PEMBANGUNAN EKONOMI YANG HUMANIS (RADAR JEMBER, PERSPEKTIF, 13 FEBRUARI 2010, HLM. 1)

Oleh: Khairunnisa Musari (Mahasiswa Program Doktoral Unair dan Peneliti Islamic Financial Development Institute)

Masih ingat Muntik? Saya akan ingatkan. Pada akhir Oktober 2009 lalu, seorang tenaga kerja Indonesia (TKI) meninggal dunia di Rumah Sakit (RS) Tengku Ampuan Rahimah, Malaysia. TKI tersebut meninggal setelah 6 hari dirawat akibat tindak kekerasan oleh majikan. Dialah Muntik binti Hani. Dengan majikan sebelumnya, Muntik pun mengalami kekerasan, baik fisik maupun nonfisik. Selama 5 tahun, Muntik “hanya” bisa mengirim uang Rp 27 juta karena gajinya tidak dibayar. Muntik mengeluh tidak tahu harus berbuat apa. Hingga akhirnya, penyiksaan yang berlanjut oleh majikan kedua berujung dengan kematian.

Muntik adalah salah satu warga Dusun Pondok Jeruk Barat. Dusun Pondok Jeruk Barat, Desa Wringin Agung, Kecamatan Jombang pun mendadak terkenal. Meski banyak yang salah kaprah mengira dusun ini berada di Kabupaten Jombang, namun sesungguhnya dusun kecil ini berada di Kabupaten Jember dan dekat dengan Jatiroto yang berada di perbatasan Kabupaten Lumajang.

Seperti halnya Muntik, tidak sedikit warga Dusun Pondok Jeruk Barat yang mencari penghidupan di luar negeri. Muntik dan rekan-rekannya di dusun itu adalah cerminan dari sekian banyak TKI kita yang dipaksa oleh keadaan ekonomi untuk mencoba peruntungan di luar. Kisah tragis Muntik ini bukan yang pertama dan mungkin bukan yang terakhir. TKI yang kerap dijuluki gelar ‘ pahlawan devisa’ sesungguhnya merupakan cerita pilu dari pembangunan ekonomi yang tidak humanis.

Sektor Pertanian
Indonesia dikaruniai sumber daya alam berlimpah dimana sektor pertanian menjadi ujung tombaknya. Sebagian besar masyarakat Indonesia berada di wilayah pedesaan yang notabene berinteraksi erat dengan sektor pertanian. Karena itulah, sektor pertanian kerap menjadi bemper dalam memberi kontribusi pertumbuhan ekonomi dan menciptakan kesempatan kerja.

Namun demikian, realita menunjukkan sektor pertanian tidak lagi diminati. Pasalnya, sektor pertanian identik dengan skala usaha sempit, modal terbatas, teknologi yang kurang berkembang, dan tingkat pendidikan yang rendah. Keadaan ini kian diperpuruk dengan pembangunan kawasan perkotaan dan pedesaan yang cenderung terpolarisasi. Kawasan perkotaan berkembang dengan cepat, memiliki pendapatan tinggi, modern, dan menjadi pusat pertumbuhan. Sedangkan kawasan pedesaan relatif berkembang lambat, memiliki pendapatan rendah, terbelakang, dan tergolong miskin.

Keadaan ini pulalah yang terjadi di Dusun Pondok Jeruk Barat dimana Muntik berasal. Sektor pertanian kerap dipandang sebagai lapangan kerja yang tidak menghasilkan kesejahteraan. Padahal, secara geografis, wilayah tersebut dikelilingi oleh lahan pertanian. Sulitnya mencari penghasilan pun memaksa Muntik dan banyak tetangganya memilih menjadi TKI.

Jatim dan Agribisnis
Kisah Muntik adalah sepenggal cerita sedih yang merupakan efek domino dari wajah pembangunan ekonomi kita yang tidak humanis karena kerap mengejar target-target indikator makro. Ilmu dan capaian ekonomi seharusnya adalah sarana, bukan tujuan. Tujuan pembangunan harusnya mengarah pada pembangunan manusia seutuhnya, yaitu bagaimana mencapai kesejahteraan materi dan immateri. Dalam konteks ini, pemerintah adalah jantung reformasi sosial-ekonomi yang harus memastikan bahwa setiap orang memiliki kesetaraan akses terhadap sumber daya.

Rencana Pemprov untuk menjadikan Jatim sebagai tujuan utama investasi agribisnis di Indonesia perlu disambut gembira. Hal yang sama seyogyanya diamini pula oleh Pemkab Jember dan sekitarnya. Fakta menunjukkan kebanyakan daerah di Jatim memang sarat dengan sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Selayaknya, ketiga sektor ini dijadikan pengungkit utama perekonomian regional.

Untuk itu, Pemkab hendaknya sudah memiliki cetak biru komoditi unggulan berbasis wilayah serta infrastruktur yang mendukungnya. Cetak biru ini juga harus memuat peta bagi petani untuk melakukan economic upgrading dan membuka aksesibilitas masyarakat sekitar untuk sumber daya sekaligus mengurangi disparitas ekonomi. Jika belum ada, berarti ini pekerjaan besar bagi Pemkab mendatang. Manakah diantara kandidat Cabup/Cawabup yang memiliki visi misi dan program nyata untuk social-economic empowerment tersebut? Mengejar target investasi dengan mengabaikan kesejahteraan petani dan menutup peluang masyarakat untuk mengakses sumber daya akan sama artinya dengan membangun ekonomi yang tidak humanis. Jika ini yang terjadi, tidak mustahil akan muncul kembali Muntik yang lain dengan kondisi yang tak jauh beda dengan Muntik dari Dusun Pondok Jeruk Barat, Desa Wringin Agung, Kecamatan Jombang, Kabupaten Jember. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

  1. Muntik tetangga saya itu, meski gak tahu orangnya tapi daerah asalnya dari kampung saya.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)