Mengakhiri Pertikaian Industri Ritel Modern VS Pasar Tradisional (Radar Jember, 22 November 2008)

Oleh: Khairunnisa Musari*

Pedagang Pasar Tradisional Batu Urip merasa terusik dengan bakal hadirnya sebuah minimarket tepat di tengah-tengah pasar. Forum Daerah Usaha Kecil dan Menengah (Forda UKM) Kabupaten Jember membantu mengadvokasi para pedagang ini. Bagaimana mengakhiri pertikaian antara pedagang pasar tradisional dengan industri ritel modern yang kian marak melakukan ekspansi ke daerah?

Sebagai pendongkrak pertumbuhan ekonomi, investasi menjadi salah satu indikator ekonomi yang terus digerakkan di setiap negara. Di Indonesia, hal ini kerap menjadi persoalan karena seringnya regulasi pemerintah berpotensi memicu konflik. Saat ini, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 112 Tahun 2007 tentang Pemberdayaan Pasar Tradisional dan Penataan Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern merupakan salah satu yang kerap menjadi pertentangan.

Dalam era globalisasi, pasar telah mengalami perkembangan pesat. Di dalam pasar terdapat toko-toko yang digunakan sebagai tempat usaha untuk menjual barang dan jasa. Toko yang menjual berbagai jenis barang eceran dan mempunyai sistem pelayanan mandiri adalah toko modern. Toko modern juga disebut industri ritel modern yang terdiri dari minimarket, supermarket, departement store, hypermarket, dan grosir.

Tidak bisa dimungkiri, tingginya intensitas ekspansi industri ritel modern berdampak langsung terhadap iklim perdagangan di Indonesia. Keberadaan industri tersebut sering dipandang sebagai pesaing kuat pasar tradisional. Pandangan ini tampaknya tidak keliru. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pangsa-pasar tradisional terus menurun dan kian tak berdaya. Banyak pasar tradisional yang gulung tikar sebagai akibat dari hadirnya industri tersebut.

Namun demikian, hasil temuan lain menyebutkan bahwa keberadaan industri ritel modern sesungguhnya tidak menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap pasar tradisional. Pasalnya, kedua jenis pasar tersebut memiliki pangsa-pasar yang berbeda. Terlepas dari hasil penelitian yang masih kontroversi tersebut, harus diakui, keberadaan industri ritel modern telah mengubah peta industri ritel di Indonesia. Bukan hanya terletak pada perubahan struktur dan komposisinya saja, tetapi juga pada pemain yang berkecimpung di dalamnya.

Peta Industri Ritel Modern
Dalam peta industri ritel modern di Indonesia, minimarket didefinisikan sebagai toko yang menjual eceran barang konsumsi, terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya. Luas lantai bangunan usaha penjualan adalah kurang dari 400 m2. Berlokasi di setiap sistem jaringan jalan, jalan lokal, daerah perumahan, dan pusat kota.

Department store adalah toko yang menjual secara eceran barang konsumsi, sandang, dan pangan dengan penataan barang berdasarkan jenis kelamin atau usia konsumen. Mempunyai luas lantai bangunan usaha diatas 400 m2. Berlokasi di daerah padat aktivitas ekonomi masyarakat dan mempunyai areal parkir minimal 100 m2.

Supermarket mempunyai karakteristik toko yang menjual eceran barang konsumsi, terutama produk makanan dan produk rumah tangga lainnya. Luas lantai bangunan usaha penjualan berkisar 400-5000 m2. Berlokasi di pusat aktivitas ekonomi masyarakat dan jalan lokal serta mempunyai areal parkir minimal 100 m2.

Hypermarket adalah toko yang menjual barang konsumsi, produk makanan dan rumah tangga lainnya. Pelayanan berorientasi mandiri dan mempunyai areal parkir minimal 100 m2. Mempunyai luas bangunan lokasi usaha di atas 5000 m2 serta berlokasi di pusat perkotaan dan padat aktivitas ekonomi masyarakat.

Sementara itu, grosir adalah toko yang mempunyai luas bangunan di atas 5000 m2. Menjual barang konsumsi secara grosir serta berlokasi pada akses sistem jaringan jalan arteri atau jalan kolektor.

Secara keseluruhan, dalam menjalankan usaha ritel modern di Indonesia sesungguhnya sudah terdapat pengaturan zona pendirian (zonasi). Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi persaingan usaha tidak sehat yang dapat merugikan pelaku usaha lain.

Mengakhiri konflik
Kehadiran minimarket di wilayah Batu Urip seharusnya tidak perlu berujung pada perselisihan jika pendirian minimarket tersebut sesuai dengan aturan. Berdasarkan kelompok klasifikasi ritel di Indonesia, lokasi usaha minimarket dapat didirikan pada kawasan pelayanan lingkungan di daerah perkotaan, sistem jaringan jalan perumahan, dan jalan lokal. Jalan lokal adalah jalan umum yang mempunyai fungsi pelayanan angkutan lokal dengan karakteristik perjalanan jarak dekat, kecepatan rendah, dan tidak terdapat pembatasan akses masuk.

Dalam penataan lokasi, pendirian minimarket harus memperhitungkan kondisi sosial-ekonomi masyarakat, keberadaan pasar tradisional, dan UKM yang terdapat di wilayah industri ritel modern tersebut. Sedangkan untuk peraturan zonasi, diperlukan ketentuan-ketentuan pemerintah daerah (Pemda) setempat yang mengatur pemanfaatan ruang dan unsur-unsur pengendalian setiap zona sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten/Kota dan Rencana Detail Tata Ruang Kabupaten/Kota.

Oleh karena itu, untuk mengakhiri konflik antara Pasar Tradisional Batu Urip dengan minimarket, peran Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Jember sangatlah besar. Pemkab perlu menjamin bahwa semua pemangku kepentingan memahami peraturan dan semua tingkat pemerintahan hendaknya bertindak berdasarkan aturan. Demi menjamin persaingan yang sehat antara pedagang pasar tradisional dengan peritel modern, Pemkab perlu memiliki mekanisme kontrol dan pemantauan yang riil untuk menjaga agar arena persaingan tetap adil. Jika ini diterapkan, tentu konflik yang ada tidak perlu terjadi, industri ritel modern dapat berekspansi tanpa harus mematikan para pedagang pasar tradisional.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

Kebangkitan Sukuk sebagai Instrumen Moneter (Harian Bisnis Indonesia, 25 November 2011)