KEMANDIRIAN PEREMPUAN (Radar Jember, Perspektif, 24 April 2010, Hlm. 1)
Oleh: Khairunnisa Musari
Tanggal 21 April kemarin, kita memperingati Hari Kartini. Meski terdapat polemik terkait layaknya Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan, namun Hari Kartini lazim direfleksikan sebagai momen dari simbol perjuangan perempuan Indonesia dalam mengangkat harkat martabatnya.
Persoalan perempuan sesungguhnya adalah isu global meski problem yang muncul antara negara maju dan negara berkembang memiliki titik kulminasi berbeda. Pada kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia, persoalan perempuan banyak berkutat pada problem himpitan ekonomi, praktek diskriminasi, ketimpangan struktur sosial-budaya masyarakat, minimnya akses layanan kesehatan, kesenjangan layanan pendidikan, kecilnya kesempatan dalam kegiatan publik dan politik, rendahnya kualitas hidup, dan masih tingginya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Bagi sebagian besar perempuan, KDRT adalah momok. Lemahnya daya tawar perempuan memicu tingginya KDRT dan soalan ikutan lainnya. Tidak perlu jauh-jauh mencari kasus di negara atau kota lain. Coba dech perhatikan tetangga di sekitar kita. Mungkin justru saudara kita atau diri kita sendiri yang mengalaminya. Kekerasan domestik terhadap perempuan, terutama bagi yang sudah memiliki anak dan secara finansial sangat bergantung pada suami, nyaris tidak memiliki daya tawar. Perempuan tak berdaya untuk bersikap. Apalagi mengambil langkah hukum. Ketakutan akan masa depan anak dan khawatir dituding membuka aib suami, kerap menjadi alasan utama bagi perempuan untuk bertahan dalam penderitaan.
Ya, hanya perempuan pula yang bisa ikut merasakan penderitaan perempuan. Sepatutnya kita menyambut baik itikat 7 legislator perempuan di DPRD Jember membentuk Kaukus Perempuan Parlemen Jember. Kaukus yang semula menitikberatkan pada upaya menggugah kesadaran hukum kaum perempuan terhadap KDRT seyogyanya merambah pada soalan lain yang lebih penting, yaitu bagaimana membangun kemandirian perempuan.
Sedikitnya ada 3 jenis kemandirian perempuan yang perlu diberdayakan. Pertama, kemandirian ekonomi. Mandiri dalam konteks ini berarti memiliki kemampuan ekonomi yang produktif. Perempuan dapat melakukan kegiatan ekonomi untuk mencari tambahan pemasukan bagi dirinya sendiri atau keluarga. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat memiliki keterampilan hidup guna menolong dirinya sendiri dan tidak bergantung sepenuhnya pada suami.
Kedua, kemandirian intelektual. Mandiri dalam konteks ini berarti perempuan beraktualisasi dengan memanfaatkan intelektualnya untuk memiliki eksistensi. Dengan demikian, meski perempuan secara ekonomi bergantung pada suami, tapi perempuan secara mandiri dapat eksis untuk memberi kontribusi bagi masyarakat dan lingkungan.
Ketiga, kemandirian sikap. Mandiri dalam konteks ini berarti perempuan memiliki kemampuan untuk memilih sikap terhadap berbagai soalan kehidupan. Perempuan menjadi partnership yang setara dengan suami untuk menyampaikan pendapat, opsi, maupun solusi. Dengan demikian, perempuan menjadi penyeimbang sekaligus mitra sejajar bagi suami dalam mengarungi rumah tangga.
Karena itu, kehadiran Kaukus Perempuan Parlemen hendaknya menjadi titik tolok untuk membuat perubahan lebih baik bagi perempuan. Dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, Kaukus Perempuan Parlemen dapat menginisiasi upaya untuk mengembangkan kemandirian perempuan di wilayahnya.
Mengutip Kabupaten Jember dalam Angka Tahun 2009, jumlah penduduk hasil registrasi 2008 menunjukkan jumlah perempuan melampaui pria di wilayah ini. Data BPS 2000 menunjukkan dominasi perempuan muncul pada kelompok usia produktif, yaitu 15-39 tahun, dan kelompok usia di atas 55 tahun.
Dengan demikian, target pengembangan kemandirian perempuan harus diarahkan pada perempuan usia produktif dan usia senja. Banyak program yang dapat dirumuskan. Dari aspek sosial-ekonomi, dapat dikembangkan: koperasi wanita, pelatihan keterampilan, membangun jejaring, dan pendampingan usaha.
Dari aspek sosial-keagamaan, dapat dirancang program tarbiyah yang dapat membawa pencerahan bagi wawasan dan religiusitas. Dari aspek sosial-budaya, dapat dilakukan advokasi bagi janda, warga miskin, dan masyarakat terpinggir serta program edukasi pada komunitas-komunitas melalui kunjungan rutin pada kelompok pengajian, PKK, dan lainnya.
Secara ringkas, membangun kemandirian perempuan bermuara pada pendidikan. Dengan pendidikan, perempuan dapat menemukan aktualisasi diri yang pas bagi dirinya dan keluarga. Dengan pendidikan, perempuan memperoleh sarana untuk menciptakan eksistensi diri dan mengekspresikan gagasan sekaligus membentuk jejaring sosial agar dirinya tidak saja bermanfaat bagi keluarga, tetapi juga bagi orang lain.
Siapa bilang perempuan tak perlu pintar! Siapa bilang ibu rumah tangga tak perlu pintar! Perempuan sesungguhnya adalah madrasah yang mencetak generasi masa depan. Madrasah yang pintar memiliki peluang lebih besar untuk mencetak anak-anak yang pintar. Madrasah yang menguasai ilmu pengetahuan dan mengajarkan keimanan memiliki peluang lebih besar untuk menghasilkan anak-anak yang unggul dalam pengetahuan dan berakhlak.
Percaya dech, semua perempuan sesungguhnya adalah superwoman. Supermom. Perempuan dapat melakukan multitasking. Wajar saja jika ada yang mengatakan kesuksesan pria selalu ada wanita dibaliknya. Adagium bahwa hari depan bangsa ada di tangan ibu sulit terpatahkan. Untuk seluruh perempuan di Lumajang, Jember, dan Bondowoso, Selamat Hari Kartini ya!
Tanggal 21 April kemarin, kita memperingati Hari Kartini. Meski terdapat polemik terkait layaknya Kartini sebagai simbol emansipasi perempuan, namun Hari Kartini lazim direfleksikan sebagai momen dari simbol perjuangan perempuan Indonesia dalam mengangkat harkat martabatnya.
Tahun ini, peringatan Hari Kartini bertepatan dengan 106 tahun wafatnya Kartini dan 2 tahun pasca peringatan satu abad kebangkitan bangsa dan 10 tahun reformasi. Meski waktu sudah banyak berselang, namun realitas menunjukkan perempuan masih kerap termarjinalkan. Meski jumlah perempuan jauh lebih besar dari laki-laki, namun keberadaan perempuan masih kerap terabaikan.
Persoalan perempuan sesungguhnya adalah isu global meski problem yang muncul antara negara maju dan negara berkembang memiliki titik kulminasi berbeda. Pada kebanyakan negara berkembang, termasuk Indonesia, persoalan perempuan banyak berkutat pada problem himpitan ekonomi, praktek diskriminasi, ketimpangan struktur sosial-budaya masyarakat, minimnya akses layanan kesehatan, kesenjangan layanan pendidikan, kecilnya kesempatan dalam kegiatan publik dan politik, rendahnya kualitas hidup, dan masih tingginya tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Bagi sebagian besar perempuan, KDRT adalah momok. Lemahnya daya tawar perempuan memicu tingginya KDRT dan soalan ikutan lainnya. Tidak perlu jauh-jauh mencari kasus di negara atau kota lain. Coba dech perhatikan tetangga di sekitar kita. Mungkin justru saudara kita atau diri kita sendiri yang mengalaminya. Kekerasan domestik terhadap perempuan, terutama bagi yang sudah memiliki anak dan secara finansial sangat bergantung pada suami, nyaris tidak memiliki daya tawar. Perempuan tak berdaya untuk bersikap. Apalagi mengambil langkah hukum. Ketakutan akan masa depan anak dan khawatir dituding membuka aib suami, kerap menjadi alasan utama bagi perempuan untuk bertahan dalam penderitaan.
Ya, hanya perempuan pula yang bisa ikut merasakan penderitaan perempuan. Sepatutnya kita menyambut baik itikat 7 legislator perempuan di DPRD Jember membentuk Kaukus Perempuan Parlemen Jember. Kaukus yang semula menitikberatkan pada upaya menggugah kesadaran hukum kaum perempuan terhadap KDRT seyogyanya merambah pada soalan lain yang lebih penting, yaitu bagaimana membangun kemandirian perempuan.
Sedikitnya ada 3 jenis kemandirian perempuan yang perlu diberdayakan. Pertama, kemandirian ekonomi. Mandiri dalam konteks ini berarti memiliki kemampuan ekonomi yang produktif. Perempuan dapat melakukan kegiatan ekonomi untuk mencari tambahan pemasukan bagi dirinya sendiri atau keluarga. Hal ini dimaksudkan agar perempuan dapat memiliki keterampilan hidup guna menolong dirinya sendiri dan tidak bergantung sepenuhnya pada suami.
Kedua, kemandirian intelektual. Mandiri dalam konteks ini berarti perempuan beraktualisasi dengan memanfaatkan intelektualnya untuk memiliki eksistensi. Dengan demikian, meski perempuan secara ekonomi bergantung pada suami, tapi perempuan secara mandiri dapat eksis untuk memberi kontribusi bagi masyarakat dan lingkungan.
Ketiga, kemandirian sikap. Mandiri dalam konteks ini berarti perempuan memiliki kemampuan untuk memilih sikap terhadap berbagai soalan kehidupan. Perempuan menjadi partnership yang setara dengan suami untuk menyampaikan pendapat, opsi, maupun solusi. Dengan demikian, perempuan menjadi penyeimbang sekaligus mitra sejajar bagi suami dalam mengarungi rumah tangga.
Karena itu, kehadiran Kaukus Perempuan Parlemen hendaknya menjadi titik tolok untuk membuat perubahan lebih baik bagi perempuan. Dengan kapasitas dan kemampuan yang dimilikinya, Kaukus Perempuan Parlemen dapat menginisiasi upaya untuk mengembangkan kemandirian perempuan di wilayahnya.
Mengutip Kabupaten Jember dalam Angka Tahun 2009, jumlah penduduk hasil registrasi 2008 menunjukkan jumlah perempuan melampaui pria di wilayah ini. Data BPS 2000 menunjukkan dominasi perempuan muncul pada kelompok usia produktif, yaitu 15-39 tahun, dan kelompok usia di atas 55 tahun.
Dengan demikian, target pengembangan kemandirian perempuan harus diarahkan pada perempuan usia produktif dan usia senja. Banyak program yang dapat dirumuskan. Dari aspek sosial-ekonomi, dapat dikembangkan: koperasi wanita, pelatihan keterampilan, membangun jejaring, dan pendampingan usaha.
Dari aspek sosial-keagamaan, dapat dirancang program tarbiyah yang dapat membawa pencerahan bagi wawasan dan religiusitas. Dari aspek sosial-budaya, dapat dilakukan advokasi bagi janda, warga miskin, dan masyarakat terpinggir serta program edukasi pada komunitas-komunitas melalui kunjungan rutin pada kelompok pengajian, PKK, dan lainnya.
Secara ringkas, membangun kemandirian perempuan bermuara pada pendidikan. Dengan pendidikan, perempuan dapat menemukan aktualisasi diri yang pas bagi dirinya dan keluarga. Dengan pendidikan, perempuan memperoleh sarana untuk menciptakan eksistensi diri dan mengekspresikan gagasan sekaligus membentuk jejaring sosial agar dirinya tidak saja bermanfaat bagi keluarga, tetapi juga bagi orang lain.
Siapa bilang perempuan tak perlu pintar! Siapa bilang ibu rumah tangga tak perlu pintar! Perempuan sesungguhnya adalah madrasah yang mencetak generasi masa depan. Madrasah yang pintar memiliki peluang lebih besar untuk mencetak anak-anak yang pintar. Madrasah yang menguasai ilmu pengetahuan dan mengajarkan keimanan memiliki peluang lebih besar untuk menghasilkan anak-anak yang unggul dalam pengetahuan dan berakhlak.
Percaya dech, semua perempuan sesungguhnya adalah superwoman. Supermom. Perempuan dapat melakukan multitasking. Wajar saja jika ada yang mengatakan kesuksesan pria selalu ada wanita dibaliknya. Adagium bahwa hari depan bangsa ada di tangan ibu sulit terpatahkan. Untuk seluruh perempuan di Lumajang, Jember, dan Bondowoso, Selamat Hari Kartini ya!
setuju banget kalo wanita tu mesti jdi independent women.. pa lagi wanita berpendidikan itu juga aku setuju bgt.. aku lgi belajar juga c berlath menjadi an independent woman.. tapi dalam perjalanannya tetep didukung cowq ternyata.. hahahhaha... smnga sukses jdi wanita yg mandiri.. ^_^
BalasHapus