MENGEMBANGKAN EKSISTENSI SUKUK RITEL (HARIAN KONTAN, OPINI, 18 FEBRUARI 2010, HLM. 23)
Di tengah kondisi pasar obligasi global yang tidak menentu, penjualan sukuk ritel SR-002 pada pasar domestik justru menuai sukses. Seperti sebelumnya, jumlah permintaan melampaui target indikatif. Hal ini menunjukkan besarnya potensi pasar sukuk dalam negeri. Ke depan, eksistensi sukuk ritel perlu dikembangkan untuk menjadi lebih bermakna.
Penjualan sukuk ritel seri SR-002 baru saja berlalu. Dana yang terserap mencapai Rp 8,033 triliun atau 267,77 persen dari target indikatif awal pemerintah yang sebesar Rp 3,0 triliun. Angka ini juga mencapai 184,69 persen melampaui target awal seluruh agen penjual sukuk ritel yang sebesar Rp 4,35 triliun. Sebelumnya, penjualan sukuk ritel perdana SR-001 pada 25 Februari 2009 lalu juga menuai sukses. Pemerintah menyerap semua permintaan sebesar Rp 5,556 triliun. Pembelian ini melebihi target penjualan sebesar 313,91 persen dari target penjualan awal seluruh agen penjual yang sebesar Rp 1,770 triliun.
Meski imbal hasil SR-002 ‘hanya’ 8,7 persen tidak sebesar imbal hasil SR-001 yang 12 persen, namun hal tersebut tidak menyurutkan peminat sukuk ritel untuk membeli. Hal ini ditandai dengan adanya permintaan kenaikan kuota penjualan dari mayoritas agen penjual dan terbukti dengan meningkatnya jumlah investor. Jika sukuk ritel SR-001 terjual pada 14.295 investor oleh 13 agen penjual, peminat SR-002 meningkat menjadi 17.231 investor oleh 18 agen penjual. Rata-rata pembelian per investor SR-002 mencapai Rp 466,24 juta dengan penjualan tertinggi mencapai Rp 25 miliar. Namun, rata-rata pesanan berkisar diangka Rp 100 juta.
Secara keseluruhan, meningkatnya volume pembelian, jumlah investor, jumlah agen penjual dan terlampauinya target indikatif awal pada setiap penawaran sukuk ritel menunjukkan besarnya potensi pasar sukuk dalam negeri. Jika dikelola dengan baik, pasar sukuk ritel akan terus berkembang dan dapat mengurangi porsi pembiayaan yang berasal dari luar negeri yang notabene memiliki resiko kurs.
Secara teoretis, sukuk ritel memang diterbitkan dengan tujuan membiayai anggaran negara, mendiversifikasi sumber pembiayaan, memperluas basis investor, mengelola portofolio pembiayaan negara, dan menjamin tertib administrasi pengelolaan barang milik negara. Investasi jenis ini adalah investasi yang bebas dari risiko gagal bayar karena dijamin UU. Namun demikian, resiko pasar berupa capital loss dapat terjadi jika investor melakukan transaksi di pasar sekunder. Untuk menghindarinya, investor cenderung untuk menjual sukuk ritel hingga maturity date.
Fakta empirik menunjukkan kehadiran sukuk ritel kian memperbesar diversifikasi kue pasar sukuk domestik. Sukuk ritel memberi peluang bagi investor individu untuk melakukan investasi. Pengalaman pada penjualan SR-001 menunjukkan kelompok profesi pembeli sukuk ritel beragam, mulai dari pegawai negeri sipil (PNS), pegawai swasta, ibu rumah tangga, wiraswasta, hingga TNI/Polri. Selain basis investor di pasar domestik yang kian meluas, media penawarannya pun kini makin bertambah. Investor dapat memburu sukuk ritel di pasar sekunder atau masuk melalui reksadana berbasis sukuk ritel yang marak ditawarkan manajer investasi.
Mengembangkan Eksistensi
Ke depan, eksistensi sukuk ritel perlu dikembangkan agar sampai pada tataran pengungkit pertumbuhan sektor riil dan tidak berkutat pada penambalan defisit anggaran. Pemerintah seyogyanya melakukan akselerasi penerbitan sukuk ritel berbasis proyek agar dana penjualan dapat digunakan untuk sektor produktif. Dengan kata lain, dana dari masyarakat harus dapat diputar kembali pada kegiatan ekonomi riil masyarakat.
Jika akad yang selama ini digunakan adalah ijarah, maka perlu dipikirkan pula agar akad yang ada dapat dikembangkan menjadi akad istishna’, musharakah, mudharabah atau hybrid. Meski harus diakui bahwa issuer cenderung menyukai akad ijarah karena memiliki struktur yang lebih simpel, namun hal ini penting dilakukan agar sukuk yang secara filosofis dapat menjadi solusi pembiayaan bukan malah menjadi beban bagi anggaran negara. Hal ini mengingat implikasi dari akad ijarah relatif minim kepada sektor riil.
Terkait dengan rendahnya likuiditas sukuk ritel di pasar sekunder, maka penting pula untuk disosialisasikan tentang esensi dari held to maturity pada produk syariah yang menghindari motif spekulasi. Hal ini memang mengindikasikan ruang bagi investor untuk menerima imbal hasil sukuk menjadi terbatas. Namun, untuk menyiasatinya, pemerintah dapat menerbitkan sukuk dengan tenor yang bervariasi untuk meningkatkan likuiditas dan partisipasi investor.
Selanjutnya, eksistensi sukuk ritel perlu ditopang lebih kuat oleh bank syariah. Meski sama-sama merupakan bagian dari sistem keuangan syariah, namun faktanya keikutsertaan bank syariah dalam penerbitan sukuk ritel masih sangat kecil. Hal ini tercermin dari minimnya bank syariah yang dilibatkan sebagai agen atau sub-agen penjual. Untuk itu, pemerintah harus memberi diskresi bagi bank syariah untuk terlibat lebih banyak. Hal ini juga sekaligus untuk menjadikan bank syariah sebagai ujung tombak sosialisasi dan edukasi instrumen keuangan syariah secara khusus dan ekonomi syariah secara umum. Wallahu’alam bishowab.
Komentar
Posting Komentar