NEW INSTITUTIONAL ECONOMICS? (Opini, Republika, 24 Januari 2009)

Oleh:
Rifki Ismal (PhD Student Islamic Banking and Finance, Durham University, UK; Peneliti Senior Bank Indonesia)
Khairunnisa Musari (PhD Student Islamic Economic, Airlangga University)

Ketika krisis keuangan global melanda dunia, salah satu pemikiran yang mengemuka di kalangan para ekonom adalah apakah penerapan sistem ekonomi syariah merupakan solusi bagi masalah ini dan apakah ekonomi syariah akan menjadi paradigma baru yang menggantikan sistem ekonomi kapitalis.

Bagi sejumlah ekonom, krisis global yang tengah terjadi saat ini merupakan pembuktian lemahnya sistem ekonomi kapitalis sekaligus menjadi momentum kebangkitan ekonomi syariah. Fenomena ini, jika dikaji dengan pendekatan konsep new institutional economics (NIE), pandangan tersebut mendekati kebenaran.

Empat Elemen NIE
Secara teoretis, NIE adalah suatu konsep yang memaparkan kriteria atau syarat untuk membangun suatu paradigma sistem ekonomi baru yang setidaknya terdiri atas empat elemen. Elemen pertama, budaya adalah cara berpikir, perasaan, kecenderungan, dan perilaku individu atau kelompok masyarakat. Budaya, antara lain dipengaruhi oleh pengetahuan, kondisi sosial politik, dan komunikasi. Jika ingin menghadirkan suatu paradigma baru, diperlukan penyesuaian (perubahan) budaya.

Elemen kedua, institusi adalah keberadaan peraturan atau regulasi, dukungan pemerintah, dan sistem peradilan. Elemen ini mencakup ada tidaknya institusi publik di tingkat eksekutif, legislatif, dan yudikatif (Ahmed, Habib, 2008). Dikaitkan dengan pengembangan ekonomi syariah di tanah air, kehadiran undang-undang (UU) Perbankan Syariah pada April 2008 lalu merupakan pengukuhan terhadap pilar institusi dalam ekonomi syariah. Hal ini kian menguat dengan berkembangnya lembaga pendukung lain, seperti sistem peradilan untuk perbankan syariah, sistem pendidikan yang mengajarkan ekonomi/perbankan syariah, legalisasi UU Surat Berharga Syariah Nasional (SBSN), cetak biru pengembangan perbankan syariah, dan peraturan Bapepam untuk perusahaan pembiayaan syariah.

Elemen ketiga, organisasi adalah suatu alat yang diciptakan individu/sekelompok masyarakat untuk mencapai tujuan tertentu. Dalam hal ini, Indonesia boleh dikatakan telah berhasil mengembangkan bank syariah, asuransi syariah, sukuk, dan perusahaan pembiayaan syariah dengan baik. Rata-rata pertumbuhan aset, simpanan, dan pembiayaan bank syariah lebih dari 50 persen sepanjang 2000-2008. Hal ini sekaligus menjadi salah satu bukti empirik selain jumlah bank syariah, asuransi syariah, dan lembaga syariah lainnya yang terus bertambah setiap tahun. Beberapa perguruan tinggi ternama pun telah membuka jurusan/fakultas ekonomi/perbankan syariah untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di bidang ini yang setiap tahun semakin bertambah.

Elemen keempat, pasar adalah keberadaan tempat/media untuk melakukan transaksi, termasuk unsur-unsur penunjangnya, seperti teknologi, infrastruktur, dan instrumen pasar keuangan. Dalam konteks ini, ekonomi syariah di Indonesia masih dalam tahap pengembangan karena pasar uang syariah di Indonesia masih sangat terbatas. Selain itu, ketergantungan perbankan syariah kepada pasar uang syariah masih minim karena aktivitas pembiayaan yang cukup tinggi dengan tingkat pembiayaan bermasalah (nonperforming financing) yang rendah dan penarikan dana oleh deposan yang masih terkendali. Namun demikian, tuntutan pengembangan pasar keuangan syariah ke depan merupakan suatu keharusan seiring dengan semakin berkembangnya industri ini.

Menuju paradigma ekonomi baru
Untuk menjawab apakah ekonomi syariah di Indonesia akan menjadi paradigma baru atau minimal alternatif bagi ekonomi konvensional, pendekatan NIE menunjukkan arah demikian. Indonesia saat ini menyiratkan penerimaan masyarakat yang cenderung meningkat meski pengaruh sistem ekonomi konvensional masih dominan. Tentu saja untuk membangun elemen budaya, khususnya menciptakan masyarakat yang sharia-based, merupakan suatu pekerjaan rumah tersendiri.

Namun demikian, dengan semakin maraknya negara-negara di Eropa melakukan restrukturisasi perbankan dan keuangan syariah, hal ini sejatinya semakin menguatkan kiprah dan penerimaan masyarakat internasional terhadap institusi ekonomi syariah. Beberapa negara tetangga seperti Singapura, Thailand, Malaysia, bahkan yang berpenduduk Muslim minoritas seperti Cina, Jepang, Korea, dan Inggris telah dengan cepat mempersiapkan elemen institusi untuk mendukung penciptaan sistem perbankan dan keuangan syariah.

Dalam hal organisasi, pengembangan ekonomi syariah, utamanya bank syariah, juga menunjukkan kinerja yang semakin baik. Berbagai pembenahan telah dilakukan, khususnya yang terkait dengan manajemen risiko, peningkatan kualitas pelayanan, dan pemenuhan kebutuhan sumber daya insani. Semua ini dimaksudkan untuk mengimbangi pertambahan institusi perbankan dan keuangan syariah baru.

Terakhir, perlahan namun pasti, pasar industri syariah terus menunjukkan peningkatan seiring kebutuhan transaksi berbasis syariah yang semakin tinggi. Kondisi ini semakin kondusif dengan kesadaran otoritas pasar keuangan, regulator perbankan, dan pelaku pasar yang semakin baik. Hal ini tercermin dengan semakin intensifnya koordinasi masing-masing pihak yang kian memacu perkembangan pasar industri perbankan dan keuangan syariah di tanah air.

Secara keseluruhan, ekonomi syariah sebagai sebuah paradigma baru berdasarkan konsep NIE telah meletakkan fondasinya di Indonesia. Harus diakui, terlalu dini jika kita meminta pengambil kebijakan menerapkan sistem ekonomi ini. Banyak sekali kendala dan pekerjaan rumah yang masih harus kita siapkan. Berapa lama proses tersebut berlangsung, tentunya berpulang kepada usaha kita bersama. Pada saatnya nanti, tanpa harus memaksa, ekonomi syariah akan menjadi pilihan jika para pelaku di dalamnya dapat membuktikan kebaikan dari sistem ini. Wallahua'lam bish shawab. (-)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)