EKONOMI MADANI (Radar Jember, Perspektif, 27 Februari 2010, Hlm. 1)

Oleh: Khairunnisa Musari

Akhir pekan ini, geliat sektor riil diramaikan oleh peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Banyak cara dari masyarakat kita dalam memperingatinya. Anak sekolah selevel playgroup dan TK biasanya disuruh membawa keranjang berisi kue atau buah. Anak sekolah tingkat SD, SMP atau SMU biasanya menggelar pengajian. Begitu pula dengan lingkungan kampung. Sedangkan di ibukota kabupaten biasanya digelar tabligh akbar. Uniknya, yang lazim terjadi di sejumlah daerah di Lumajang, Jember, dan Bondowoso adalah budaya menghantar makanan ke mesjid/mushola/langgar. Ada juga yang hantar-menghantar makanan antar tetangga.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, kegiatan masyarakat dalam memperingati Maulid Nabi ini sedikit memicu meningkatnya harga kebutuhan bahan pokok. Meski tidak setajam ketika Ramadhan, namun lonjakan ini mempengaruhi inflasi pada bahan makanan. Yang paling kentara terlihat adalah harga cabai yang menyentuh angka Rp 25.000-30.000 per kg. Fenomena ini menarik untuk disimak karena inflasi yang terjadi mungkin bukan disebabkan oleh kebutuhan riil, melainkan oleh perilaku konsumsi.

Dalam konteks makro-mikro, hal ini tercermin dari budaya hantar-menghantar makanan antar tetangga. Bayangkan saja, kebiasaan ini bisa berlangsung dalam kurun waktu seminggu. Dalam satu hari, satu rumah bisa menerima 2-3 hantaran makanan. Fenomena ini biasanya dapat ditemui di wilayah pedesaan yang masih kental hubungan kekeluargaannya.

Yang makin menarik untuk disimak lagi adalah meningkatnya harga-harga pada komoditi pertanian. Dalam kebijakan makroekonomi, untuk mengendalikan inflasi yang berlebihan, pemerintah umumnya berupaya menjaga kelancaran arus distribusi barang. Namun demikian, yang terjadi di lapangan tampaknya bukan pada persoalan kelancaran distribusi barang, melainkan pada jumlah permintaan yang melampaui pasokan. Yang menjadi sedikit aneh, kondisi ini terjadi pada wilayah yang justru kaya dengan hasil bumi sektor pertanian.

Setidaknya ada 2 dugaan yang menyebabkan inflasi bahan makanan yang bersumber dari sektor pertanian ini terjadi. Pertama, daya pasok memang tidak memadai. Kedua, pola konsumsi rumah tangga berlebihan menyebabkan permintaan agregat meningkat. Secara keseluruhan, hal ini mengindikasikan bahwa sektor pertanian belum dikelola secara optimal dan adanya kecenderungan perilaku rumah tangga yang konsumtif.

Ekonomi Madani
Dalam ekonomi positif Islam, Nabi Muhammad diceritakan dalam memerintah Madinah mengajarkan rehabilitasi ekonomi melalui pembangunan sumber daya. Madinah mempunyai dasar ekonomi agraria dan penduduknya banyak bergerak di bidang pertanian. Nabi mengajak rakyat untuk menghidupkan tanah-tanah mati. Nabi juga memperkenalkan berbagai hukum mengenai bercocok tanam dan pemasaran produk pertanian yang didasarkan pada keadilan, kerjasama, dan keluhuran budi. Selain itu, Nabi juga menerangkan hukum dan menerapkan skema yang wajar dan saling membantu dalam kontrak perdagangan dan bisnis.

Gambaran kegiatan ekonomi negara Madinah di waktu lalu sedikit banyak merupakan cerminan Indonesia. Indonesia dikaruniai sumber daya alam berlimpah dimana sektor pertanian menjadi ujung tombaknya dan sebagian besar masyarakat berada di wilayah pedesaan yang notabene berinteraksi erat dengan sektor pertanian.

Dalam Islam, manusia memang berserikat terhadap ‘padang rumput’. Dalam konteks kekinian, ‘padang rumput’ dapat diterjemahkan sebagai pemenuh kebutuhan pangan yang bersumber dari sektor pertanian, perkebunan, dan kehutanan. Islam memperkenankan kepala pemerintahan untuk mengelolanya dengan mengatur produksi, penjualan hasil produksi, serta mendistribusikan aset-aset tersebut untuk rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Secara keseluruhan, isu inflasi bahan makanan yang bersumber dari sektor pertanian pada saat Maulid Nabi atau Ramadhan di daerah memiliki esensi yang sama dengan isu nasional mengenai krisis ketahanan pangan akibat ketergantungan impor dan ketidakmampuan berswasembada pangan. Intinya, pembangunan ekonomi yang ada masih belum berbasis pada pemanfaatan sumber daya intensif. Padahal, Nabi dalam membangun ekonomi Madinah mengajarkan tentang pemanfaatan tanah, pengembangan kerja dan dunia usaha, serta kebijakan kependudukan dan perencanaan. Untuk membangun perilaku ekonomi, Nabi juga mengajarkan tentang larangan pemborosan, larangan mencintai harta, larangan pengangguran, larangan meminta-minta, serta hidup sederhana.

Lebih jauh, ekonomi normatif dan positif Islam yang termanifestasi dari kegiatan ekonomi Nabi menjangkau nilai-nilai lokal-kultural dan universal serta merengkuh nilai-nilai moral-etika, sosial-ekonomi, dan sosial-religius. Nabi telah memberi teladan untuk membangun negeri yang sejahtera. Madinah adalah suatu contoh keberhasilan terbentuknya civilized society atau civil-society atau masyarakat madani yang berkegiatan dan berperilaku ekonomi madani. Inilah yang kita inginkan bersama untuk negeri ini. Wallahu’alam bishowab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)