SEPAK BOLA VS KEBUTUHAN DAPUR (Radar Jember, Perspektif, 19 Juni 2010)


Oleh: Khairunnisa Musari

Buat bapak-bapak yang lagi demam Piala Dunia, saya beritahu ya. Sudah sepekan lebih, para ibu diliputi gundah karena harga sejumlah kebutuhan dapur naik cukup drastis. Setidaknya di Lumajang, cabe kecil mencapai Rp 20.000 per kilo. Satu buah timun ukuran sedang seharga Rp 600. Tiga buah terong seharga Rp 2.000. Belum lagi sayuran lainnya yang ikut merangkak naik. Ditambah lagi beras per kilo yang menyentuh Rp 6.000. Di Jember, kurang lebih demikian pula. Ibu-ibu jadi pusing, Pak!!!

Saya juga bertanya-tanya, kira-kira apa ya yang menyebabkan harga bahan pangan naik? Padahal, bulan puasa masih 2 bulan lagi. Dalam waktu dekat ini, tampaknya juga tidak ada momen hari raya keagamaan. Dugaan kuat tampaknya mengarah pada sejumlah kegagalan hasil panen. Ya, iklim sekarang ini unpredictable. Dulu, siklus musim kemarau dan hujan dari tahun ke tahun selalu dalam rentang waktu yang hampir sama. Tapi kini, tampaknya terjadi pergeseran dan tidak bisa dipastikan bahwa hujan terus-menerus tidak akan terjadi di musim kemarau. Rasanya inilah salah satu penyebab utama kegagalan panen bagi petani belakangan ini.

Meski demikian, rasanya tak layak juga jika kita hanya bisa menyalahkan perubahan iklim sebagai penyebab kegagalan panen. Hal lain yang juga krusial adalah ketersediaan pupuk. Nah, bicara tentang pupuk, saya mau cerita sedikit tentang negara Malawi.

Malawi adalah negara kecil dan miskin di selatan Afrika. Malawi adalah contoh sempurna tentang derita sektor pertanian. Tanah gersang. Kurang hujan. Penduduknya padat. Tahun 2005, kekeringan melanda Malawi. Sepertiga lebih dari penduduknya yang berjumlah 13 juta jiwa perlu bantuan pangan untuk bertahan hidup. Ya, Malawi mengalami bencana kelaparan besar-besaran.

Ketika Bingu wa Mutharika terpilih menjadi presiden, ia memenuhi janji kampanyenya untuk menyelamatkan sektor pertanian dan melindungi petani. Setelah bertahun-tahun dicekoki resep program pertanian ala lembaga keuangan dunia agar pemerintah mereformasi pasar dan menghilangkan intervensi pemerintah pada sektor pertanian, Mutharika memberanikan diri untuk mengabaikannya. Ia mengeluarkan kebijakan pupuk dan bibit gratis. Ia aktif menyokong para petani kecil yang tidak punya uang untuk melakukan investasi. Kompensasi yang diminta Mutharika tak berat. Ia meminta penduduk desa untuk menyumbang tiga karung jagung setiap kali panen untuk membantu program subsidi sekolah.

Demikianlah, ketika kebijakan itu sudah berjalan, musim kekeringan pun perlahan berlalu. Dalam waktu 2 tahun, cerita kelaparan dan berbagai keterpurukan lainnya di Malawi berbuah indah. Yang terjadi selanjutnya adalah apa yang disebut Keajaiban Malawi. Sektor pertanian yang semula defisit 44% menjadi surplus hingga 18%. Malawi kini menjadi pemasok bahan pangan di Benua Afrika!!!

Pesan penting yang ingin saya sampaikan dari cerita Malawi tersebut adalah pentingnya investasi di bidang pertanian untuk mengurangi kemiskinan, kelaparan, dan berswasembada pangan. Kebangkitan sektor pertanian di Malawi bukan sekedar faktor curah hujan dan kealamiahan lainnya yang kembali normal sebagaimana yang diklaim lembaga keuangan dunia. Fakta empirik menunjukkan bahwa kebijakan subsidi pupuk dan bibit adalah jawaban utama dari keberhasilan di sana

Coba dech, kita merenung dan berkaca. Setidaknya di Lumajang dan Jember, saya mengetahui pasti harga pupuk saat ini melangit. Entahlah, apa lagi yang menjadi penyebabnya. Yang jelas, ini bukan yang pertama dan mungkin bukan yang terakhir. Persoalan tersebut menjadi rutinitas tahunan dan dapat dipastikan akan menambah beban biaya produksi petani. Yang menyedihkan, ketika harga produk pertanian menjadi mahal ternyata tidak berkorelasi positif dengan pendapatan petani.

Contoh paling mudah adalah petani padi. Ketika harga beras melonjak, ternyata hal ini tidak diiringi pula dengan harga gabah yang memadai. Padahal, biaya produksi sudah sangat besar akibat mahalnya harga pupuk. Ditambah lagi dengan kondisi cuaca yang tak menentu, maka makin dalam pulalah jatuhnya harga gabah akibat kualitas yang rendah.

Hal senada juga terjadi pada sayur-mayur. Meski wilayah kita mampu memproduksi bawang merah, kubis, kembang kol, sawi, kacang panjang, cabe besar, cabe rawit, tomat, terung, buncis, ketimun, labu siam, kangkung, bayam, melon, semangka, dan lainnya, tapi toh tak menjamin tidak adanya kelangkaan dan kenaikan harga. Ini artinya, produksi kita masih belum mampu memenuhi permintaan pasar lokal. Atau bisa juga berarti, produksi kita lebih banyak dilempar ke luar daerah sehingga ketersediaannya di daerah sendiri menjadi langka.

Jadi, kembali lagi pada bapak-bapak yang suka ngelembur nonton Piala Dunia, terutama yang biasa merokok. Mohon Pak, rokoknya dikurangi. Jangan sampai jatah uang belanja kebutuhan dapur ibu bulan ini dikurangi buat membeli rokok untuk ngelembur nonton bola. Pemenuhan gizi untuk anak harus menjadi prioritas.

Satu lagi Pak, terutama yang tinggal di Jember yang mau ada perhelatan Pemilukada. Tolong ya Pak, bantu memilih calon bupati yang peduli pada sektor pertanian. Terutama, yang punya terobosan program untuk menolong petani dan mau menyelesaikan persoalan klasik yang dihadapi petani. Ya, syukur-syukur kalau ada yang punya visi seperti Malawi. Terima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)