Islamic Bank (iB) (Radar Jember, Perspektif, 26 Juni 2010)
Oleh: Khairunnisa Musari
Di luar negeri, jika kita bertanya tentang bank syariah, yakinlah kebanyakan dari mereka tidak akan memahami apa yang kita tanyakan. Ya, bank syariah yang kita sebut demikian di Indonesia lebih dikenal sebagai bank Islam atau Islamic Bank (iB) di luar negeri. Secara etimologi, harus diakui bahwa istilah yang pas memang adalah iB dan bukan bank syariah karena syariah berarti ‘hukum’.
Ngomong-ngomong tentang iB, sekitar 2 bulan lalu, seorang researcher dari Departemen R&D Bank Syariah Mandiri (BSM) di pusat mengirimkan pesan via Wall ke Facebook (FB) milik saya. Dituliskannya, “Insya Allah tahun ini BSM akan mulai beroperasi di Lumajang, Bondowoso, dan Situbondo menyusul Jember dan Banyuwangi yang sudah lebih dahulu beroperasi”.
Semalam, saya menanyakan kembali perkembangan rencana operasi BSM ini. Jawaban yang masuk mengatakan, “Insya Allah segera. Saat ini sedang persiapan sarana dan prasarana serta pengurusan perijinan”.
Ya, kabar ini tentu menjadi kabar gembira. Paling tidak, jumlah iB di daerah akan bertambah. Tak melulu berkonsentrasi di kota besar. Dengan semakin banyaknya iB yang beroperasi di daerah, maka masyarakat yang berkeinginan untuk menjadi bagian dari iB dapat mengakses dan diberi pilihan yang beragam.
Mengacu pada data Kantor Bank Indonesia (KBI) Jember 2008, ada 3 iB yang sudah beroperasi di wilayah Jember. Yaitu, Bank Muamalat Indonesia (BMI), BSM, dan Bank Negara Indonesia (BNI) Syariah. Sementara itu, di wilayah Bondowoso, Situbondo dan Banyuwangi masih belum ada. BSM di Banyuwangi baru beroperasi pada 2009. Di Lumajang, sepengetahuan saya baru ada BNI Syariah.
Bicara tentang iB, memang tidak bisa lepas dari nilai-nilai keIslaman. Namun demikian, iB bukanlah bank eksklusif yang memperuntukkan dirinya hanya untuk kaum muslim. Saya beritahu ya, di Malaysia, sekitar 65% nasabah iB adalah kaum nonmuslim yang notabene kebanyakan adalah kelompok etnis Tionghoa. Di Indonesia, hal serupa juga terjadi. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, dominasi kaum nonmuslim, utamanya dari etnis Tionghoa juga sangat besar.
Ke depan, saya optimis tidak hanya BSM, BMI, dan BNI Syariah yang akan berekspansi ke daerah. Nantinya, akan bermunculan pula Bank Mega Syariah, BCA Syariah, dan yang lainnya. Jika hal ini terjadi, lalu apa artinya?
Kehadiran iB di daerah akan menjadi tidak berarti apa-apa jika pasar yang akan digarap tak berbeda jauh dengan bank umum lainnya. Sebagaimana diketahui, kebanyakan bank umum saling berebut kue pasar yang sama. Segmen pasar potensial tertentu justru malah kerap dihindari, bahkan tak dilirik sekalipun. Alasannya, karena selain profil resiko yang besar, bankable dan feasible membuat bank tak bisa berbuat banyak untuk menyalurkan dana.
Jelas, untuk dapat melayani masyarakat luas, maka iB dituntut untuk melakukan inovasi dan berani tampil beda daripada bank umum. Inovasi produk sangat mendesak untuk dilakukan karena terbatasnya produk iB. Produk iB belum mampu menjangkau hingga ke daerah untuk menghilangkan ijon. Padahal, dengan sejumlah akad yang dimilikinya, seperti salam atau istishna, iB seharusnya dapat menjadi sarana untuk memberantas kegiatan lintah darat yang mencekik rakyat pedesaan.
Ya, terkait dengan akad-akad mana yang bisa dipergunakan, iB memang sangat bergantung pada dukungan fatwa dari Dewan Syariah Nasional (DSN). Pasalnya, fatwa menjadi persyaratan untuk produk syariah agar landasan penerbitannya benar-benar sesuai prinsip syariah.
Namun demikian, di tengah booming-nya iB, harus diakui pula masih terdapatnya sejumlah kelemahan. Tidak jarang ditemukan layanan yang kerap menimbulkan komplain atau pertanyaan dari nasabah. Jangan heran jika menemukan front liners yang tak mampu memberi penjelasan yang baik dan benar tentang keberadaan iB dan produk-produknya. Pula, jangan heran ketika nasabah atau calon debitur mengerenyitkan kening karena tak puas dengan penjelasan mengapa perbandingan antara biaya pembiayaan dari iB tidak berbeda jauh dengan biaya bunga kredit di bank umum.
Ya, iB masih dihadapkan dengan nyata persoalan sumber daya manusia (SDM). Bank berbasis syariah ini di Indonesia baru lahir 1992. Jangan bandingkan dengan bank umum yang sudah muncul sejak puluhan tahun lalu.
Ke depan, setidaknya ada 2 tantangan utama bagi iB untuk bisa membuat keberadaannya menjadi berarti di masyarakat. Pertama, berbeda dengan bank umum, iB memiliki 2 fungsi penting yang setara. Yaitu, sebagai entitas bisnis dan entitas sosial. iB di daerah harus mampu menampilkan kedua fungsi ini sejalan dan tidak berat sebelah. Begitu banyak potensi daerah yang belum tersentuh oleh akses perbankan. Sebut saja, sektor pertanian dan perkebunan yang kerap dipandang sebelah mata, padahal merupakan ujung tombak perekonomian regional.
Kedua, iB dalam menyalurkan pembiayaan mikro hendaknya dapat menjalin program kemitraan dengan bank perkreditan rakyat syariah (BPRS) atau baitul mal wat tamwil (BMT) atau lembaga keuangan mikro lainnya. Jangan sampai iB di daerah berebut dan mematikan pangsa pasar lembaga keuangan lainnya. Filosofi dari ekonomi dan keuangan Islam adalah membangun kerjasama, bukan persaingan.
Ketiga, wilayah tapal kuda yang mayoritas adalah kaum muslim, hendaknya menjadi peluang bagi iB untuk memperluas pasar. iB di daerah merupakan front liners bagi iB nasional untuk mengedukasi dan mengsosialisasikan apa dan bagaimana lembaga syariah. Label syariah hendaknya tidak menjadi ajang komersialisasi, tetapi justru sebagai sarana untuk membangun perekonomian yang berbasis pada sektor riil. Wallahu a'lam bish showab.
sudah ada info kapan BSM di lumajang Beroperasi?
BalasHapusAkhir September lalu, saya melihat kantor BSM sedang berbenah di Jl. Pang. Sudirman. Saya tanya pada satpamnya, dikatakan awal Oktober BSM akan beroperasi. Sayangnya, sampai saat ini saya belum smpat melihat kantor tersebut. Mestinya ya sudah beroperasi menyusul BMI yang dah buka awal September...
BalasHapus