Bank Syariah, Alternatif Hadapi Krisis (RADAR JEMBER, 6 NOVEMBER 2008)

Oleh: Khairunnisa Musari*

Krisis finansial global kian berimbas pada perekonomian Indonesia. Pelemahan suku bunga Amerika Serikat (The Fed Rate) diikuti dengan gejolak kurs. Bank Indonesia (BI) akhirnya menaikkan suku bunga (BI Rate) hingga 9,5 persen. Likuiditas mengetat. Pembiayaan perbankan sulit. Namun demikian, bank syariah masih menjadi alternatif yang baik di saat krisis.

Bagi pelaku ekonomi syariah, krisis finansial global menjadi momentum untuk membuktikan betapa rentannya sistem ekonomi yang berlangsung saat ini. Krisis finansial global menunjukkan betapa riba, maysir, gharar, dan syubhat sudah masuk ke ranah paling dalam dari perekonomian dunia. Pada akhirnya, kehancuran tinggal menunggu waktu.

Islam dalam mu’amalah ekonomi melarang berbagai kegiatan yang mengandung riba, maysir, gharar, dan syubhat. Dalam melaksanakan transaksi keuangan, Islam mengajarkan pentingnya underlying asset. Dalam berbisnis, Islam memberi alternatif profit-loss sharing (PLS) agar risiko ditanggung bersama dan keuntungan dinikmati bersama.

Di Indonesia
Perkembangan pesat ekonomi syariah di Indonesia dimulai sejak 1998. Saat itu, pascakrisis moneter, Bank Muamalat Indonesia (BMI) sebagai satu-satunya bank syariah di Indonesia ternyata terbukti mampu melewati badai krisis yang menimpa industri perbankan. BMI tidak perlu diinjeksi modal oleh pemerintah seperti halnya bank konvensional. Sejak itulah, pemerintah mulai memperhitungkan sistem ekonomi syariah sebagai alternatif pilar pembangunan ekonomi Indonesia.

Namun demikian, meski tetap dipandang sebagai alternatif solusi yang lebih syar’i, perbankan syariah bukannya tidak memiliki persoalan. Tidak ada yang bisa menjamin bahwa bank syariah pun tidak akan mengalami kepailitan. Sebab, dalam tataran implementasi, ada unsur manusia yang sangat berperan dalam menentukan keberhasilan sebuah organisasi. Dengan berbagai kelemahannya, kita tidak bijak pula jika membandingkan kemajuan bank konvensional dengan bank syariah. Sebab, bank konvensional sudah hadir dan berkembang di dunia ini sejak ratusan tahun lalu. Sedangkan bank syariah baru lahir sekitar tahun 1976, beberapa saat setelah Islamic Development Bank (IDB) berdiri. Di Indonesia, BMI sebagai pionir baru berdiri 1992. Dan perkembangan bank syariah baru terlihat gerakannya setelah 1998.

Yang membelit saat ini
Pasca kenaikan BI Rate hingga 9,5 persen, pembiayaan bank syariah nasional diprediksi bakal melambat. Bank syariah diperkirakan akan mengalami kesulitan bersaing memberi imbal hasil dibandingkan bank konvensional.

Ketika BI menaikkan BI Rate, bank syariah tidak bisa mengikuti kenaikan itu. Hal ini terkait sistem syariah yang digunakan, yakni PLS dan bukan interest rate. Bagi bank konvensional, kenaikan BI Rate dapat langsung direspon dengan menaikkan kembali bunganya hingga 14-15 persen. Apalagi suku bunga Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS) juga sudah mengalami kenaikan 10 persen. Bank syariah tidak dapat melakukan itu. Bank syariah terbentur akad yang sudah disepakati sebelumnya. Atas dasar itulah, bank syariah sesungguhnya lebih membutuhkan likuiditas dibanding bank konvensional. Pasalnya, finance deposit ratio (FDR) bank syariah sepenuhnya dikucurkan untuk pembiayaan, sedangkan bank konvensional hanya sekitar 50-60 persen. Selebihnya, dibelanjakan dalam surat berharga.

Tidak bisa dipungkiri, dampak ketatnya likuiditas saat ini telah memukul bank syariah dari dua sisi, yaitu suku bunga dan nilai tukar. Bank syariah pun menjadi kurang menarik di mata nasabah seiring terjadinya perang suku bunga di perbankan konvensional. Dalam ekonomi syariah, pertumbuhan sektor finansial memang terkait erat dengan pertumbuhan sektor riil. Atas dasar itulah, dapat dipahami jika imbal hasil bank syariah saat ini tidak sebaik ketika kondisi sektor riil menggeliat. Korelasi keduanya sangat kuat.

Masih menjadi alternatif yang baik
Meski saat ini perbankan syariah tengah dibelit persoalan likuiditas, bank syariah sebenarnya masih menjadi alternatif yang baik. Dampak krisis yang dihadapi bank syariah tidak separah bank konvensional. Kejatuhan akibat krisis keuangan global memang memukul industri perbankan. Namun, perbankan syariah saat ini pada umumnya masih terhindar dari kekacauan.
Untuk mengatasi ketatnya likuiditas, bank syariah saat ini memang dipaksa menaikkan bagi hasil. Namun, bank syariah masih lebih realistis karena dananya dikucurkan pada sektor riil. Bank syariah tidak diperkenankan membeli kredit, tetapi dituntut untuk mengelola aset nyata yang memberikan perlindungan dari berbagai kesulitan. Inilah kunci mengapa bank syariah masih menjadi alternatif yang baik di tengah krisis.

Ke depan, BI hendaknya perlu segera menyelesaikan fasilitas untuk pelonggaran likuiditas bagi bank syariah guna menghadapi krisis likuiditas seperti yang terjadi saat ini. Perlu ada instrumen baru yang dapat menolong bank syariah dari ketatnya likuiditas. Bank syariah saat ini masih belum bisa menggadaikan surat berharga syariah atau surat berharga syariah negara ke BI.

Lebih jauh, bank syariah diharapkan tetap mempertahankan ekspansifnya pembiayaan. Tidak lupa, kehati-hatiannya perlu lebih ditingkatkan agar tidak terjadi peningkatan non performing financing (NPF). Meski perbankan syariah nasional sudah menerapkan manajemen risiko agar pembiayaan yang dikucurkan tetap prudent dan risikonya terukur, tetap saja bank syariah memiliki beban moral yang lebih besar untuk menghasilkan kinerja yang lebih baik daripada bank konvensional. Semoga!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

2020, Menuju Less Cash Society (JemberPost.Net, 15 November 2019)

KENITU (Radar Jember, Perspektif, 17 April 2010, Hlm. 1)

Belajar dari Wu Da Ying (1) (Jawa Pos Radar Jember, Perspektif, 7 Juli 2017, Hlm. 21 & 31)