkomentar, “Hari begini masih ngomong koperasi...”.
Tidak bisa dipungkiri, respon tak acuh sebagian orang terhadap keberadaan koperasi di Indonesia tidak lepas dari perkembangannya yang tumbuh merambat. Padahal, koperasi di Indonesia lahir dan tumbuh alamiah sudah sejak zaman penjajahan. Bahkan setelah Indonesia merdeka, koperasi diperbaharui dan diberi kedudukan yang sangat tinggi dalam konstitusi.
Bagi seorang Sri-Edi Swasono, koperasi harus menjadi sokoguru perekonomian. Ini konsekuensi logis dari ditetapkannya demokrasi ekonomi sebagai faham perekonomian nasional sejak mulai diberlakukannya UUD 1945. Bagi mantu tertua Bung Hatta, Bapak Koperasi Indonesia, tidak majunya koperasi di Indonesia merupakan akibat dari orientasi dan kebijakan ekonomi kaum teknokrat ekonomi yang mengutamakan pertumbuhan ekonomi belaka.
Memang, menyimak sejarah kelahiran dan berkembangnya koperasi di negara maju dan negara berkembang sangatlah diametral. Di negara maju, koperasi lahir sebagai gerakan untuk melawan ketidakadilan pasar. Dengan kekuatannya, koperasi memiliki posisi tawar dan kedudukan penting dalam konstelasi kebijakan ekonomi, termasuk dalam perundingan internasional.
Di negara berkembang, koperasi dihadirkan dalam kerangka membangun institusi yang dapat menjadi mitra pemerintah dalam menggerakkan pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.
Sayang, dalam konteks Indonesia, koperasi kerap dipandang sebelah mata. Koperasi kerap diidentikkan sebagai badan usaha yang dikelola tidak secara profesional, skalanya kecil, dan kerap merugi. Itu pula sebabnya, lembaga keuangan seperti perbankan enggan berhubungan dengan koperasi. Hal ini tidak lepas dari wacana bahwa perbankan selalu mengucurkan kreditnya dengan sangat hati-hati, namun sebaliknya, koperasi cenderung mengabaikan risiko.
Di Kabupaten Jember, meski koperasi setiap tahun mengalami pertumbuhan cukup pesat, namun kita tidak bisa menutup mata masih banyaknya koperasi yang tidak aktif di lapangan. Pernah diberitakan tentang sejumlah koperasi yang dinyatakan tidak sehat dan terancam gulung tikar. Ada pula yang menyalahgunakan pendirian koperasi sebagai kedok bisnis pribadi untuk memperoleh bantuan kredit.
Sepanjang 2009, ada 581 dari 1.372 koperasi di Kabupaten Jember yang tidak aktif. Sebagian ada yang karena ditinggalkan oleh pengurusnya, pengurusnya yang tidak jelas atau malah ada lembaga koperasi yang keberadaannya yang menjadi tidak jelas. Tentu penting dalam hal ini bagi Dinas Koperasi dan UMKM untuk melakukan pembinaan terhadap koperasi yang masih aktif. Koperasi diharapkan tumbuh dan berjalan sesuai dengan fungsinya dan tidak hanya sekedar berdiri untuk mendapatkan legalitas dan fasilitas dari pemerintah dan kemudian mati.
Ya, Pemkab Jember seyogyanya memberi perhatian lebih. Koperasi sesungguhnya adalah salah satu solusi untuk menanggulangi kemiskinan. Simak saja, perputaran uang dari semua sektor usaha koperasi pada 2008 lalu di Jember yang hampir menyentuh Rp 60 miliar dan Sisa Hasil Usaha (SHU) per tahunnya mencapai Rp 18 miliar.
Sebagai inspirator, mungkin kita bisa melihat inovasi Pemda Sumbawa Barat yang mengembangkan konsep Koperasi Berbasis Rukun Tetangga (KBRT). Pemda setempat pada April lalu me-launching 720 Koperasi RT seiring dengan dimulainya peluncuran program Dana Stimulus Ekonomi (DSE) bagi Koperasi dan UMKM. Yang menarik dari program ini adalah pemberian dana tanpa adanya agunan kepada bank.
Inspirator lainnya, mungkin kita bisa melihat Koperasi Usaha Tani Ternak (KUTT) Suka Makmur di Kabupaten Pasuruan yang beranggotakan 3.200 peternak sapi perah. Yang menonjol dari koperasi ini adalah pengelolaannya yang profesional sehingga risiko usahanya dapat dikendalikan. Tak mengherankan bila banyak lembaga keuangan ingin menjalin kerja sama. Dalam operasinya, koperasi ini mempekerjakan 149 karyawan dan didukung armada 10 truk. Koperasi ini memfasilitasi para anggotanya dalam pemeriksaan hewan ternak, kawin suntik, penyediaan bibit dan pakan ternak. Selain itu, koperasi ini juga mampu melaksanakan tanggung jawab sosialnya dengan memberikan beasiswa bagi putra-putri para anggota yang berprestasi, membangun sarana ibadah, mengadakan khitanan massal atau perayaan keagamaan dan kegiatan nasional.
Ke depan, tentu saja sangat dibutuhkan inovasi bagi para pegiat koperasi untuk membumikan lembaga ini. Rencana Kementerian Koperasi dan UKM untuk merintis terbentuknya koperasi agro-eco-tourism patut dicermati. Koperasi ini dimaksudkan untuk mengelola desa-desa wisata di beberapa wilayah di Indonesia. Koperasi model ini konon sudah diterapkan di Jepang dan terbukti mampu mendatangkan lebih banyak wisatawan ke sebuah wilayah. Nah, bukannya kita memiliki kampung batik, desa bunga, kebun kopi, dan sentra-sentra yang bisa kita jadikan unggulan. Hmm... lain waktu mungkin kita harus membahasnya lebih dalam. Sementara ini, saya mungkin hanya bisa mengucapkan Selamat Hari Koperasi Indonesia. Merdeka!
Komentar
Posting Komentar