BATIK (Radar Jember, Perspektif, 10 April 2010, Hlm. 1)

Oleh: Khairunnisa Musari*

Jalan-jalan ke Karang Duren
Banyak perempuan cantik di sana
Kalau anda ingin tampil keren
Yuk, kita pake batik aja!!!

Coba dech, buka lemari baju kita! Saya yakin, sedikitnya ada 1 baju batik yang tersimpan di sana. Sejak ditetapkan sebagai warisan budaya milik Indonesia oleh UNESCO pada 2 Oktober 2009 lalu, batik memang menjadi booming. Apalagi dengan adanya himbauan pemerintah untuk mengenakan batik pada hari Jumat, menyebabkan batik kian laris manis. Setiap orang setidaknya memiliki 2 atau 3 baju batik.

Bicara mengenai batik, pasti banyak yang belum tahu kalau Jember, Lumajang, dan Bondowoso punya kerajinan batik!!! Iya, batik!!! Seperti halnya batik Yogya, Solo atau Pekalongan yang selama ini kita lebih banyak kenal.

Di Jember terdapat Kecamatan Sumberjambe yang menjadi sentra batik. Tepatnya, di Desa Sumberpakem. Konon, kerajinan batik di sana sudah dirintis sejak zaman Belanda. Batik saat itu diproduksi untuk dipakai sendiri oleh orang Belanda dan sebagian dijual ke daerah lain. Tahun 1997, para perajin batik sempat gulung tikar karena krisis ekonomi. Setelah mencoba bangkit, para perajin harus dihadapkan kembali dengan ancaman gulung tikar lantaran tiadanya permodalan, lemahnya pemasaran, dan persaingan pasar batik yang semakin ketat.

Di Lumajang terdapat Kecamatan Kunir yang pernah merintis diri menjadi kampung batik. Tepatnya, di Dusun Bentengrejo, Desa Kunir Kidul. Ada yang mengatakan kampung batik ini sempat mengalami kejayaan di era Orde Baru. Tetapi ada juga yang mengatakan kejayaan itu terjadi sebelum 1960. Yang jelas, dengan kreasi motif khas Lumajang seperti pisang, sulur, gelombang samudra, dan burung penglor, batik Lumajang pernah mengambil tempat di pasaran. Seperti halnya di Sumberpakem, krisis ekonomi menyebabkan kampung batik ini kian terpuruk. Jika sebelumnya kebanyakan generasi muda di dusun tersebut mau menggeluti kerajinan batik, kini diperkirakan jumlah yang masih bertahan tidak lebih dari 10 orang. Mereka berproduksi hanya jika ada pesanan.

Di Bondowoso terdapat Kecamatan Maesan yang menjadi pelopor batik. Tepatnya di Desa Sumbersari. Seperti halnya di Kunir Kidul, cikal bakal kerajinan batik di Sumbersari juga dicetuskan oleh kelompok pemuda yang berasal dari karang taruna. Namun lagi-lagi krisis ekonomi di waktu lalu menghantam industri kerajinan batik di Maesan hingga mengalami kemunduran. Batik Bondowoso yang motifnya terinspirasi dari bentuk daun singkong dan tembakau ini sebelumnya kerap menggunakan jalur Bali untuk memperkenalkan produknya.

Lalu, kira-kira bagaimana ya memberdayakan kerajinan batik di Lumajang, Jember, dan Bondowoso? Haruskah kita menunggu inisiatif pemerintah pusat untuk bisa mengembangkannya? Apa mungkin kerajinan batik kita bersaing? Ya, itu pertanyaan kita bersama. Untuk menjawabnya, tentu kita juga harus duduk bersama.

Setidaknya ada 5 poin penting yang perlu kita pikirkan ke depan. Pertama, Pemkab setempat harus berinisiatif untuk memposisikan keberadaan batik sebagai sebuah karya budaya ataukah sekedar produk jualan industri ataukah keduanya. Dibutuhkan visi misi dan program kongkret untuk mengembangkannya mencapai tujuan. Hal ini penting dilakukan karena akan membawa dampak ikutan berbeda.

Kedua, masalah klasik dari perajin batik adalah manajemen, pemasaran, serta kreativitas desain dan kualitas batik. Untuk itu, perlu sinergi antar instansi untuk melakukan pendampingan, mulai dari produksi, packaging, promosi, distribusi, pemasaran, hingga mematenkan. Jika instansi terkait tidak mampu melakukannya, maka Pemkab dapat menggandeng pihak swasta. Misal melalui program CSR atau bapak asuh dengan perusahaan batik yang sudah mapan.

Ketiga, untuk memberdayakan kerajinan batik yang berkelanjutan, maka perlu pula dilakukan program kemitraan untuk pembiayaan. Hal ini mengingat masalah klasik lain sekaligus masalah utama dari perajin batik adalah permodalan. Dalam hal ini, sinergi perlu merambah perbankan atau lembaga keuangan lainnya. Kebanyakan industri kerajinan batik memang belum mandiri secara finansial. Hal ini pada akhirnya berdampak pada kedigdayaan menghadapi mata rantai ikutan berikutnya.

Keempat, dalam memasarkan batik, mau tidak mau dan suka tidak suka, kita harus mengikuti mekanisme pasar. Jika pricing yang ada benar, tentu akan menimbulkan insentif bagi setiap orang untuk berusaha dalam bidang tersebut. Jika kita ingin menjadikannya sebagai sebuah industri, maka patokannya tetap harga pasar yang mampu memberi keuntungan bagi pelaku usaha sekaligus kompetitif bagi konsumen. Hal ini mengingat kegiatan yang tidak memiliki reward dalam bentuk uang, biasanya tidak bisa memiliki partisipasi dalam jangka panjang. Kalaupun mekanime insentif belum bisa berjalan sebagaimana mestinya, maka perlu peran serta Pemkab untuk intervensi guna menghadapi mekanisme pasar. Setidaknya Pemkab melalui Dinas Perindustrian, Dinas Perdagangan, Dinas Koperasi dan UKM, serta Dinas Pariwisata dapat mengemas dan mempromosikan kerajinan dan sentra batik sebagai bagian dari cultural tourism.

Kelima, untuk bisa bersaing dan diterima di mana saja, maka ciri utama yang harus dimiliki kerajinan batik lokal adalah brand, standard, dan quality. Pengamanan pasokan bahan dan jejaring pemasaran harus dijaga dan dikembangkan agar industri ini terus memiliki kesinambungan.

Mmmm... mungkinkah mimpi untuk menjadikan Kunir, Maesan, dan Sumberjambe sebagai sentra batik nasional pada suatu hari nanti bisa terwujud? Mungkinkah kelak kampung batik di sana dapat memproduksi batik setiap hari dan tidak tergantung pada pesanan? Mungkinkah 3 kampung ini dapat mandiri secara ekonomi sekaligus berkontribusi dalam menjaga kelestarian budaya lokal? Tidak ada yang bisa menjawabnya. Tapi kalau ingin mewujudkannya, tentu berbagai elemen yang ada harus duduk bersama untuk merumuskannya. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)