DISTORSI SUKUK NEGARA (Bisnis Indonesia, Opini, 12 Juni 2010)
Surat berharga negara masih menjadi sumber pembiayaan APBN
Sukuk negara semula dimaksudkan untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan. Regulasi sudah menyiratkan untuk membiayai proyek pembangunan. Sayang, agresif pemerintah dalam menerbitkan sukuk negara belakangan ini belum mampu diimbangi dengan pemanfaatan yang optimal. Jika himpunan dana sukuk negara tak berwujud konkret, yang terjadi adalah sebuah distorsi bagi instrumen ini.
Sukuk saat ini menjadi fenomena global. Sukuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem keuangan dunia. Sebagai sebuah instrumen pembiayaan pembangunan berbasis syariah, sukuk secara universal diterima lintas agama, budaya, dan bangsa. Satu-persatu negara muslim dan nonmuslim kini mengadopsi dan turut menerbitkannya.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia termasuk cukup terlambat menerapkan sukuk. Regulasi sukuk baru disahkan pada 2008. Hingga akhir 2009, dana sukuk yang dihimpun Pemerintah Indonesia baru sekitar Rp20 triliun.
Agresif pemerintah mulai terlihat pada 2010. Sepanjang triwulan I/2010, pemerintah sedikitnya telah melakukan empat kali penawaran sukuk dengan dana terhimpun hampir menyentuh Rp13 triliun. Memasuki triwulan II, pada April, pemerintah melakukan dua kali penawaran dengan dana terhimpun Rp1,125 triliun. Pada Mei, dengan dua kali penawaran, dana yang terhimpun Rp5 triliun.
Harus diakui, salah satu konsekuensi nyata dari pembayaran imbalan atas sukuk negara yang diterbitkan pemerintah adalah tambahan beban pada sisi pengeluaran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ditambah lagi dengan kewajiban atas berbagai pengeluaran rutin lainnya, keseluruhan ini dapat berdampak pada reduksitas kemampuan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek dan program pembangunan menjadi berkurang.
Sukuk negara sebenarnya menawarkan jalan keluar atas persoalan ini. Regulasi pun menyiratkan hal demikian. Namun pada tataran implementasi, aplikasi yang ada belum mampu mencapai ranah tersebut. Kondisi inilah yang jika tak diperbaiki dapat mendistorsi keberadaan sukuk negara.
Instrumen investasi
Sejak 2005, surat berharga negara (SBN) menjadi instrumen utama pembiayaan APBN. Sumber pembiayaan nonutang pada masa awal pascakrisis ekonomi memberi kontribusi besar dalam membiayai defisit. Namun dalam perkembangannya, terjadi pergeseran yang tajam dari sumber pembiayaan nonutang menjadi sumber pembiayaan utang. Adapun sumber utama pembiayaan utang yang dulu bersumber dari pinjaman dalam negeri dan luar negeri, kini bersumber dari penerbitan SBN.
Sejauh ini, ada dua jenis instrumen yang digunakan pemerintah dalam sumber pembiayaan utang yang berasal dari SBN. Melalui UU Nomor 24 Tahun 2002, pemerintah diberi wewenang untuk menerbitkan surat utang negara (SUN) sebagai sumber pembiayaan dalam mengatasi defisit anggaran atau menutup kekurangan kas jangka pendek atau mengelola portofolio utang negara.
Berikutnya, untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan defisit anggaran dengan meningkatkan basis investor, maka Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2008 diberi landasan hukum untuk melakukan transaksi pengadaan pembiayaan dan pengelolaan portofolio berbasis syariah melalui penerbitan sukuk.
Berbeda dengan SUN, tujuan utama penerbitan sukuk selain untuk pembiayaan APBN, juga untuk pembiayaan kegiatan proyek pemerintah, terutama pembangunan infrastruktur. Hadirnya regulasi SUN dan sukuk menjadi standing appropriation bagi penerbitan instrumen utang Indonesia dalam bentuk SBN.
Untuk 2010, pemerintah masih akan menjadikan SBN sebagai sumber pembiayaan APBN. Pemerintah akan menaikkan target indikatif untuk mencapai penerimaan negara dari penerbitan SBN sebesar Rp176,86 triliun dalam Rancangan APBN Perubahan 2010 dari sebelumnya Rp175,061 triliun dalam APBN 2010. Untuk memenuhi penambahan biaya tersebut, pemerintah di antaranya akan meningkatkan penerbitan SBN sebesar Rp 1,849 triliun.
Tidak bisa dipungkiri, penerbitan sukuk sebagai salah satu bentuk SBN dinilai efektif untuk membantu mengurangi defisit APBN. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diwaspadai dalam implementasinya yang berpotensi mendistorsi.
Pertama, sukuk negara seyogianya menjadi instrumen transisi yang ke depan akan menjadikan Indonesia lebih mandiri dan bebas utang. Sejumlah studi empirik menunjukkan bahwa utang berbunga telah menyandera APBN Indonesia. Kelak diharapkan Indonesia mampu melahirkan kebijakan zero deficit. Dalam konteks inilah, sukuk dapat menjadi jembatannya.
Kedua, meski sukuk secara substansi tampak mirip dengan surat utang, sesungguhnya sukuk adalah surat berharga investasi. Pemahaman pasar yang keliru telah menempatkan sukuk bersanding dengan SUN. Ditambah lagi pemerintah yang mengamininya dengan memasukkan instrumen ini pada kelompok sumber pembiayaan utang. Padahal, pada sukuk, investor berserikat dalam laba dan rugi dari aset. Adapun pada SUN, yang ada adalah kewajiban utang atas pihak yang menerima utang tanpa ada kaitannya dengan aset tertentu ataupun pemanfaatannya.
Ketiga, aplikasi kebanyakan sukuk negara di Indonesia cenderung diarahkan untuk menghasilkan uang dan bukan barang. Padahal, agar memberi manfaat yang lebih besar bagi sektor riil, dibutuhkan pemanfaatan yang konkret berupa pembangunan fisik.
Keempat, amanat UU memberi ruang toleransi yang besar terhadap pemanfaatan sukuk untuk menambal defisit anggaran. Padahal, esensi dari sukuk bukan untuk menambal keuangan negara, melainkan untuk membiayai proyek pembangunan di mana pembangunan infrastruktur adalah salah satunya.
Kelima, transmisi sukuk negara terhadap sektor riil selama ini belum terlihat keberadaannya. Underlying asset yang harusnya dapat berproduksi menghasilkan income bagi pemerintah, masih belum terealisasi. Sejatinya, underlying asset harus diberdayakan dan bukan sekadar menjadi agunan yang tak bermakna.
Sukuk negara semula dimaksudkan untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan. Regulasi sudah menyiratkan untuk membiayai proyek pembangunan. Sayang, agresif pemerintah dalam menerbitkan sukuk negara belakangan ini belum mampu diimbangi dengan pemanfaatan yang optimal. Jika himpunan dana sukuk negara tak berwujud konkret, yang terjadi adalah sebuah distorsi bagi instrumen ini.
Sukuk saat ini menjadi fenomena global. Sukuk menjadi bagian yang tak terpisahkan dari sistem keuangan dunia. Sebagai sebuah instrumen pembiayaan pembangunan berbasis syariah, sukuk secara universal diterima lintas agama, budaya, dan bangsa. Satu-persatu negara muslim dan nonmuslim kini mengadopsi dan turut menerbitkannya.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar di dunia termasuk cukup terlambat menerapkan sukuk. Regulasi sukuk baru disahkan pada 2008. Hingga akhir 2009, dana sukuk yang dihimpun Pemerintah Indonesia baru sekitar Rp20 triliun.
Agresif pemerintah mulai terlihat pada 2010. Sepanjang triwulan I/2010, pemerintah sedikitnya telah melakukan empat kali penawaran sukuk dengan dana terhimpun hampir menyentuh Rp13 triliun. Memasuki triwulan II, pada April, pemerintah melakukan dua kali penawaran dengan dana terhimpun Rp1,125 triliun. Pada Mei, dengan dua kali penawaran, dana yang terhimpun Rp5 triliun.
Harus diakui, salah satu konsekuensi nyata dari pembayaran imbalan atas sukuk negara yang diterbitkan pemerintah adalah tambahan beban pada sisi pengeluaran anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Ditambah lagi dengan kewajiban atas berbagai pengeluaran rutin lainnya, keseluruhan ini dapat berdampak pada reduksitas kemampuan pemerintah untuk melakukan stimulus fiskal bagi pertumbuhan ekonomi. Pasalnya, kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek dan program pembangunan menjadi berkurang.
Sukuk negara sebenarnya menawarkan jalan keluar atas persoalan ini. Regulasi pun menyiratkan hal demikian. Namun pada tataran implementasi, aplikasi yang ada belum mampu mencapai ranah tersebut. Kondisi inilah yang jika tak diperbaiki dapat mendistorsi keberadaan sukuk negara.
Instrumen investasi
Sejak 2005, surat berharga negara (SBN) menjadi instrumen utama pembiayaan APBN. Sumber pembiayaan nonutang pada masa awal pascakrisis ekonomi memberi kontribusi besar dalam membiayai defisit. Namun dalam perkembangannya, terjadi pergeseran yang tajam dari sumber pembiayaan nonutang menjadi sumber pembiayaan utang. Adapun sumber utama pembiayaan utang yang dulu bersumber dari pinjaman dalam negeri dan luar negeri, kini bersumber dari penerbitan SBN.
Sejauh ini, ada dua jenis instrumen yang digunakan pemerintah dalam sumber pembiayaan utang yang berasal dari SBN. Melalui UU Nomor 24 Tahun 2002, pemerintah diberi wewenang untuk menerbitkan surat utang negara (SUN) sebagai sumber pembiayaan dalam mengatasi defisit anggaran atau menutup kekurangan kas jangka pendek atau mengelola portofolio utang negara.
Berikutnya, untuk mendiversifikasi instrumen pembiayaan defisit anggaran dengan meningkatkan basis investor, maka Pemerintah Indonesia melalui UU Nomor 19 Tahun 2008 diberi landasan hukum untuk melakukan transaksi pengadaan pembiayaan dan pengelolaan portofolio berbasis syariah melalui penerbitan sukuk.
Berbeda dengan SUN, tujuan utama penerbitan sukuk selain untuk pembiayaan APBN, juga untuk pembiayaan kegiatan proyek pemerintah, terutama pembangunan infrastruktur. Hadirnya regulasi SUN dan sukuk menjadi standing appropriation bagi penerbitan instrumen utang Indonesia dalam bentuk SBN.
Untuk 2010, pemerintah masih akan menjadikan SBN sebagai sumber pembiayaan APBN. Pemerintah akan menaikkan target indikatif untuk mencapai penerimaan negara dari penerbitan SBN sebesar Rp176,86 triliun dalam Rancangan APBN Perubahan 2010 dari sebelumnya Rp175,061 triliun dalam APBN 2010. Untuk memenuhi penambahan biaya tersebut, pemerintah di antaranya akan meningkatkan penerbitan SBN sebesar Rp 1,849 triliun.
Tidak bisa dipungkiri, penerbitan sukuk sebagai salah satu bentuk SBN dinilai efektif untuk membantu mengurangi defisit APBN. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diwaspadai dalam implementasinya yang berpotensi mendistorsi.
Pertama, sukuk negara seyogianya menjadi instrumen transisi yang ke depan akan menjadikan Indonesia lebih mandiri dan bebas utang. Sejumlah studi empirik menunjukkan bahwa utang berbunga telah menyandera APBN Indonesia. Kelak diharapkan Indonesia mampu melahirkan kebijakan zero deficit. Dalam konteks inilah, sukuk dapat menjadi jembatannya.
Kedua, meski sukuk secara substansi tampak mirip dengan surat utang, sesungguhnya sukuk adalah surat berharga investasi. Pemahaman pasar yang keliru telah menempatkan sukuk bersanding dengan SUN. Ditambah lagi pemerintah yang mengamininya dengan memasukkan instrumen ini pada kelompok sumber pembiayaan utang. Padahal, pada sukuk, investor berserikat dalam laba dan rugi dari aset. Adapun pada SUN, yang ada adalah kewajiban utang atas pihak yang menerima utang tanpa ada kaitannya dengan aset tertentu ataupun pemanfaatannya.
Ketiga, aplikasi kebanyakan sukuk negara di Indonesia cenderung diarahkan untuk menghasilkan uang dan bukan barang. Padahal, agar memberi manfaat yang lebih besar bagi sektor riil, dibutuhkan pemanfaatan yang konkret berupa pembangunan fisik.
Keempat, amanat UU memberi ruang toleransi yang besar terhadap pemanfaatan sukuk untuk menambal defisit anggaran. Padahal, esensi dari sukuk bukan untuk menambal keuangan negara, melainkan untuk membiayai proyek pembangunan di mana pembangunan infrastruktur adalah salah satunya.
Kelima, transmisi sukuk negara terhadap sektor riil selama ini belum terlihat keberadaannya. Underlying asset yang harusnya dapat berproduksi menghasilkan income bagi pemerintah, masih belum terealisasi. Sejatinya, underlying asset harus diberdayakan dan bukan sekadar menjadi agunan yang tak bermakna.
Komentar
Posting Komentar