MAQASID SYARI’AH (Radar Jember, Perspektif, 22 Mei 2010, Hlm. 33)

Oleh: Khairunnisa Musari

Beberapa hari lalu, keluarga besar saya kedatangan tamu dari Sukabumi. Beliau adalah guru ngaji saya waktu kecil dulu di Bontang. Sebut saja namanya Pak Sophian. Pak Sophian menginap di rumah hampir sepekan. Dalam suatu kesempatan, beliau mengatakan bahwa Lumajang sangat sejahtera. Lalu, saya bertanya, “Kok bisa bilang begitu, Pak?” Jawabnya, “Mesjidnya bagus-bagus. Gak ada yang gak bagus. Musholanya juga.”

Perbincangan sesaat tersebut cukup lama terekam dalam benak saya. Saya cukup bisa memahami cara berpikir Pak Sophian meski bagi sejumlah pihak mungkin pandangan beliau tak lazim. Tapi mengingat latar belakang beliau sebagai guru mengaji di Mesjid Al-Kautsar, mesjid terbesar di Komplek PT Badak Bontang, wajar saja beliau menjadikan mesjid sebagai indikator kesejahteraan masyarakat.

Secara terminologi, ‘sejahtera’ memang memiliki banyak definisi. Indikatornya pun beragam. Sangat bergantung pada siapa yang menyatakan. Bagi seorang guru agama seperti Pak Sophian, indikator kesejahteraan tidak lagi terukur dari materi semata. Baginya, hal-hal yang bersifat immateri sesungguhnya juga adalah bagian dari capaian sejahtera. Keberadaan mesjid atau mushola tentu bagi beliau bukan sekedar dilihat sebagai sebuah bangunan fisik semata, tetapi juga secara immateri menunjukkan sebuah capaian peradaban manusia dalam beribadah pada Sang Khalik.

Dari seorang guru mengaji seperti Pak Sophian, sesungguhnya kita bisa mengambil pelajaran bahwa kebutuhan manusia ternyata tidak terbatas pada kebutuhan sebagaimana yang disebutkan Maslow dalam Teori Hierarki Kebutuhan. Maslow menyusun tingkatan kebutuhan manusia dari yang dipandangnya paling krusial. Pertama, kebutuhan fisiologis. Kedua, kebutuhan keamanan dan keselamatan. Ketiga, kebutuhan sosial. Keempat, kebutuhan untuk dihargai. Kelima, kebutuhan untuk aktualisasi diri.

Meski Maslow menyatakan teorinya sebagai sebuah sintesis teori yang holistik dinamis, namun sebagai umat beragama sudah sewajarnya juga memiliki kebutuhan untuk beribadah. Dari titik tolok ini, kita bisa menemukan bahwa hal-hal yang berbasis pada agama ternyata memiliki parameter capaian kesejahteraan tersendiri.

Dalam spiritual-economics, setidaknya ada 5 indikator kesejahteraan yang menjadi capaian. Pertama, sejahtera dalam menjaga keimanan. Hal ini menjadi sangat penting mengingat iman merupakan dasar dalam meletakkan hubungan antar manusia. Iman memungkinkan manusia untuk berinteraksi dengan sesama dalam keseimbangan dan saling membantu dalam memenuhi kesejahteraan manusia. Iman merupakan filter moral untuk mendistribusikan sumber daya sesuai dengan keadilan sosioekonomi dan menjadi motivasi yang memberi kekuatan untuk memenuhi kebutuhan dan distribusi pendapatan yang adil.

Kedua, sejahtera jiwa. Agama pasti menempatkan setiap makhluk bernyawa pada kedudukan terhormat. Hukum agama memastikan bahwa tidak ada satu pun jiwa yang boleh dihapuskan tanpa sembarang hak. Sekiranya nilai yang tinggi tidak diberikan kepada nyawa manusia, maka akan terjadi kerusakan di dunia. Dalam konteks ini, larangan membunuh diri, membunuh orang lain, menghina, merupakan salah satu bagian dari memelihara sejahteranya jiwa.

Ketiga, sejahtera akal. Setiap agama sudah seharusnya memposisikan akal sebagai sarana untuk mencapai takwa dan kebaikan. Akal mempunyai tempat istimewa dalam hukum agama karena dengan akal, manusia dapat membuat penilaian dan pilihan bagi kebaikan diri dan masyarakat. Dalam konteks ini, larangan minum minuman keras dan kewajiban menuntut ilmu merupakan salah satu bagian dari upaya mencapai kesejahteraan akal.

Keempat, sejahtera keluarga/keturunan. Setiap agama tentu mengekalkan nama baik dan kesucian dari masing-masing anggota dalam masyarakat. Dengan cara ini, masyarakat selamat daripada gangguan yang boleh mengganggu ketenteraman dan kedamaiannya. Dalam konteks ini, aturan-aturan tentang pernikahan dan pergaulan lawan jenis merupakan salah satu bagian dari upaya mencapai sejahteranya kehormatan dan keselamatan keluarga/keturunan.

Kelima, sejahtera harta benda. Harta memang bukan tujuan, tetapi harta adalah alat untuk merealisasikan kesejahteraan manusia. Dengan harta, manusia dapat membawa dirinya dan masyarakat ke arah kebaikan bersama. Dengan terlindunginya hak manusia atas harta bendanya, diharapkan manusia dapat memanfaatkan harta benda tersebut untuk menyelamatkan iman demi kepentingan manusia seluruhnya. Dalam konteks ini, larangan mencuri dan menghasab harta orang lain serta kewajiban mencari rezeki materi merupakan salah satu bentuk melindungi kesejahteraan manusia atas harta benda.

Secara keseluruhan, 5 indikator kesejahteraan yang disebut maqasid syari’ah ini kerap dipandang berlawanan dengan mainstream. Mainstream telah sejak awal mengajarkan kita dikotomi antara kegiatan ekonomi dengan keyakinan beragama. Dari mainstream-lah kita belajar bahwa hidup adalah untuk berekonomi. Dari mainstream pula lah kita belajar bahwa kegiatan ekonomi adalah persaingan dan mengalahkan.

Untuk itu, menjelang Pilkada Jember 2010, seyogyanya kita mencari seorang pemimpin yang mau dan mampu tampil beda dari kebanyakan mainstream. Serbuan kehidupan ala hedonis, materialis, dan kapitalis mengepung Indonesia hingga ke pelosok daerah. Adakah dari kandidat yang paham bahwa PAD, pertumbuhan ekonomi, dan inflasi bukanlah segalanya dari kegiatan ekonomi? Bagi kebanyakan mainstream, berbicara kesejahteraan tanpa angka sering didakwa sebagai retorika belaka. Padahal, tak semua kesejahteraan dapat terukur absolut. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)