TEBU & GULA (Radar Jember, Perspektif, 8 Mei 2010, Hlm. 33)

Oleh: Khairunnisa Musari

Katanya, tebu manis rasanyaa… Kucoba tanam di pinggir hati...
Sayang sungguh sayanggg… Tebu berduri menusuk hati…

Syair lagu yang dinyanyikan almarhum Meggy Z adalah sebuah kiasan. Namun syair tersebut bak kenyataan sekaligus membantah pepatah ‘ada gula ada semut’. Banyak yang mengira, hidup petani tebu semanis rasa gula. Banyak yang mengira ketika harga gula melambung, maka petani menjadi lebih sejahtera. Realitas menunjukkan tidak sedikit petani yang mengeluh bahwa tingginya harga gula di pasaran justru menyakitkan.

Di Lumajang, Jember, dan Bondowoso, pasti tidak sulit menemukan petani tebu. Petani tebu di wilayah ini menyebar di hampir semua kecamatan. Ya, tiga kabupaten ini masing-masing memiliki Pabrik Gula (PG) yang menjadi penampung tebu-tebu petani. Di Lumajang, ada PG Jatiroto. Di Jember, ada PG Semboro. Di Bondowoso, ada PG Pradjekan.

Lantaran kehadiran PG ini pulalah yang kadang-kadang menyebabkan kecamatan tempat beradanya PG tersebut menjadi jauh lebih dikenal daripada kabupatennya. Tidak sedikit teman-teman saya di luar kota dan luar Jawa yang lebih mengenal Jatiroto daripada Lumajang. Pertanyaan mereka yang kerap muncul adalah ‘Lumajang itu apanya Jatiroto?’ Ya, Jatiroto mungkin menjadi familiar daripada Lumajang karena keberadaan PG di wilayah tersebut.

Berbicara tentang petani tebu otomatis berbicara tentang gula, baik itu industrinya, tata niaganya, pabriknya, harganya, dan lainnya. Untuk mengetahui bagaimana kondisi pergulaan di Indonesia, rasanya orang awam pun dapat melihat bahwa ada masalah besar pada sektor ini. Kerap kalinya terjadi konflik pada petani tebu merupakan salah satu bukti nyata adanya carut marut dari sistem pergulaan di tanah air.

Mungkin masih ada yang ingat September 2009 lalu, sejumlah petani di Kecamatan Tanggul, Kabupaten Jember, membakar lahan mereka karena protes terhadap kenaikan harga gula? Ya, gap yang terlalu dalam antara harga dasar pembelian petani dengan harga gula di pasaran lazim menjadi penyulut protes petani tebu. Ketidakpuasan ini berimbas pada beralihnya sejumlah petani tebu pada profesi lain dan menyusutnya lahan tebu. Terbukti, misalnya di Kabupaten Jember, luas lahan tebu rakyat pada 2008 yang mencapai 7.638 ha mengalami penyusutan menjadi 6.058 ha pada 2009 dan diperkirakan akan menyusut lagi menjadi 4.400 ha pada 2010.
Persoalan tebu dan gula sesungguhnya adalah masalah klasik. Dari tahun ke tahun, kita selalu dihidangkan persoalan pergulaan, utamanya yang terkait dengan kelangkaan gula dan kebijakan gula impor.

Jujur saja, saya tidak begitu paham dengan konflik di tingkat elit maupun lingkarannya yang kerap berbuah kebijakan yang tidak pro-petani dan terkesan tidak mampu menjaga stabilitas harga gula dalam negeri.

Oke lah, untuk urusan elit, kita tidak akan diskusikan itu. Persoalan riil yang ada di depan mata kita mungkin lebih tentang nasib petani tebu, revitalisasi PG, dan masa depan 3 kabupaten ini terkait dengan pergulaan.

Tentang nasib petani, rasanya pemerintah kabupaten (Pemkab) perlu ikut campur tangan dalam memberi stimulus agar petani mau menanam tebu. Sementara itu, PG dan ahli pertanian dapat merekonstruksi pengaturan siklus musim tanam dan musim giling agar terjadi win-win solution antara petani dan PG. Hal ini mengingat seringnya musim panen tiba tidak bersamaan dengan musim giling. Akibatnya, rendemen yang semula cukup tinggi malah menyusut karena tergerus waktu. Harga pembelian pun menjadi terjun bebas.

Tentang revitalisasi PG, sebagaimana diberitakan, PG Semboro dan Jatiroto tengah direvitalisasi. Proses gilingnya kini tidak lagi berupa sulvitasi, tetapi sudah mengarah pada karbonatasi yang dapat menghasilkan kualitas lebih baik dengan tingkat produktivitas yang lebih tinggi. Tentu ini kabar menggembirakan. Diharapkan revitalisasi ini diikuti pula dengan transparansi kepada petani terkait dengan rendemen dan meningkatnya harga sewa lahan. Sudah sewajarnya jika produktivitas PG yang semakin baik dapat membawa manfaat ekonomi pula bagi petani tebu.

Tentang masa depan Lumajang, Jember, dan Bondowoso, rasanya Pemkab dan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI yang membawahi 3 area ini dan elemen terkait lainnya harus duduk bersama untuk menyusun road map pergulaan di wilayah ini di masa mendatang. Rasanya naïf jika PG di Lumajang, Jember, dan Bondowoso tak berdaya dan tak lagi mampu menjadi produsen gula. Sama naifnya jika Indonesia masih tak mampu berswasembada gula.

Terakhir, bulan ini kita sudah memasuki musim giling. Hal ini ditandai dengan pesta rakyat yang dikenal oleh masyarakat lokal dengan istilah royalan. Semoga saja pesta ini akan terus ada di tengah-tengah kita. Sudah terlalu banyak isu beredar. Sudah terlalu banyak akumulasi kepentingan yang berbuah ketidakpercayaan satu sama lain. Rasanya, sudah saatnya kita akhiri semua dengan berkompromi guna mencari solusi bagi kebaikan kepentingan yang lebih besar. Kita semua tentu berharap, relasi petani tebu dan PG dapat berlangsung transparan, harmonis, dan era kejayaan swasembada gula di masa lalu di wilayah ini akan berulang serta petani pun tidak perlu menyanyikan lagu Meggy Z yang lain, ”Engkau yang berlabuh, aku yang tenggelam....”. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

  1. Memang pemkab. selama ini kurang inisiatif untuk membantu petani tebu, sehingga sampai saat ini petani tebu masih belum beruntung nasibnya

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)